Rabu, 23 Juni 2010

KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA MENUJU KEDAULATAN PANGAN 2025

I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Kedaulatan pangan diartikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-masing. Konsep yang pertama kali diusung oleh gerakan Via Campesina pada 1996 ini muncul sebagai reaksi dari kegagalan konsep yang ditawarkan WTO terkait dengan ketahanan pangan dalam melindungi ekosistem dan menjamin kesejahteraan petani khususnya di negara sedang berkembang.
Secara konseptual, kedaulatan pangan yang mensyaratkan pengendalian sistem produksi distribusi dan konsumsi pangan memang kalah universal dibandingkan ketahanan pangan. Hal ini mengingat, konsep ini tidak mungkin diterapkan di negara yang tidak punya lahan pertanian. Disamping itu, tanpa dibarengi dengan upaya peningkatan produksi dan perbaikan sistem secara serius, kedaulatan pangan tidak cukup menjamin ketahanan pangan atau terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang selalu terkait dengan kesetaraan sosial, kesejahteraan dan daya beli. Namun demikian, konsep kedaulatan pangan menjadi penting ketika negara dihadapkan pada pilihan antara memproduksi pangan sendiri atau menggantungkan diri pada impor.
Dalam perspektif kedaulatan, pangan bukanlah komoditas yang diperdagangkan begitu saja tanpa perlindungan. Oleh sebab itu, pangan seharusnya tidak ditumpukan pada pasar yang rentan, tetapi pada kemandirian dalam mencukupinya. Dalam konteks negara besar seperti Indonesia, ketergantungan terhadap pangan impor adalah ironi, karena selain mengabaikan potensi dan kekayaan sumber daya lokal juga bisa membawa ancaman bagi stabilitas nasional.

1.2 Tujuan
Tujuan dalam pembuatan karya tulis ini, antara lain :
1.1.1 Mengetahui penyebab persoalan ketahanan pangan Indonesia
1.1.2 Memberi gambaran tentang persoalan kondisi pangan yang dihadapi bangsa Indonesia
1.1.3 Memberikan solusi alternatif dalam upaya menuju kedaulatan pangan Indonesia 2025.

II PEMBAHASASAN

2.1 Analisis Persoalan
Pangan merupakan kebutuhan primer bagi semua manusia yang harus dihormati dan dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pemenuhan atas kebutuhan pangan menjadi hal yang sangat strategis bagi semua bangsa di dunia. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan: (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara, oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dengan demikian sangat dibutuhkan perlindungan negara kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan negara. Sebagai hak dasar, maka pangan merupakan hak asasi manusia di mana negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak atas pangan masyarakat bukannya justru menjadikan pangan sebagai komoditas dagang. Dalam konteks penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia menuntut peranan negara yang maksimal, apalagi hak atas pangan adalah hak yang paling asasi.
Hak menguasai negara bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad). Perkembangan ekonomi politik akhir-akhir ini justru menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan bisnis telah mengambil banyak keuntungan dari mekanisme regulasi pangan. Hal ini bisa kita lihat bagaimana maraknya impor beras secara gelap dan praktek bisnis makanan yang tidak layak lagi. Seharusnya upaya pemenuhan hak atas pangan adalah tanggungjawab negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat kepada setiap individu warga negara Indonesia.
Kedaulatan pangan menjadi hal mutlak bagi bangsa Indonesia. Hal ini bisa dicapai dengan langkah mendorong peningkatan produksi pangan nasional yang didukung oleh sektor industri pertanian yang kuat. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain:
1. Melindungi produksi pangan dalam negeri dengan mendorong kemandirian produksi pertanian.
2. Menghentikan impor bahan pangan yang merugikan hasil produksi petani dalam negri
3. Menciptakan regulasi yang berpihak pada petani dalam rangka menuju kedaulatan pangan.
4. Mendorong upaya-upaya perbaikan produksi pangan yang ramah lingkungan
5. Mencegah penyalahgunaan distribusi pangan yang bisa merugikan kesehatan manusia
6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber pangan.
7. Mendukung dan memfasilitasi peningkatan keberagaman pangan.

2.2 Solusi Permasalahan

a. Paradigma Baru Politik Pangan Indonesia
Sudah waktunya pemerintah merekonstruksi paradigma kebijakan pangan nasional dari semula berlandaskan pada paradigma ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Suatu negara, dinyatakan memiliki ketahanan pangan jika tiga cakupan pengertian yang dikandung dalam terminologi ketahanan pangan tersebut eksis pada suatu negara. Tiga cakupan tersebut, pertama adalah aspek ketersediaan (availability) dimana suplai pangan dalam suatu negara memenuhi kebutuhan atau permintaan domestiknya.
Kedua, aspek aksesibilitas (accessibility) suatu negara yang dapat dikatakan memiliki ketahanan pangan yang prima jika penduduk negara tersebut memiliki akses pangan yang tinggi terhadap pangan. Ada dua faktor penting yang mempengaruhi aksesibilitas pangan ini, yakni pendapatan rumah tangga dan masalah distribusi. Penduduk yang mengalami rawan pangan di daerah yang surplus pangan biasanya berkarakteristik penduduk miskin yang tidak mempunyai daya beli yang memadai untuk mencukupi kebutuhan pangan, ini terbukti di Propinsi Nusa Tenggara barat (NTB) sebagai suatu propinsi yang tergolong sebagai surplus beras ternyata sebagian penduduknya mengalami busung lapar. Masalah aksesibilitas terhadap pangan menjadi penting karena hal ini berhubungan dengan kemampuan penduduk untuk akses terhadap pangan tersebut. Jadi, adalah sebuah kegagalan kebijakan pangan tatkala pangan tersedia, tapi pada kenyataannya tidak dapat terjangkau oleh masyarakat. Faktor yang lain adalah timbulnya masalah distribusi pangan dari daerah sentra produksi ke daerah konsumsi karena kendala transportasi atau bencana alam yang menyebabkan masalah aksesibilitas ini juga bisa terjadi.
Ketiga, aspek kontinuitas (continuity) akses pangan yang prima tersebut terjadi sepanjang waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Misalkan pada waktu panen raya penduduk memiliki akses pangan yang prima tetapi tatkala musim pakceklik terjadi kerawanan pangan. Artinya dalam aspek yang terakhir ini kemampuan suatu negara atau wilayah mengelola stok dan logistik pangan antar waktu menjadi faktor kunci yang menentukan ketahanan pangan suatu negara atau wilaya tersebut. Positioning Petani sebagai Subyek Pembangunan Pertanian
Ada skala ekonomi tertentu dari aktivitas produksi yang harus dipenuhi (economic of scale) agar suatu unit usaha bisa menguntungkan. Untuk meningkatkan produktivitas, butuh intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi pertanian. Padahal ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah menguntungkan jika menerapkan intensifikasi pada lahan-lahan sempit seperti yang dimiliki umumnya petani kita tersebut.. Kendala struktural pertanian gurem ini harus diatasi kalau suatu negara ingin lebih sejahtera dan bisa melakukan transformasi struktural (suatu istilah yang menggambarkan proses peralihan diri dari negara agraris menjadi negara industri) secara baik. Oleh karena itu kebijakan redistribusi lahan untuk para petani Gurem atau dikenal dengan istilah Land Reform Policy adalah suatu keniscyaan.

b. Re-revitalisasi Sistem Pendukung Pembangunan Pertanian
Sistem pendukung on farm (produksi) yang prima ini dapat dilakukan dengan sedikit modifikasi seperti menekankan pada peremajaan pabrik-pabrik pupuk yang ada, pembangunan dan perawatan sistem irigasi, serta reboisasi hutan penyangga suplai air. Selain itu, payung konstitusional yang mengamanahkan telah menghadirkan sistem penyuluhan yang baik (Undang-undang No 16 tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan). Lahirnya Undang-undang ini dilandaskan pada kesadaran bersama tentang perlunya meningkatkan pembangunan pertanian (dalam arti luas) termasuk salah satunya dalam hal menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Melalui undang-undang ini diharapkan sistem penyuluhan yang sinergis dan terintegrasi dari pusat sampai daerah bisa terjadi untuk memacu peningkatan produktivitas pertanian nasiona.

c.Sistem pendukung yang efektif
Menciptakan supporting system yang efektif cukup sulit di lapangan. Kesulitan itu terletak pada beberapa kendala utama, yakni Pertama, lemahnya sinergisasi kementerian-kementerian dan instansi pemerintah yang terlibat dalam eksekusi kebijakan di lapangan dan pandangan ego sektoral yang masih sangat kental hadir dalam perilaku birokrasi pemerintah. Tantangan kedua yang tak kalah besar adalah kondisi birokrasi yang tidak kondusif untuk bisa mengawal implementasi kebijakan dan program ketahanan pangan di lapangan. Secara umum karakteristik birokrasi yang menyulitkan implementasi kebijakan secara efektif adalah inefisiensi dan biaya transaksi tinggi dengan vested interest sebagai pelayan publik yang sangat minimalis, serta kapasitas admnistrasi yang rendah dalam manajemen publik.
Visi pertanian ke depan bukan pembangunan pertanian, tetapi membangun pertanian untuk mewujudkan Indonesia sejahtera, demokratis dan berkeadilan dan untuk menuju ke sana ada tiga misi yang harus ditempuh antara lain mensejahterakan petani, nelayan, rakyat dan pelaku pembangunan pertanian.Misi lain dalam membangun pertanian ke depa adalah dengan, menjadikan pertanian sebagai prim over pembangunan pertanian, bukan ekonomi sebagai prim over komponennya pertanian. Untuk itu, pertanian tidak bisa menjadi penyedia makanan murah, penyedia bahan baku murah, penyedia SDM murah melainkan harus punya harga diri untuk pembangunan pertanian.
Ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda. Tingginya tingkat urbanisasi menyebabkan naiknya tingkat kemiskinan perkotaan, yang sangat membutuhkan pangan murah. Untuk pemenuhan ketahanan pangan kota, tidak mudah bagi Indonesia untuk mengabaikan perdagangan pangan global, kecuali ketergantungan pada produksi pangan domestik bisa menjamin harga pangan murah bagi kaum miskin kota. Tapi pada saat yang sama harus menghadapi cara bagaimana memproteksi petani kecil dan miskin dari dampak perdagangan pangan global. Dilema bagi Indonesia adalah bahwa petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil. Sayangnya harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan. Sedangkan kaum miskin kota, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun justru membutuhkan pangan yang murah, demi akses yang lebih baik bagi kaum miskin.
Produksi pangan harus senantiasa ditingkatkan dengan berbagai uapaya, mengingat kenyataan yang ada tidak bisa dihindari dari waktu ke waktu yaitu ternjadinya penyusutan lahan produktif baik akibat adanya konversi (alih fungsi dari lahan pertanian ke non pertanian) maupun menurunnya kualitas lahan yang ada. Di sisi lain, laju perkembangan jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat, dan sekarang angka tersebut menunjukkan 1.49 %. Semua ini menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan pangan yang terus melaju pesat.
Upaya peningkatan produksi pangan dengan perbaikan teknologi bercocok tanam seakan sudah memasuki titik jenuh. Sebagai ilustrasi, penambahan jumlah pupuk apapun seakan sudah tidak mampu memacu produksi tanaman yang relatif stagnan. Hal ini sesuai dengan hukum marginal produktivity dimana pada saat produksi mencapai maksimum, maka marginal produksi (peningkatan setiap 1 unit yang diproduksi adalah nol). Sehingga apabila lahan telah melalui fase tersebut, jumlah produksi akan menurun karena marginal produknya bernilai negatif. Untuk itulah, satu-satunya cara yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan menanam padi yang mempunyai potensi produksi yang lebih tinggi melalui perbaikan potensi genetiknya. Di lain pihak, kehilangan hasil tentu saja harus bisa diminimalisasi dan ditekan sekecil mungkin, baik saat panen maupun pasca panen. Kehilangan hasil panen dan pasca panen saat ini masih tinggi, yaitu sekitar 20.5 % (BPS 1995). Oleh karena itu upaya peningkatan produksi pangan harus dibarengi dengan usaha mengurangi tingkat kehilangan hasil. pemerintah memberikan bantuan subsidi petani tidak hanya berupa pupuk dan sarana produksi lainnya saja melainkan juga pada benih hibrida.
Ada secercah harapan ketika bioteknologi diyakini mampu menyelamatkan umat manusia dari kelangkaan pangan dan kelaparan di dunia. Melalui bioteknologi, hasil produksi tanaman dapat ditingkatkan minimal 10%. Namun, harapan tinggal harapan ketika sektor pertanian tidak cukup akrab dengan bioteknologi. Food and Agriculture Organization (FAO) baru-baru ini merilis data jumlah penduduk dunia yang kelaparan mencapai lebih dari 850 juta jiwa. Harga pangan pun melonjak dua kali lipat hanya dalam 2 tahun terakhir. Selain kekurangan pangan kronis, defisiensi mikronutrien menjadi momok karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat buruk. Padahal FAO memproyeksikan akan terdapat 2 miliar penduduk Bumi yang butuh makan dalam 30 tahun ke depan.
Di sisi lain, produktivitas pertanian dunia, khususnya di negara-negara agraris pemasok produk pangan tidak meningkat secara simultan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Padahal, Revolusi Hijau telah mengajarkan pentingnya inovasi teknologi, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian untuk mendongrak efisiensi usaha tani.Jelas, bertahan dengan usaha tani konvensional tidak akan memberikan hasil lebih baik di tengah tekanan peningkatan kebutuhan pangan yang terus-menerus. Bagi Indonesia, seharusnya kondisi ini menjadi peluang mengingat potensi sektor pertanian masih mungkin dilipatgandakan.
Kendalanya bukan lagi menjadi rahasia. Indonesia belum siap memanfaatkan produk bioteknologi pada tanaman pangan karena kendala instrumen kebijakan yang tidak lengkap.Bioteknologi menjadi sebuah nilai tambah ketika lahan di negara itu tidak lagi dapat diandalkan untuk mendongrak peningkatan hasil produksi pertanian.

III PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Kedaulatan pangan diartikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-masing. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi semua manusia yang harus dihormati dan dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kedaulatan pangan menjadi hal mutlak bagi bangsa Indonesia. Hal ini bisa dicapai dengan langkah mendorong peningkatan produksi pangan nasional yang didukung oleh sektor industri pertanian yang kuat. Upaya peningkatan produksi pangan dengan perbaikan teknologi bercocok tanam seakan sudah memasuki titik jenuh. Oleh karena itu upaya peningkatan produksi pangan harus dibarengi dengan usaha mengurangi tingkat kehilangan. Revolusi Hijau telah mengajarkan pentingnya inovasi teknologi, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian untuk mendongrak produktivitas dan efisiensi usaha tani.

1.2 Saran
Untuk menuju kedaulatan pangan tahun 2025, ada beberapa upaya yang harus dilakukan bangsa Indonesia, antara lain :
 meningkatkan nilai tambah (added value) dari komoditi lokal berbasis agribisnis
 menyediakan komoditi lokal yang memiliki potensi secara komersial melalui diversifikasi pangan
 mendorong pengembangan desa melalui kegiatan peningkatan pendapatan berdasar pada pertanian lokal terpadu
 mendukung ketahanan pangan dalam jangka panjang dengan sistem keberlanjutan
 memberikan solusi konkrit terhadap permasalahan pengangguran dan kemiskinan terutama pada masyarakat pedesaan.

IV Daftar Pustaka

Harjadi, Sri Setyati.1996.Pengantar Agronomi.Jakarta:Penerbit Gramedia
Edmond, JB,TL Senndan FS Andrews.1964.Fundamentals of Holticulture.Mac Graw Hill Co.
Geertz, C.1963. Agricultural Involution : the Processof Ecological Change. Univ.Callifornia Press.
Barkeley.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar