Rabu, 23 Juni 2010

KPK DIINTERVENSI

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang sangat destruktif terhadap keberlangsungan hidup suatu Negara, baik terhadap perekonomian Negara, tatanan hukum maupun pemerintahan. Karena sifatnya yang luar biasa maka penanganan korupsi juga harus dilakukan secara luar biasa. Dalam semangat yang luar biasa ini maka beberapa tahun lalu dibentuklah suatu lembaga baru yakni KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Suatu lembaga extraordinary yang memiliki kewenangan luas (superbody) dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Sejak awal berdirinya tahun 2002 hingga saat ini KPK telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam meringkus koruptor. Walaupun terkesan tebang pilih dan lamban dalam menindak kasus korupsi. Perlu disadari bahwa agenda besar menaggulangi korupsi memerlukan waktu yang panjang dan tenaga yang besar, karena korupsi merupakan masalah kompleks. Dalam konteks ini keberadaan KPK masih sangat relevan untuk dipertahankan eksistensinya. Bukan hanya sekedar ada, tapi komposisi orang-orang didalamnya juga harus dipertahankan dari sifat idealis dan semangat memberantas korupsi. Begitupun kerjasama dan koordinasi antara aparat dan instansi penegak hukum haruslah tetap terjaga.
Namun apa yang terjadi, akhir-akhir ini terlihat jelas bahwa ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Terjadi pula suatu ketidakpastian dan kekacauan hukum dilingkungan KPK. Hal ini dapat terlihat dari UU Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Peradilan Khusus Tipikor) yang hari Selasa tanggal 29 September lalu disahkan oleh DPR. Pemerintah dan DPR tengah berupaya mencabut kewenangan penuntutan dan penyadapan yang dimiliki oleh KPK. Padahal selama ini KPK berhasil melakukan tugasnya karena memiliki kewenangan tersebut. Disamping itu ada pula masalah terkait Hakim Peradilan Khusus Tipikor. Hal ini merupakan pengkebirian kewenangan KPK sebagai lembaga dengan semangat extraordinary.
Disisi lain, beberapa waktu lalu dua pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto tengah menjalani proses hukum dengan sangkaan penyalah gunaan wewenang. Sebagaimana dinyatakan secara resmi oleh POLRI yang menjadi landasan sangkaan tersebut adalah testimoni Antasari Azhar, tersangka kasus pembunuhan. Patut didipertanyakan apakah secara moral polisi dapat menggunakan kesaksian seorang tersangka tindak kriminal yang sedang dalam proses hukum untuk memperkarakan tindakan yang diambil oleh pimpinan lembaga penegak hukum yang memiliki otoritas.
Tindakan POLRI juga dalam mempermasalahkan pencekalan dan pencabutan cekal yang dilakukan KPK kepada pihak yang dicurigai terlibat dalam tindak pidana korupsi pada hakekatnya adalah kriminalisasi atas pelaksanaan kebijakan dari pejabat suatu instansi yang berwenang. Perlu diingat bahwa sejak berfungsinya KPK, lembaga ini telah melakukan pencekalan kepada sejumlah pihak dan selama ini tidak pernah dipersoalkan. Mengriminalkan pelaksanaan kewenangan KPK sama artinya mempertanyakan tindakan-tindakan penegakan hukum yang sudah diambil KPK selama ini, yang sudah terbukti efektif dalam melakukan penindakan. Kriminaliasi terhadap dua pimpinan KPK yang sesungguhnya merupakan bagian dari intervensi KPK ini harus dikecam. POLRI harus mengkaji ulang proses hukum yang meragukan tersebut. Kekuasaan eksekutif tidak boleh mundur pada era ketika UU subversive diberlakukan, yakni saat proses hukum digunakan sebagai tameng dan legitimasi untuk membenarkan kriminalisasi dan upaya membuang orang-orang yang mengkritik penguasa.
Kondisi lainnya, akibat penangkapan dua pimpinan KPK, pemerintah mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) yang mengarah kepada penunjukkan Pelaksanaan Tugas (Plt.) Pimpinan KPK. Perpu tersebut secara kontekstual merevisi UU KPK. Turunan dari Perpu ini, Presiden memiliki kewenangan menunjuk Plt. Pemimpin KPK. Namun pada akhirnya Presiden hanya membentuk Tim Lima, semacan Panitia Seleksi yang berjumlah lima orang pilihan Presiden. Namun, kondisi ini mengundang kekhawatiran Presiden tergoda menjadi penguasa absolute yang tidak mempertimbangkan secara serius suara publik. Atau terpilihnya pemimpin-pemimpin KPK yang tidak kompeten dan independent sehingga bisa dijadikan “boneka” oleh pihak-pihak tertentu.
Seperti telah dipaparka diatas, sebagai mahasiswa kita harus menyelamatkan agenda besar reformasi dengan mendukung eksistensi KPK, karena KPK merupakan titisan cita-cita reformasi yang pada saat itu diperjuangka oleh mahasiswa. Keberadaannya dalam tatana Negara juga merupakan perimbangan kekuasaan yang dapat menekan otoritas salah satu elemen dalam pemerintahan. Selamatkan KPK ! Beri dukungan terhadap lembaga ini agar tetap terus berupaya membebaskan Indonesia dari jeratan korupsi yang selama ini menyengsarakan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar