Rabu, 23 Juni 2010

Foodestate : Ambiguitas Kebijakan Pertanian Indonesia

Food estate adalah pengembangan produksi tanaman pangan berskala luas. Secara praktis budidaya bertani food estate hanya akan cocok bagi para pemilik modal kuat yakni perusahaan besar. Terdapat orientasi yang sangat berbeda antara pertanian skala luas dengan model pertanian keluarga. Dalam pertanian keluarga, orientasi utama adalah pemenuhan kecukupan pangan keluarga tani. Ingat keluarga tani merupakan mayoritas dari mereka yang rawan pangan di Indonesia. Adapun tujuan utama bagi perusahaan pangan yang akan berinvestasi di Food estate ini hanya memperpendek payback periode untuk meraup untung besar. Bukan untuk mengatasi kelaparan, karena kalau pun stok pangan berlebih tetapi petani tetap tidak memiliki uang, toh tidak bisa membeli.
Foodestate merupkan kejahatan pangan. Adapun alasannya adalah Pertama, food estate telah melanggar konstitusi. Dengan adanya Food estate, maka kebijakan ini akan melanggar pasal 33 UUD 1945. Dalam Penjelasan Pasal 33 jelas tersurat “ Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota – anggota masyarakat. Kemakmuran masyrakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata kebijakan ini telah mengangkangi tafsir mulia UUD Negara ini.
Kedua, food estate akan menggagalkan Reforma Agraria. Tujuan utama reforma agraria adalah agar tanah-tanah pertanian diredistribusikan kepada para penggarap dan buruh tani tidak bertanah. Bukan kepada perusahaan yang memiliki modal besar, karena justru memperburuk ketimpangan pemilikan tanah di Indonesia. Food estate diperkirakan akan melanggengkan kondisi buruh tani bekerja banting tulang tanpa ada kesempatan mendapatkan lahan sebagai modal utama bertani.Ketiga, food esate akan menimbulkan dampak akibat kejahatan Biologi. Jika Food Estate ini dilaksanakan, maka akan terjadi pertanian monokultur skala luas. Keempat, akan berakibat pada munculnya kejahatan Sosial. Jika laju konversi lahan untuk kebutuhan Perusahaan Agribisnis semakin tinggi, maka kepemilikan dan akses lahan masyarakat lokal akan semakin terbatas sehingga akan menimbulkan konflik horizontal.
Menggenjot produktivitas lewat mekanisme food estate sama saja mengabaikan kesejahteraan patani yang tiap tahun semakin menurun. Padahal masalah pokok yang terkait dengan produktivitas pangan dan kesejahteraan petani sangat berkait dengan kepemilikan lahan yang sangat sempit. Menurut BPS sampai saat ini jumlah petani dengan penguasaan lahan di bawah 0,5 ha mecapai mencapai 9.55 juta rumah tangga petani, sedang yang penguasaannya 0,5-1 ha mencapai 4,01 juta rumah tangga petani.Jika dilihat dari skala ekonomi, maka tidak mungkin petani Indonesia akan kaya. Dengan adanya food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani kecil menjadi korporasi berbasis pangan dan produksi pertanian Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Peraturan ini jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi produsen pangan utama, apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada tersebut masih merupakan petani gurem.
Solusi
Model pertanian agroekologi lebih cocok dengan situasi geografis, agroklimat dan juga kondisi sosial-ekonomi dari petani Indonesia. Agroekologi merupakan pertanian berwajah kemanusiaan, yang memusatkan produksi pada azas kebutuhan pangan keluarga bukan permintaan pasar. Agroekologi akan mampu mempercepat tercapainya kedaulatan pangan di Republik yang memiliki penduduk 210 juta jiwa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar