Jumat, 16 Juli 2010

Menggugat Foodestate !!! Oleh : Achmad Syaifuddin *)

Food Estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Sederhananya, foodestate adalah perkampungan pertanian berskala luas. Secara praktis budidaya bertani foodestate hanya akan cocok bagi para pemilik modal kuat, yakni perusahaan besar. Terdapat orientasi yang sangat berbeda antara pertanian skala luas dengan model pertanian keluarga. Dalam pertanian keluarga, orientasi utama adalah pemenuhan kecukupan pangan keluarga tani. Ingat keluarga tani merupakan mayoritas dari mereka yang rawan pangan di Indonesia. Adapun tujuan utama bagi perusahaan pangan yang akan berinvestasi di Food estate ini hanya memperpendek payback periode untuk meraup untung besar. Bukan untuk mengatasi kelaparan, karena kalau pun stok pangan berlebih tetapi petani tetap tidak memiliki uang, toh tidak bisa membeli. Pada akhirnya, masalah pangan akan dikomersilkan dan diserahkan ke korporasi pertanian dan pangan. Sehingga masa depan petani kecil akan terancam oleh ekpansi perusahaan pertanian skala besar. Dalam konteks ini, maka pengembangan pangan skala luas atau foodestate sejatinya bukan diperuntukkan untuk petani kecil, tetapi lahan pertanian yang subur akan diserahkan penguasaan dan pengelolaannya ke koorporasi petanian dan pangan.
Peluncuran pengembangan pangan skala besar atau dikenal dengan foodestate perlu direspons secara kritis. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud land grabbing. Keterlibatan transnasional dalam foodestate nampak dengan tingginya minat korporasi dari Uni Emirat Arab, Kuwait, China, dan Korea. Hal yang dikhawatirkan adalah potensi hancurnya pertanian rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung pangan. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien. Komitmen pemerintahan baru sebagaimana juga amanat konstitusi untuk membangun ekonomi tangguh berbasis kerakyatan justru dipertanyakan dengan peluncuran food estate yang sangat jelas memfasilitasi sepenuhnya green capitalism. Kondisi itu justru dikhawatirkan akan melemahkan kedaulatan pangan nasional. Alasan pemerintah terkait adanya foodestate selalu mengenai minimnya modal dan begitu banyaknya alihfungsi lahan. Padahal dasar masalah pertanian di negeri ini bukanlah semata-mata modal. Tetapi, sistem politik ekonomi “setengah hati” yang dijalankan di bidang pertanian. Sangat besar kemungkinan masuknya raksasa pemodal untuk menguasai lahan dan menjadikan negeri miskin sebagai basis sarana produksi pangan pokok rakyatnya.
Dengan alasan pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, negeri ini makin terbelenggu kapital asing dan meliberalisasi semuanya yang justru akan mengancam kedaulatan pangan. Pemerintah melakukan beberapa upaya meningkatkan produksi pangan nasional, khususnya padi. Tapi, sayangnya, pemerintah justru mendorong program foodestate. Padahal, permasalahan utama pertanian kita adalah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Pemerintah hanya terfokus kepada kepentingan investor (pemodal) untuk datang ke Indonesia. Pemerintah seharusnya menjadikan negeri ini mandiri dengan berpihak kepada warga atau rakyatnya. Dapat diperkirakan program foodestate ini akan menarik minat pemodal asing karena akan diberi banyak kemudahan untuk “memiliki” dan mengelola lahan yang ada di Indonesia. Foodestate ini bisa mengarah kepada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di foodestate. Pemerintah akan diberi keuntungan dengan program foodestate yaitu membuka peluang kerja semakin tinggi, pemasukan pajak meningkat, dan ditambah adanya pendapatan non pajak. Namun, kurang berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia.
Foodestate merupakan kejahatan pangan. Adapun alasannya adalah Pertama, foodestate telah melanggar konstitusi. Dengan adanya Food estate ini maka kebijakan ini akan melanggar pasal 33 UUD 1945. Dalam Penjelasan Pasal 33 jelas tersurat “ Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota–anggota masyarakat. Kemakmuran masyrakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata kebijakan ini telah mengangkangi tafsir mulia UUD Negara ini. Kedua, foodestate akan menggagalkan Reforma Agraria. Tujuan utama reforma agraria adalah agar tanah-tanah pertanian diredistribusikan kepada para penggarap dan buruh tani tidak bertanah. Bukan kepada perusahaan yang memiliki modal besar, karena justru memperburuk ketimpangan pemilikan tanah di Indonesia. Food estate diperkirakan akan melanggengkan kondisi buruh tani bekerja banting tulang tanpa ada kesempatan mendapatkan lahan sebagai modal utama bertani. Ketiga, foodesate akan menimbulkan dampak akibat kejahatan Biologi. Jika Food Estate ini dilaksanakan, maka akan terjadi pertanian monokultur skala luas. Keempat, foodestate berakibat pada munculnya kejahatan Sosial. Jika laju konversi lahan untuk kebutuhan perusahaan agribisnis semakin tinggi, maka kepemilikan dan akses lahan masyarakat lokal akan semakin terbatas sehingga akan menimbulkan konflik horizontal.
Menggenjot produktivitas lewat mekanisme food estate sama saja mengabaikan kesejahteraan patani yang tiap tahun semakin menurun. Padahal masalah pokok yang terkait dengan produktivitas pangan dan kesejahteraan petani sangat berkait dengan kepemilikan lahan yang sangat sempit. Menurut BPS sampai saat ini jumlah petani dengan penguasaan lahan di bawah 0,5 ha mecapai mencapai 9,55 juta rumah tangga petani, sedang yang penguasaannya 0,5-1 ha mencapai 4,01 juta rumah tangga petani. Memacu produktivitas pangan tetapi mengabaikan masalah struktur agraria yang timpang mengingatkan kita pada program revolusi hijau orde baru. Di masa itu, produktivitas beras digenjot tanpa didahului perombakan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan yang timpang. Akibantya, swasembada beras yang dicapai diikuti dengan proses diferensiasi agraria. Salah satu persoalan yang ada di sektor pertanian Indonesia adalah status dan luas lahan yang sangat sempit hanya 0,3 hektar. Jika dilihat dari skala ekonomi, maka tidak mungkin petani Indonesia akan kaya. food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani kecil menjadi korporasi berbasis pangan dan produksi pertanian Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.
Penerapan PP No 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sebagai landasan hukum foodestate akan menimbulkan masalah baru dalam kebijakan pertanian dan keagrariaan. Di antaranya, pertama, mengenai jenis usaha dalam produksi yang diawali penyiapan lahan hingga pascapanen dan diakhiri dengan pemasaran yang berpotensi menimbulkan monopoli swasta atas produksi dan distribusi pertanian pangan (Pasal 3). Kedua, pelaku usaha bisa melakukan budi daya tanaman pangan berpotensi menimbulkan sengketa dengan petani, petambak, dan masyarakat adat (Pasal 4). Ketiga, tak ditentukan persentase modal asing dan modal dalam negeri berpotensi menimbulkan dominasi modal asing, meski memakai badan hukum Indonesia. Keempat, menggunakan tenaga kerja lebih dari sepuluh orang. Ini berpotensi menjadikan petani sebagai buruh tani di tanahnya sendiri. Dalam hal permodalan food estate, pasal 15 menegaskan penanaman modal asing yang akan me¬lakukan usaha budi daya tanaman wajib bekerja sama de¬ngan pelaku usaha dalam ne¬geri dengan membentuk ba¬dan hukum dan berkedudukan di Indonesia. Batas modal asing maksimun 49 persen. Inilah pintu gerbang dominasi asing di lapangan food estate. Padahal, statusnya sebagai subjek pembaruan agraria seharusnya, petani mendapatkan hak atas landreform dan kemitraannya dengan pelaku usaha adalah bagi hasil (Pasal 6 dan 7). Kelima, penggunaan batasan kurang dari 25 hektare, luas maksimum 10.000 hektare, dan di Papua bisa dua kali lipat, berpotensi bertentangan dengan UU Pokok Agraria 1960, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kawasan Ekonomi Khusus, dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, serta UU Otonomi Khusus yang berlaku di Aceh, Papua, dan DIY (Pasal 6, 7, 9). Keenam, kemitraan justru akan menciptakan corporate farming di mana petani menjadi buruh dan menyebabkan masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya (Pasal 11, 12, 18). Ketujuh, seharusnya masyarakat juga memiliki hak menolak dan hak mengguggat, bukan hanya dimintai masukannya (Pasal 37).
Secara konsepsi, pemba¬ngunan pertanian model foodestate bertumpu pada kekuatan modal besar dengan pe¬nguasaan tanah dan pengusahaan skala luas. Umumnya, pendukung foodestate meng¬anggap pertanian rakyat tak bisa diandalkan karena tanahnya terlampau sempit. Perta¬nyaannya, kenapa pemilikan dan penguasaan tanah kaum tani tak ditingkatkan terlebih dahulu? Dengan begitu, petani punya luasan tanah yang me¬madai dengan usaha tani yang ekonomis sebagai pe¬nyangga utama penyediaan pangan. Pemikiran yang menganggap food estate sebagai jalan cepat mewujudkan ketahanan pangan dengan mengabaikan ketimpangan struktur agraria menjadi pertanda masih kuatnya pragmatisme dan kapita¬lisme dalam pembangunan pertanian kita. Seharusnya, model pertanian yang dikembangkan mestilah tunduk pada kepentingan pokok kaum tani sebagai aktor utama pertanian. Segala arah dan bentuk kebijakan mestilah diukur oleh sejauh mana kaum tani kita diuntungkan atau sebaliknya. Beberapa kerugian-kerugian yang ditimbulkan dengan adanya foodestate yaitu, pertama, potensi lahan yang dimiliki rakyat Indonesia tak bisa maksimal dimiliki dan dikelola penuh oleh petani Indonesia. Kedua, jika peraturan yang dihasilkan pemerintah tentang food estate lebih berpihak pada pemodal daripada petani, kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar akan terjadi juga dalam food estate. Ketiga, jika peraturan memberikan kemudahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based and family based agriculture menjadi corporate based food and agriculture production, yang melemahkan kedaulatan pangan Indonesia. Keempat, jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate, maka para pemodal akan jadi penentu harga pasar karena penentu dijual di dalam negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan bagi pemodal.
Dalam PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman ditetapkan bahwa izin lahan yang diberikan kepada satu investor maksimal adalah 10 ribu Ha. Namun, untuk wilayah tertentu, seperti Papua, izin bisa diberikan dua kali lipat atau sampai 20 ribu hektar. Sedangkan untuk investasi asing dibatasi maksimal 49 persen. Selain itu, pemberian hak guna usaha (HGU) kepada investor berjangka waktu 35 tahun dan boleh diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 35 tahun dan 20 tahun. Mencermati program food estate itu, terlihat bahwa program foodestate hanya akan semakin meminggirkan petani, disamping akan membahayakan kedaulatan pangan negara. Alasannya, karena pangan akan dikelola oleh pihak swasta, dan pemerintah nantinya akan semakin sulit untuk mengendalikan harga pangan. Pengembangan food estate justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Program food estate sama halnya dengan pola yang digunakan pemerintahan kolonial, yakni sebagai alat ekstratif mempermudah penghisapan alam Indonesia untuk diperdagangkan di negara asal mereka. Bahkan agar tetap rakyat menanamnya, penjajahan kala itu mengharuskan rakyat membayar pajak berupa beberapa komoditas penting yang laku dipasaran dunia sehingga rakyat harus menanamkannya, yang dikenal dengan istilah culture stelsel. Sistem culture stelsel baru dengan skema food estate ini bisa menegaskan bahwa feodalisme tidak pernah berakhir di negeri ini. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud perampasan tanah atau land grabbing. Food estate ini sejatinya juga menunjukkan cengkeraman gurita pangan global di negeri ini. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien.
Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk semakin menguasai sumber-sumber agraria. Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate). Inpres ini dalam kacamata pemerintah bertujuan untuk menjawab permasalahan pangan nasional dengan memberikan kesempatan kepada pengusaha dan investor untuk mengembangkan “perkebunan” tanaman pangan. Lebih lanjut Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Peraturan ini jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi produsen pangan utama, apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada tersebut masih merupakan petani gurem.
Perubahan cara produksi yang diakibatkan food estate, secara sosiologis mendorong terjadinya petaka di sektor pertanian. Pertama, "matinya" petani kecil. Ini dimulai dari proses teralienasinya petani kecil dari kultur bertaninya. Setelah teralienasi, maka petani kecil mengalami kesengsaraan hidup. Jika kesengsaraan melekat dengan hidup petani, maka kemiskinan akan terus bertambah dan kematian adalah jalan yang tak dapat dihindari petani kecil. Ancaman ini akan dialami 28 juta rumah tangga petani. Kedua, hilangnya hutan dan nilai-nilai masyarakat. Kebutuhan lahan yang sangat luas adalah keniscayaan bagi food estate. Dengan demikian, mutlak terjadi konversi hutan ke lahan pertanian dalam jumlah yang besar. Ketiga, kerusakan lingkungan. Keserakahan akan lahan yang luas untuk food estate, berkontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim dan akhirnya mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan.
Solusi
Berdasarkan fakta empiris di atas maka sistem pertanian yang kita butuhkan adalah sistem pertanian yang dilakukan skala rumah tangga petani bukan skala usaha agribisnis. Dengan model pertanian alternatif yang ramah lingkungan dan harmoni dengan ekologi, tak menggerus kultur masyarakat lokal, dan mampu menciptakan kemandirian hingga kedaulatan pangan. Model pertanian agroekologi lebih cocok dengan situasi geografis, agroklimat dan juga kondisi sosial-ekonomi dari petani Indonesia. Agroekologi merupakan pertanian berwajah kemanusiaan, yang memusatkan produksi pada azas kebutuhan pangan keluarga bukan permintaan pasar. Agroekologi akan mampu mempercepat tercapainya kedaulatan pangan di Republik yang memiliki penduduk 210 juta jiwa ini. Bukan hanya Agroekologi juga mampu memberikan solusi persoalan perubahan iklim.
Salam Cinta Atas Nama Pertanian...
HIDUP Petani Tertindas Indonesia !!!


(*Biro IPB Social Politic Center)
Saran dan kritik
ispc.center@gmail.com
085781760969

Minggu, 11 Juli 2010

Tuah Gerak Suara Jalanan

Dinamika pergerakan mahasiswa selalu linear dengan timbulnya rasa ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan penidasan terhadap rakyat oleh penguasa. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwasanya pergerkan mahasiswa adalah “potensial power” yang dapat menggigit penguasa lalim yang lalai dengan amanah yang diberikan kepadanya. Ketika sebagian elit bangsa telah terbenam dalam pragmatisme semu sebuah kekuasaan, mahasiswa siap pasang badan untuk bangkit meluruskan rel kebangsaan yang mulai menyimpang dari arah pembangunan bangsa. Tentunya, mahasiswa bergerak dengan berlandaskan spirit idealisme kebenaran yang diusungnya.
Hari-hari belakangan ini, pergerakan mahasiswa dihadapkan pada sebuah pertanyaan klasik, “seberapa besar relevansi aksi jalanan (gerakan ekstraparlementer) yang dilakukan mahasiswa terwadap perubahan negeri ini?” Bukankah aksi jalanan hanya sekedar retorika basi yang tidak menghasilkan apa-apa karena sesunggunya jauh dari substansi yang diperjuangkan. Lalu, kenapa mahasiswa harus berpeluh keringat dihantam panasnya matahari dan tebalnya debu jalanan, jika tidak ada sesuatu yang konkrit yang dapat merubah wajah bangsa ini?
Perlu dipahami bahwasanya mahasiswa adalah elemen strategis untuk membawa arus perubahan negeri ini kearah yang lebih baik. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa memiliki berganing position yang kuat untuk mengawal setiap kebijakan pemerintah yang dipandang menyimpang dari tujuan berbangsa dan bernegara. Sampai di titik ini, kita sepakat bahwa gerakan mahasiswa merupakan social control yang penting dalam alur perbaikan negeri ini. Lantas, seberapa kuat ‘tuah” gerkan mahasiswa dalam membingkai peradaban Indonesia yang lebih “beradab”?
Sekiranya cerita perjuangan gerkan mahasiswa angkatan ’66, ’74, ’77, dan ’98 telah memberikan pemahaman yang jelas bahwa mahasiswa mampu mebuat perubahan besar dalam kehidupan benegara. Saat itu, mahasiswa mampu memainkan perananya dengan baik untuk menjadi penyalur lidah rakyat yang tertindas oleh rezim otoriter yang berkuasa saat itu. Kekuatan moral yang terbangun lebih disebabkan karena mahasiswa waktu itu selalu bergerak mengkritisisi setiap kebijakan pemerintah yang dipandang menyimpang. Dalam bahasa pergerakan mahasiswa hanya dikenal dua istilah, yaitu bergerak atau mati. Dan pilihan yang diambil mahasiswa waktu itu adalah terus bergerak untuk membuat sebuah perubahan besar dengan meruntuhkan rezim yang berkuasa saat itu, baik orde lama maupun orde baru. Ada sebuah kegelisahan tersendiri di hati mahasiswa waktu itu ketika melihat masih banyak saudara sebangsa yang tidak bisa makan karena uangnya dikorupsi oleh elit penguasa. Itulah puncak momentum yang membuat mahasiswa dengan semangat bergelora aksi turun ke jalan berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil. Masih adakah semangat-semangat perjuangan itu bagi kita yang mengaku mahasiswa? Atau identitas mahasiswa kita sudah tergadaikan dengan sikap apatis dan pragmatis yang bersamayam kuat dalam relung-relung jiwa.
Inilah saatnya bagi mahasiswa merapatkan barisan untuk mengatur arah perjuangan yang lebih progresif dan substansial. Mahasiswa harus mampu mendesain ulang pergerakan-pergerakan agar lebih populis, “membumi’, dan masif. Hal ini perlu dilakukan agar pergerakan mahasiswa dapat diperhitungkan oleh masyarakat luas, khususnya pejabat “bermasalah” sebagai terget utama. Bukan orangnya yang dikejar, tetapi prilakunya yang perlu “didik”. Sudah saatnya kita membangun bangsa ini dengan satu kekuatan, kekuatan mahasiswa yang dalam sejarahnya mampu meruntuhkan dua rezim melalui aksi perlawanan ekstraparlementer yang cerdas.
Aksi turun ke jalan bukanlah sekedar bentuk arogansi mahasiswa kepada penguasa melaui unjuk kekuatan mahasiswa. Apalagi gerakan mahasiswa yang kosong tanpa substansi. Sesungguhnya, aksi turun ke jalan merupakan genderang peringatan bagi penguasa agar segera memperbaiki kinerjanya untuk secepatnya berada dalam gerbong kebangsaan demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia seutuhnya. Logikanya sederhana, jika kita ingin ‘mendidik” masyarakat adalah dengan pergerakan, maka untuk “mendidik” penguasa adalah dengan aksi perlawanan. Aksi turun ke jalan bukan juga sekedar aksi preman yang anarkis atau aksi berandalan yang opurtunis. Namun, aksi jalanan adalah gerakan moral (moral force) untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan yang sengaja dirampas oleh pihak-pihak yang “berkepentingan”.
Aksi jalanan oleh mahasiswa sampai kapan pun tetap relevan selama bentuk-bentuk ketidakadilan dan penindasan masih hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi turun ke jalan merupakan bentuk idealisme mahasiswa untuk membawa arus perubahan Indonesia yang lebih substansial. Sekarang bukan saatnya lagi kita berdebat ulang tentang seberapa relevan aksi jalanan dalam merubah wajah bangsa. Sesungguhnya, kajian, audiensi, advokasi, dan aksi hanyalah tools-tools bagi gerakan mahasiswa. Seharusnya, tools-tools tersebut mampu dioptimalkan agar tujuan gerakan mahasiswa yang digulirkan dapat tercapai sepenuhnya. Perjuangan tidak pernah mengenal batas waktu. Dia terus bergerak sampai akhir kehidupan ini. Setiap perjuangan memang pahit, tetapi akan berbuah manis untuk kemajuan sebuah negeri.
Hidup Rakyat Tertindas Indonesia !
Achmad Syaifuddin
Staf kajian ISPC BEM KM IPB 2010

Jumat, 09 Juli 2010

Data Kementan vs Data BPS

Persoalan impor menjadi mimpi buruk buat Kementerian Pertanian. Setelah kasus impor bakalan sapi potong tanpa izin, kini mencuat perbedaan angka realisasi impor daging dan jeroan sapi dengan catatan BPS. Pejabat Kementan pun saling lempar tanggung jawab.

Berapa sesungguhnya realisasi impor daging dan jeroan sapi Indonesia tiap tahunnya? Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian punya jawaban. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR awal Juni 2010, keluar lah data berikut. Dari target 155.941 ton daging dan jeroan, impor daging yang terealisasi 57.089 ton dan jeroan 18.082 ton.

Dari realisasi tersebut, tahun ini Ditjen Peternakan pun mematok impor daging dan jeroan tak lebih dari 73.760 ton. Yang hebat, dari jumlah itu sudah teralisasi separuh lebih atau 56.715 ton. Padahal, dari sisi izin yang dikeluarkan, realisasi itu hanya 31,84%. Maklum, Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) — dokumen izin untuk memasukkan daging dan jeroan impor — yang diteken Dirjen Peternakan Tjeppy D. Sudjana sampai Mei 2010 mencapai 155.206 ton.

Bahkan, jumlah itu kembali bertambah dalam tempo sebulan. Menurut Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Turni Rusli Sjamsudin, sampai Juni 2010 sudah dikeluarkan 177 SPP dengan total volume impor daging dan jeroan sebanyak 178.683 ton.

Pertanyaannya, benarkah data resmi yang dikeluarkan Kementan tersebut? Apalagi, sebelumnya banyak peternak rakyat mengeluh jatuhnya harga jual sapi mereka. Keluhan itu sempat mendapat “jawaban” pemerintah ketika menghentikan sementara pengeluaran SPP baru untuk bakalan sapi potong.

Bahkan, jawaban lebih tegas muncul pada 22 Mei 2010 lalu, ketika Menteri Pertanian Suswono melakukan inspeksi mendadak ke pelabuhan Tanjung Priok dan didapati PT Sasongko Prima mengimpor 2.156 ekor tanpa izin (SPP). SPP yang dipakai sudah kadaluarsa (Agro Indonesia, edisi 303). Sebelumnya, dalam waktu yang berdekatan, tiga perusahaan juga kedapatan memasukkan 11.567 ekor bakalan sapi potong, di mana 1.027 ekornya masuk kategori haram: bobot lebih dari 350 kg.

Besarnya SPP yang dikeluarkan serta “tertangkap basahnya” Sasongko Prima seolah menjawab keluhan peternak mengenai anjloknya harga jual sapi mereka. Namun, menurut kalangan pengusaha pembesaran sapi (feedlot) tidaklah demikian. Apalagi, sapi bakalan tidak bisa langsung merusak pasar karena ada waktu serta proses yang harus ditempuh untuk bisa menjadi daging. Dengan kata lain, untuk bisa “merusak” pasar sapi, lihatlah produk akhir sapi tersebut, yakni daging dan jeroan.

Perbedaan data

Dari sinilah kemudian Agro Indonesia coba menelusuri benarkah data resmi yang dilansir Kementan dibandingkan realisasi impor dari Badan Pusat Statistik (BPS). Hasilnya sangat mengejutkan. Berdasarkan data BPS tahun 2009, impor daging dan jeroan sapi lebih besar hampir separuh dari angka realisasi impor resmi Kementan.

Berdasarkan data yang dimuat di situs BPS, impor daging dan jeroan sapi masuk dalam sembilan nomor HS. Dari Sembilan kode HS tersebut, total impor daging dan jeroan mencapai 110.245.579 kg atau 110.245 ton. Padahal, data resmi Ditjen Peternakan yang disampaikan ke Komisi IV DPR hanya 75.171 ton, yang berarti terdapat selisih 35.000 ton lebih.

Ketika dikonfirmasi terjadinya selisih volume impor antara Kementan dengan BPS yang besar, Turni menyatakan semua itu berdasarkan laporan importir. “Importir harus memberikan laporan tentang realiasi impornya kepada kami,” katanya.

Menurut dia, data yang masuk ke Ditjen merupakan rekap sesuai dengan sistem yang ada. “Kontrol dari SPP dari lembaran kontrol yang kita lampirkan bersama SPP,” katanya.

Setiap SPP yang dikeluarkan Ditjen Peternakan selalu disertai dengan lembaran kontrol. Lembaran ini harus dikembalikan setelah diisi atau dicatat setiap shipment dan harus ada cap serta paraf petugas yang berwewenang di pelabuhan pemasukan. Dengan demikian, data yang diterima Ditjen Peternakan cukup akurat.

Sedangkan SPP yang habis masa berlakunya atau tidak terealisasi sama sekali harus dikembalikan untuk direkap. Namun, biasanya, importir yang tidak merealisasikan impor jarang memberikan laporan, tetapi hal ini akan diketahui kalau kelak dikemudian hari importir itu akan mengajukan permohonan izin lagi.

Namun didesak mengapa data impor dari BPS bisa berbeda dengan data Ditjen Peternakan, Turni berkilah itu bisa saja terjadi karena sistem pencatatan yang berlaku di instansi tidak sama. “Mungkin cara pencatatan yang berbeda. Misalnya, menurut kita itu bukan kategori daging, instansi lain memasukan dalam kategori daging,” tegasnya.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah Ditjen Peternakan tidak menerima laporan dari importir, sementara instansi lain seperti Bea dan Cukai menerima laporan, karena setiap daging yang masuk ke Indonesia harus membayar pajak.

Pernyataan ini secara tak langsung dikritik Badan Karantina Pertanian (Barantan). Menurut Kepala Barantan Hari Priyono, sebaiknya ditjen teknis tidak hanya menerima laporan dari importir karena bisa saja importir tersebut tidak melapor atau laporannya tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan. “Semestinya ada petugas dari ditjen teknis untuk mengawasi atau mengawal perjalan SPP yang sudah dikeluarkan,” katanya.

Ditanya mengapa bukan aparat Barantan yang melakukannya, Hari balik bertanya. ”Dasar hukum kami untuk mengawasi atau memantau perjalanan SPP apa? Idealnya mesti ada petugas yang mengawal SPP sampai realiasi impor masuk ke Indonesia,” tegasnya. Petugas tersebut yang akan memberikan laporan baik kepada ditjen teknis yang mengeluarkan SPP maupun kepada instansi yang terkait.

Namun, Turni punya jawaban. Berdasarkan Permentan No.20 tahun 2009 tentang pengamanan daging, jeroan dan karkas impor dengan tegas disebutkan peran karantina dalam pengawasan impor daging, jeroan dan karkas. “Kalau kita baca Permentan itu, disebutkan peran karantina dalam lalu lintas impor daging, jeroan dan karkas,” kata Turni. Jamalzen

Klasifikasi Daging Jadi Kambing Hitam

Jika sesama aparat sudah lempar tanggung jawab, bagaimana dengan pengusaha atau importir daging? Kondisi ini pun “dimanfaatkan” pengusaha dengan menuding bahwa di negeri ini masalah data memang sulit dipercaya keakuratannya. Simak saja apa yang dikemukakan Ketua Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring.

“Data BPS lebih tinggi mungkin karena tidak ada klasifikasi daging. Artinya, produk peternakan seperti jeroan dan sebagainya bisa saja tercatat sebagai data daging impor sehingga angkanya lebih besar,” ungkapnya.

Dia menyebutkan, importir yang tergabung dalam asosiasi selalu melaporkan realisasi impor kepada instansi pemerintah. ”Setiap ada realiasi pemasukan daging, anggota selalu melaporkan kepada Ditjen Peternakan,” katanya.

Namun, lanjutnya, data yang paling akurat adalah dari Karantina Pertanian, karena setiap kali ada impor daging yang masuk ke Indonesia, petugas karantina selalu melakukan pencatatan, sehingga datanya lebih akurat. “Kalau dari importir bisa saja yang bersangkutan tidak jujur, misalnya sudah merealiasikan 6.000 ton, yang dilaporkan hanya 5.000 ton. Saya kalau ditanya soal data impor, data karantina lah yang mendekati akurasinya,” kata Thomas.

Mana yang benar? Silakan Anda nilai sendiri.
Tuesday, July 6th, 2010 18:01 by agroindonesia