Minggu, 11 Juli 2010

Tuah Gerak Suara Jalanan

Dinamika pergerakan mahasiswa selalu linear dengan timbulnya rasa ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan penidasan terhadap rakyat oleh penguasa. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwasanya pergerkan mahasiswa adalah “potensial power” yang dapat menggigit penguasa lalim yang lalai dengan amanah yang diberikan kepadanya. Ketika sebagian elit bangsa telah terbenam dalam pragmatisme semu sebuah kekuasaan, mahasiswa siap pasang badan untuk bangkit meluruskan rel kebangsaan yang mulai menyimpang dari arah pembangunan bangsa. Tentunya, mahasiswa bergerak dengan berlandaskan spirit idealisme kebenaran yang diusungnya.
Hari-hari belakangan ini, pergerakan mahasiswa dihadapkan pada sebuah pertanyaan klasik, “seberapa besar relevansi aksi jalanan (gerakan ekstraparlementer) yang dilakukan mahasiswa terwadap perubahan negeri ini?” Bukankah aksi jalanan hanya sekedar retorika basi yang tidak menghasilkan apa-apa karena sesunggunya jauh dari substansi yang diperjuangkan. Lalu, kenapa mahasiswa harus berpeluh keringat dihantam panasnya matahari dan tebalnya debu jalanan, jika tidak ada sesuatu yang konkrit yang dapat merubah wajah bangsa ini?
Perlu dipahami bahwasanya mahasiswa adalah elemen strategis untuk membawa arus perubahan negeri ini kearah yang lebih baik. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa memiliki berganing position yang kuat untuk mengawal setiap kebijakan pemerintah yang dipandang menyimpang dari tujuan berbangsa dan bernegara. Sampai di titik ini, kita sepakat bahwa gerakan mahasiswa merupakan social control yang penting dalam alur perbaikan negeri ini. Lantas, seberapa kuat ‘tuah” gerkan mahasiswa dalam membingkai peradaban Indonesia yang lebih “beradab”?
Sekiranya cerita perjuangan gerkan mahasiswa angkatan ’66, ’74, ’77, dan ’98 telah memberikan pemahaman yang jelas bahwa mahasiswa mampu mebuat perubahan besar dalam kehidupan benegara. Saat itu, mahasiswa mampu memainkan perananya dengan baik untuk menjadi penyalur lidah rakyat yang tertindas oleh rezim otoriter yang berkuasa saat itu. Kekuatan moral yang terbangun lebih disebabkan karena mahasiswa waktu itu selalu bergerak mengkritisisi setiap kebijakan pemerintah yang dipandang menyimpang. Dalam bahasa pergerakan mahasiswa hanya dikenal dua istilah, yaitu bergerak atau mati. Dan pilihan yang diambil mahasiswa waktu itu adalah terus bergerak untuk membuat sebuah perubahan besar dengan meruntuhkan rezim yang berkuasa saat itu, baik orde lama maupun orde baru. Ada sebuah kegelisahan tersendiri di hati mahasiswa waktu itu ketika melihat masih banyak saudara sebangsa yang tidak bisa makan karena uangnya dikorupsi oleh elit penguasa. Itulah puncak momentum yang membuat mahasiswa dengan semangat bergelora aksi turun ke jalan berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil. Masih adakah semangat-semangat perjuangan itu bagi kita yang mengaku mahasiswa? Atau identitas mahasiswa kita sudah tergadaikan dengan sikap apatis dan pragmatis yang bersamayam kuat dalam relung-relung jiwa.
Inilah saatnya bagi mahasiswa merapatkan barisan untuk mengatur arah perjuangan yang lebih progresif dan substansial. Mahasiswa harus mampu mendesain ulang pergerakan-pergerakan agar lebih populis, “membumi’, dan masif. Hal ini perlu dilakukan agar pergerakan mahasiswa dapat diperhitungkan oleh masyarakat luas, khususnya pejabat “bermasalah” sebagai terget utama. Bukan orangnya yang dikejar, tetapi prilakunya yang perlu “didik”. Sudah saatnya kita membangun bangsa ini dengan satu kekuatan, kekuatan mahasiswa yang dalam sejarahnya mampu meruntuhkan dua rezim melalui aksi perlawanan ekstraparlementer yang cerdas.
Aksi turun ke jalan bukanlah sekedar bentuk arogansi mahasiswa kepada penguasa melaui unjuk kekuatan mahasiswa. Apalagi gerakan mahasiswa yang kosong tanpa substansi. Sesungguhnya, aksi turun ke jalan merupakan genderang peringatan bagi penguasa agar segera memperbaiki kinerjanya untuk secepatnya berada dalam gerbong kebangsaan demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia seutuhnya. Logikanya sederhana, jika kita ingin ‘mendidik” masyarakat adalah dengan pergerakan, maka untuk “mendidik” penguasa adalah dengan aksi perlawanan. Aksi turun ke jalan bukan juga sekedar aksi preman yang anarkis atau aksi berandalan yang opurtunis. Namun, aksi jalanan adalah gerakan moral (moral force) untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan yang sengaja dirampas oleh pihak-pihak yang “berkepentingan”.
Aksi jalanan oleh mahasiswa sampai kapan pun tetap relevan selama bentuk-bentuk ketidakadilan dan penindasan masih hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi turun ke jalan merupakan bentuk idealisme mahasiswa untuk membawa arus perubahan Indonesia yang lebih substansial. Sekarang bukan saatnya lagi kita berdebat ulang tentang seberapa relevan aksi jalanan dalam merubah wajah bangsa. Sesungguhnya, kajian, audiensi, advokasi, dan aksi hanyalah tools-tools bagi gerakan mahasiswa. Seharusnya, tools-tools tersebut mampu dioptimalkan agar tujuan gerakan mahasiswa yang digulirkan dapat tercapai sepenuhnya. Perjuangan tidak pernah mengenal batas waktu. Dia terus bergerak sampai akhir kehidupan ini. Setiap perjuangan memang pahit, tetapi akan berbuah manis untuk kemajuan sebuah negeri.
Hidup Rakyat Tertindas Indonesia !
Achmad Syaifuddin
Staf kajian ISPC BEM KM IPB 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar