Kamis, 24 Juni 2010

INTELEKTUAL PROGRESIF

INTELEKTUAL PROGRESIF
Oleh : Satriyo Ardi (Menjaknas BEM KM IPB)
Sejarah bangsa ini selalu diwarnai oleh pemuda sebagai komponen utama. Pemuda memiliki semangat tinggi untuk melakukan perubahan. Energi positif itu terpancar ketika mereka melihat suatu kejanggalan pada bumi pertiwi, Indonesia. Pola pikir dan daya analisis yang tinggi terhadap masalah bangsa membuat mereka merasa terpanggil untuk melakukan percepatan perbaikan tanah air menuju ke arah yang lebih baik. Ketika kita melihat kondisi bangsa saat ini, dibutuhkan sosok pemuda yang dapat melakukan akselerasi perbaikan bangsa. Indonesia membutuhkan peran kita saat ini. Kita sebagai pemuda yang sekaligus berperan sebagai mahasiswa berada dalam sebuah jalur pergerakan perubahan. Gerakan mahasiswa senantiasa dinamis sebab dipengaruhi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa yang juga senantiasa berubah.
Peristiwa yang telah mewarnai jalannya perjuangan dalam rangka menegakkan perubahan yang telah mengisi lembar-lembar sejarah kehidupan Indonesia. Bahkan kehidupan sosial politik disekitar kita telah melaju dengan sangat dinamis dengan berbagai permasalahan yang beragam dan kompleks. Mahasiswa sebagai bagian dari sosial kontrol kehidupan bernegara, sudah seharusnya ikut andil dalam berkontribusi tidak sekedar terjebak pada euphoria isu yang ada di publik tetapi diharapkan kontribusi yang diberikan memiiki arahan dan rekomendasi yang jelas. Rekam pergerakan mahasiswa merupakan sebuah catatan pergerakan sebagai bentuk dokumentasi buah pergerakan dan hasil penyikapan kritis terhadap isu nasional.
Pemuda, dalam hal ini mahasiswa, adalah intelaktual progresif. Ia berada pada tatanan masyarakat bahkan ia adalah masyarakat itu sendiri. Namun, ia bukan masyarakat biasa. Ia mengemban amanah, bersama elemen masyarakat lainnya sebagai corong yang menyuaraan suara rakyat dalam revolusi sosial. Hal ini karena mahasiswa memiliki intelektual dan idealisme yang lebih besar.
“…Aku tahu, bahwa ketika ada penguasa yang memisahkan manusia-manusia menjadi dua kelompok yang berlawana, aku tetap bersama rakyat.”
(Che Guevara)
“Sebuah revolusi sosial… tidak berlangsung atas perintah seorang tokoh dengan teori yang sudah jadi, atau sabda seorang nabi. Revolusi sosial organis yang sesungguhnya adalah buah dari kehidupan universal, dan meskipun revolusi ini punya para pewarta da pelakunya sendiri, ia bukan kerja dari satu orang saja.”
(Pierre Joseph Proudhon)

Rabu, 23 Juni 2010

Profil Biro IPB Social Politic Center

Profil Biro IPB Social Politic Center
”Hari ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras... Dan bercita-cita, menggulingkan tiran; Aku mengenali mereka; Yang tanpa tentara; Mau berperang melawan diktator... Dan yang tanpa uang, mau m’berantas korupsi; Kawan-kawan; kuberikan padamu cintaku; Dan maukah kau berjabat tangan... Selalu dalam hidup ini…”
(Soe Hok Gie, ”Pesan”, Sinar Harapan, 18 Agustus 1973, dikutip dalam buku Sekali Lagi, kumpulan tulisan tentang Soe Hok Gie, hal 104, Desember 2009).
Risalah ISPC

Pergerakan mahasiswa yang berasal dari nilai-nilai kebenaran dan terkoordinir dengan baik akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Namun pergerakan mahasiswa terutama yang ada di Institut Pertanian Bogor (IPB) dirasa belum terkoordinir dengan baik. Aksi-aksi mahasiswa terkesan parsial dan tidak memberikan pencerdasan kepada mahasiswa lain. Hal ini disebabkan belum adanya pola gerakan yang jelas dan sistem pengkaderan yang sistematik. Berdasarkan pemikiran tersebut, Departemen Kajian Strategis Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Totalitas Perjuangan IPB, mulai tahun 2008 membentuk suatu wadah untuk membuat suatu pola gerakan sekaligus pencerdasan masalah sosial politik kepada mahasiswa IPB. Wadah tersebut diberi nama IPB Social Politic Centre (ISPC).
Kini di tahun 2010, ISPC memasuki tahun ke tiga-nya di kepengurusan BEM KM Generasi Inspirasi untuk pertama kali menjadi sebuah Tim Independent (di luar Departemen Kebijakan Nasional) tetapi di bawah langsung koordinasi Presiden Mahasiswa. Dengan posisi yang cukup strategis, ISPC memiliki fungsi antara lain ;
1. Pusat Koordinasi Pergerakan mahasiswa IPB
2. Pusat Data dan Kajian Isu Strategis (khususnya pertanian)
3. Pusat Pengkaderan dan Pencerdasan
Program Kerja ISPC
A. Litbang Data ISPC
Sebuah Proker khusus dari ISPC yang bergerak untuk menganalisis dan mengkoordinasikan sistem manajemen isu berdasarkan data-data dan kajian yang komperhensif. Tim ahli ISPC akan berkoordinasi dengan Fakultas (BEM Fakultas dan HIMPRO), dimana isu yang akan dikaji selama setahun ke depan memiliki fokus utama terhadap isu Pertanian Indonesia khususnya pangan. Isu penting pendukung lainnya antara lain Kampus IPB, Korupsi, Bogor Raya dan lingkungan. Litbang Data ISPC ini bertujuan menjadikan Pergerakan mahasiswa IPB berlandaskan intelektual, solutif serta dapat dipertanggungjawabkan.

B. Media Center ISPC
Pusat media dan propaganda hasil kinerja para Jak’mania (Kementrian Kebijakan BEM KM ; Kebijakan Pertanian, Kebijakan Nasional, Kebijakan Daerah dan Kebijakan Kampus) baik itu berupa hasil kajian, kegiatan maupun hasil advokasi kebijakan lainnya. Media Center bertujuan agar Mahasiswa mendapat pencerdasan dan informasi bermanfaat terkait sospol. Hal ini pun secara tidak langsung merupakan wadah controlling public terkait kinerja Kementrian kebijakan, khususnya ISPC.

KEGIATAN ISPC TERAKHIR (27 Februari 2010)
Secara garis besar dalam pergerakan sospol, kita menghadapi dua jenis gerak isu yakni; pertama, gerakan isu bersifat taktis. Dan kedua, gerakan isu yang memiliki sifat jangka panjang (longterm). Hal ini pun ditunjang dengan berbagai alat kebijakan serta infrastruktur yang cukup memadai, namun belum dapat disinergisasikan dengan maksimal dalam sebuah sistem. Oleh karena itu sudah seharusnya Sospol IPB yang dikoordinasikan oleh ISPC membuat sebuah kesepakatan bersama terkait sistem pola pergerakan, yang tidak hanya mengikuti moment (gerak taktis) akan tetapi juga dapat menciptakan moment (gerak strategis yang tersistematis). Hal ini dibahas dan disepakati di Lokakarya ISPC pada hari Sabtu, 27 Februari 2010. Untuk hasil kesepakatan akan kita publis di kmipb.org/bagi.
(NB : FOTO-FOTO DOKUMENTASI DI LAMPIRAN)

Arah PT BHMN Pasca ditolaknya UU BHP Oleh MK

Sebuah Pemikiran Konstruktif Mahasiswa:
Arah PT BHMN Pasca ditolaknya UU BHP Oleh MK
Oleh
Ach. Firman Wahyudi*
(Presiden Mahasiswa IPB dan Anggota Majelis Wali Amanat IPB Unsur Mahasiswa)

Momentum yang sangat bersejarah, pada tanggal 31 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Judicial Review UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan melalui putusan MK nomor 11-12-21-123-136/PUU-VII/2009. Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang cukup kontroversial akhirnya inkonstitusional berdasarkan putusan MK. Hal ini membuat beberapa elemen bergembira karena UU BHP yang dimaknai sebagai komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan akhirnya ditolak. Ada juga beberapa elemen yang merasa kaget dan khawatir pasca ditolaknya UU BHP ini karena banyak kampus yang sudah berbenah diri menuju BHP dengan persiapan yang tidak mudah dan tidak sebentar, salah satu kampus yang sudah berbenah diri menuju BHP adalah Institut Pertanian Bogor.
Ada berbagai macam alasan ditolaknya UU BHP oleh MK, yaitu pertama UU BHP dipandang mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud dan keselarasan dengan UU lain. Kedua, UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Tapi, realitasnya kesamaan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tak berarti semua PTN mempunyai keadaan yang sama. Ketiga, pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam. Karena lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di tiap daerah. Hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan. Keempat, dan menjadi alasan yang sangat elementer adalah UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum. UU BHP bertentangan dengan pasal 28D ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945.
Implikasi ditolaknya UU BHP ini membuat Perguruan Tinggi terutama PT BHMN kehilangan dasar hukum penyelenggaraannya. Sebagaimana diketahui bahwa pembentukan PT BHMN didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai BHMN. Berdasarkan pasal 221 Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan, Peraturan Pemerintah No. 60 dan 61 tahun 1999 dicabut dan tidak berlaku pada saat Peraturan Pemerintah tersebut berlaku. Perlu kita ketahui, bahwa PT BHMN dengan segala kontroversinya, harus diakui telah banyak capaian yang telah diperoleh tidak hanya dalam tata kelola pendidikan yang lebih transparan dan akuntabel tetapi juga dalam transformasi budaya kerja untuk meneliti dan mengajar di kalangan tenaga pendidik.
Dengan dicabutnya UU BHP oleh MK, maka PT BHMN kehilangan payung hukumnya, hal ini dapat kita lihat dari berbagai sebab, yaitu dari aspek governance keputusan-keputusan yang dibuat oleh organ-organ PT BHMN tidak lagi memiliki dasar kewenangan. (sementara di cover melalui SK Dikti nomor 320/D/T/2010). Selanjutnya secara finansial, hak dan kewajiban PT BHMN harus tunduk pada berbagai ketentuan tentang Keuangan Negara yang berlaku. Ini berarti segala penerimaan yang diperoleh oleh PT BHMN merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetor kepada negara. Pada sisi lainnya, PT BHMN juga memiliki hak untuk mendapatkan sumber penerimaan pendidikan dari APBN. ketiga menyangkut aspek sumber daya manusia (tenaga pendidik dan tenaga kependidikan) yang selama ini telah direkrut menjadi pegawai BHMN. Hal yang harus kita pahami bahwa ketika UU BHP ditolak bukan berarti kita akan kembali kepada perguruan tinggi yang bercorak birokratik-legalistik sebagaimana dipraktekkan dalam Perguruan Tinggi Negeri selama ini.
Mengingat gentingnya kondisi ini, dimana kampus kita yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas, maka BEM KM IPB Kabinet GENERASI INSPIRASI menginisiasi diadakannya konsolidasi 7 PT BHMN ntuk menjawab permasalahan yang sedang kita hadapi sekaligus menjadi momentum yang bersejarah sebagai perbaikan bagi Sistem Pendidikan Nasional. Konsolidasi 7 PT BHMN (IPB, UI, ITB, UGM, USU, UPI, UNAIR) serta beberapa kampus dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia seperti Politeknik Bandung, Politeknik Manufaktur Bandung, Universitas Pajajaran Bandung bersama-sama berkumpul di kampus IPB Darmaga Bogor menyatukan tekad untuk memperbaiki Sistem Pendidikan Nasional, terutama terkait arah Perguruan Tinggi. Beberapa value/nilai-nilai yang disepakati untuk dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagai pengganti UU BHP adalah:
1. Otonomisasi Tata Kelola Perguruan Tinggi mengacu pada Good University Governance dengan prinsip-prinsip:
 Partisipasi. Setiap stakeholder PT memiliki suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang sah mewakili kepentingannya, misalkan Pemerintah, masyarakat, mahasiswa, dan lain-lain. Partisipasi itu dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara konstruktif.
 Taat pada hukum, aturan dan kesepakatan. Dasar dari semuanya itu adalah keadilan yang dilaksanakan tanpa pandang bulu.
 Transparansi. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diakses oleh mereka yang membutuhkan. Informasi dapat dipahami dan diawasi secara holistik.
 Ketanggapan (Responsiveness). Lembaga-lembaga, proses-proses dan individu-individu harus tanggap dalam melayani kebutuhan-kebutuhan semua stake holder.
 Konsensus (Kesepakatan bersama). Good University Governance harus dapat menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
 Equity (keadilan, pemerataan). Semua warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam meningkatkan pendidikannya.
 Keefektifan dan Keefisienan. Unit-unit dan proses-proses mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia dengan sebaik mungkin.
 Akuntabilitas. Semua keputusan dan kegiatan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholder yang bersangkutan.
 Visi yang Strategik. Para pimpinan PT harus memiliki perspektif good governance dalam pengembangan sumberdaya manusia yang luas dan jauh ke depan untuk meningkatkan kinerja dan mutu pendidikan yang sejalan dengan akselerasi pembangunan bangsa dan negara.
2. Pembiayaan Perguruan Tinggi:
 Pengelolaan asset: Dengan aset yang dipisahkan bagi Perguruan Tinggi dengan kualifikasi tertentu, Pendapatan Perguruan Tinggi ditempatkan sebagai pendapatan yang bukan merupakan PNBP, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kebermanfatan bagi Prguruan Tinggi untuk mengakselerasi diri dalam persaingan di tataran global, dengan tetap tetap menjamin aksesibilitas bagi segenap lapisan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah. Terkait dengan akuntabilitas dan sistem serta mekanisme pertanggungjawaban, pelaporan dan penggunaan anggaran yang bersumber dari dana masyarakat harus dilakukan dengan mengedepankan asas transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas (khusus dan pra khusus),
 Adanya jaminan Negara (nation guarantee) untuk pembiayaan pendidikan bagi satuan penyelenggara pendidikan yang belum memiliki kekayaan yang proporsional atau telah gagal dalam pengelolaan kekayaannya sehingga berakibat satuan penyelenggara pendidikan bersangkutan mengalami defisit anggaran. Hal ini demi mencegah beban defisit tersebut dibebankan kepada peserta didik yang dapat mengancam terjaminnya hak setiap peserta didik untuk memperoleh pendidikan sebagai hak dasarnya .
 Masyarakat turut berpartisipasi secara aktif dan sukarela untuk turut membiayai penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kapasitasnya.
3. Idealisme pengetahuan dan otonomi ekspresi akademik yaitu Perguruan Tinggi sebagai institusi penghasil ilmu pengetahuan dan wahana enkulturisasi dan mencerdaskan anak bangsa. Selanjutnya harus ada jaminan output PT terkait spesifikasi dan core value:
 Spesifikasi adalah jaminan output berupa khasanah kelimuan dan keterampilan / skill tertentu sesuai core competence perguruan tinggi dan standardisasi tertentu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
 Core value adalah nilai-nilai yang harus ditekankan oleh perguruan tinggi untuk diterapkan secara konsisten agar dapat menghasilkan output yang memiliki 3 value utama: spiritual, sosial, dan intelektual agar insan-insan terdidik yang dihasilkan dapat benar-benar berguna bagi kemajuan bangsa dan pembentukan peradaban Indonesia.
4. Perubahan paradigma berpikir pemerintah (untuk terus mengoptimalkan perannya sesuai dengan peraturan yang berlaku)à konsolidasi berkelanjutan dan aktif antara mahasiswa dengan stakeholder terkait (menteri pendidikan, komisi X DPR), bisa dilakukan dengan kunjungan berkala dan kerjasama dengan tim pascasarjana dan pakar terkait sebagai tim perumus naskah akademik. Hal ini demi tercapainya revolusi paradigmatik untuk mewujudkan pendidikan nasional yang sesuai dengan amanah pencerdasan kehidupan bangsa.
Semoga ini menjadi bukti nyata kita sebagai mahasiswa untuk turut serta memperbaiki Sistem Pendidikan Nasional dan menjadikan Indonesia Lebih baik, cerdas, sejahtera, dan bermartabat.
SALAM INSPIRASI,…Salam Intelektual Pembangun Peradaban Indonesia
Cp: 085716634966, email: achfirmanwahyudi@gmail.com

KPK DIINTERVENSI

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang sangat destruktif terhadap keberlangsungan hidup suatu Negara, baik terhadap perekonomian Negara, tatanan hukum maupun pemerintahan. Karena sifatnya yang luar biasa maka penanganan korupsi juga harus dilakukan secara luar biasa. Dalam semangat yang luar biasa ini maka beberapa tahun lalu dibentuklah suatu lembaga baru yakni KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Suatu lembaga extraordinary yang memiliki kewenangan luas (superbody) dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Sejak awal berdirinya tahun 2002 hingga saat ini KPK telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam meringkus koruptor. Walaupun terkesan tebang pilih dan lamban dalam menindak kasus korupsi. Perlu disadari bahwa agenda besar menaggulangi korupsi memerlukan waktu yang panjang dan tenaga yang besar, karena korupsi merupakan masalah kompleks. Dalam konteks ini keberadaan KPK masih sangat relevan untuk dipertahankan eksistensinya. Bukan hanya sekedar ada, tapi komposisi orang-orang didalamnya juga harus dipertahankan dari sifat idealis dan semangat memberantas korupsi. Begitupun kerjasama dan koordinasi antara aparat dan instansi penegak hukum haruslah tetap terjaga.
Namun apa yang terjadi, akhir-akhir ini terlihat jelas bahwa ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Terjadi pula suatu ketidakpastian dan kekacauan hukum dilingkungan KPK. Hal ini dapat terlihat dari UU Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Peradilan Khusus Tipikor) yang hari Selasa tanggal 29 September lalu disahkan oleh DPR. Pemerintah dan DPR tengah berupaya mencabut kewenangan penuntutan dan penyadapan yang dimiliki oleh KPK. Padahal selama ini KPK berhasil melakukan tugasnya karena memiliki kewenangan tersebut. Disamping itu ada pula masalah terkait Hakim Peradilan Khusus Tipikor. Hal ini merupakan pengkebirian kewenangan KPK sebagai lembaga dengan semangat extraordinary.
Disisi lain, beberapa waktu lalu dua pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto tengah menjalani proses hukum dengan sangkaan penyalah gunaan wewenang. Sebagaimana dinyatakan secara resmi oleh POLRI yang menjadi landasan sangkaan tersebut adalah testimoni Antasari Azhar, tersangka kasus pembunuhan. Patut didipertanyakan apakah secara moral polisi dapat menggunakan kesaksian seorang tersangka tindak kriminal yang sedang dalam proses hukum untuk memperkarakan tindakan yang diambil oleh pimpinan lembaga penegak hukum yang memiliki otoritas.
Tindakan POLRI juga dalam mempermasalahkan pencekalan dan pencabutan cekal yang dilakukan KPK kepada pihak yang dicurigai terlibat dalam tindak pidana korupsi pada hakekatnya adalah kriminalisasi atas pelaksanaan kebijakan dari pejabat suatu instansi yang berwenang. Perlu diingat bahwa sejak berfungsinya KPK, lembaga ini telah melakukan pencekalan kepada sejumlah pihak dan selama ini tidak pernah dipersoalkan. Mengriminalkan pelaksanaan kewenangan KPK sama artinya mempertanyakan tindakan-tindakan penegakan hukum yang sudah diambil KPK selama ini, yang sudah terbukti efektif dalam melakukan penindakan. Kriminaliasi terhadap dua pimpinan KPK yang sesungguhnya merupakan bagian dari intervensi KPK ini harus dikecam. POLRI harus mengkaji ulang proses hukum yang meragukan tersebut. Kekuasaan eksekutif tidak boleh mundur pada era ketika UU subversive diberlakukan, yakni saat proses hukum digunakan sebagai tameng dan legitimasi untuk membenarkan kriminalisasi dan upaya membuang orang-orang yang mengkritik penguasa.
Kondisi lainnya, akibat penangkapan dua pimpinan KPK, pemerintah mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) yang mengarah kepada penunjukkan Pelaksanaan Tugas (Plt.) Pimpinan KPK. Perpu tersebut secara kontekstual merevisi UU KPK. Turunan dari Perpu ini, Presiden memiliki kewenangan menunjuk Plt. Pemimpin KPK. Namun pada akhirnya Presiden hanya membentuk Tim Lima, semacan Panitia Seleksi yang berjumlah lima orang pilihan Presiden. Namun, kondisi ini mengundang kekhawatiran Presiden tergoda menjadi penguasa absolute yang tidak mempertimbangkan secara serius suara publik. Atau terpilihnya pemimpin-pemimpin KPK yang tidak kompeten dan independent sehingga bisa dijadikan “boneka” oleh pihak-pihak tertentu.
Seperti telah dipaparka diatas, sebagai mahasiswa kita harus menyelamatkan agenda besar reformasi dengan mendukung eksistensi KPK, karena KPK merupakan titisan cita-cita reformasi yang pada saat itu diperjuangka oleh mahasiswa. Keberadaannya dalam tatana Negara juga merupakan perimbangan kekuasaan yang dapat menekan otoritas salah satu elemen dalam pemerintahan. Selamatkan KPK ! Beri dukungan terhadap lembaga ini agar tetap terus berupaya membebaskan Indonesia dari jeratan korupsi yang selama ini menyengsarakan rakyat.

Revitalisasi Semangat Nasionalisme Pemuda Indonesia

Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?

(Rendra)[ii]
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Dalam masalah ini, tanah air perlu disinggung karena diskursus nasionalisme awal sesungguhnya secara riil terkait dengan masalah tanah dan menjadi salah satu agenda penting di masa sekarang. Kesadaran bertanah dan mempertahankan tanahnya, dalam perspektif nasionalisme menjadi kesadaran bertanah air. Tanah air yang sungguh-sungguh “milik kami” dan “harus kami pertahankan”. Bangsa tanpa tanah air seperti pohon tanpa akar, tanpa pijakan.
Negara anda sudah merdeka, tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?" tanya Rendra. Itulah yang mungkin menjadi pertanyaan kita sesungguhnya. Bukan pada masih ada tidaknya nasionalisme tapi pada "kemerdekaan" yang menyertai semangat nasionalisme itu sendiri. Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan diri, kedaulatan dirinya di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia. Nasionalisme adalah motif dan pembenaran atas Revolusi Indonesia. Kemerdekaanlah yang menjadi tujuannya. Merdeka dari segala bentuk penindasan.
Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme sempit yang membela bangsa apapun alasannya. "Right or wrong is my country" adalah sentimen berlebihan atas bangsa yang dapat berbuah rasialisme dan memperkosa kemanusiaan dan kebenaran. Nasionalisme kita tidak sekedar mengabdi pada sebentuk negara politis semata-mata, tapi lebih pada bangsanya, nasib warga di dalamnya. Dengan demikian kemanusiaan adalah panutannya, dan ke-Tuhanan adalah dasarnya. Nasionalisme tidak mati, dia hidup di hati rakyat Indonesia, termasuk pemudanya. Ada baiknya kita simak pernyataan "Sumpah mahasiswa" [xxv] di era 1980-an ini yang mengaku:
"Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan.
Berbahasa satu, bahasa kebenaran."
Tiga poin pokok yang muncul (tanpa penindasan, keadilan, dan kebenaran) adalah diskursus nasionalisme masa kini yang menghadirkan kembali seruan kritis para pendahulu bangsa. Adalah betul bahwa para pemuda generasi sekarang tidak mengalami masa penjajahan dan revolusi, tapi adalah naif bila dikatakan bahwa mereka tidak dapat berempati atas pengalaman itu dan tercerabut dari nasionalisme. Dulu adalah dulu dan sekarang adalah sekarang. Tapi pengalaman nasionalisme dulu pun hadir di masa sekarang meski berbeda dalam wujud dan strukturnya. Perjuangan atas cita-cita nasionalisme belumlah berhenti, tapi disambut oleh generasi sekarang untuk meneruskannya.
Saat ini, peran pemuda dalam mengisi semangat kemrdekaan kembali dipertanyakan. Daya kritis sebagai penggerak perubahan tidak terwujud. Ironisnya, semakin diperparah oleh kebiasaan mereka yang cenderung menjadi penyambung lidah kekuasaan. Daya kritis hilang, diganti oleh kepentingan pragmatis kekuasaan. Image generasi muda kini lebih bersifat peyoratif ketimbang positif. Mereka cenderung menjadi beban negara, ketimbang sebagai aset yang senantiasa memberikan input konstruktif dan suri tauladan yang baik.
Di era reformasi, seiring dengan hegemoni gagasan demokrasi, justru peran pemuda semakin mengerdil. Sulit mencari sosok-sosok HOS. Cokroaminoto, Soekarno, atau Hatta muda yang baru. Yang berjuang dengan gigih melawan penjajah. Tidak hanya dengan revolusi fisik, namun juga revolusi ide dan gagasan. Meninggalkan kemewahan duniawi untuk menjadi penyambung lidah rakyat dengan berbekal tenaga dan pikiran.
Secara teoretis, gagasan kebangsaan (nasionalisme)—di masa lalu—muncul dari kehendak untuk merdeka dari penjajahan bangsa lain serta persamaan nasib bangsa yang bersangkutan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ernst Renan, Otto Bower, dan Peter Tomasoa. Namun, di era modern, konsep itu tidak lagi sepenuhnya bisa diterima. Gagasan nasionalisme awal hanya terpaku pada kehendak untuk merdeka, atau “nasionalisme yang ingin mempunyai negara”. Namun, bila kemerdekaan sudah tercapai, secara perlahan akan lenyaplah nasionalisme tersebut.
Fenomena itulah yang boleh jadi sedang diidap oleh generasi muda. Semangat untuk berkorban, berbakti dan berjuang demi bangsa dan negara cenderung hilang, karena merasa sudah tidak ada lagi musuh yang mampu membangkitkan persatuan dan rasa kebangsaan. Mereka lupa, bahwa setelah revolusi fisik di masa lalu, justru musuh-musuh bangsa semakin banyak dan beragam. Memang, perjuangan tidak lagi sekedar dimaknai sebagai aksi memanggul senjata, namun, bukan berarti aksi lainnya kurang memiliki signifikansi. Di era modern, perjuangan lebih berat. Sebab musuh tidak sekedar berasal dari luar, tidak nyata, bahkan boleh jadi sosoknya adalah diri kita sendiri. Musuh tersebut bisa berbentuk kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kemalasan, ketidakrelaan untuk berkorban terhadap sesama atau berempati pada kondisi sosial dan lain sebagainya.
Re-konsepsi Paham Nasionalisme
Oleh karena itu, untuk menempatkan peran pemuda sebagai pengawal kemerdekaan, nasionalisme harus dikonsepsi sebagai sebuah proses yang senantiasa berkembang. Nasionalisme mengikuti dinamika sosial masyarakat. Antara keyakinan, harapan, dan tujuan di satu pihak, dengan lahirnya nasionalisme di lain pihak, terdapat keintiman konseptual yang mendalam. Nasionalisme akan tumbuh jika ditopang oleh harapan, tujuan, dan keyakinan serta cita-cita hidup yang diperjuangkan bersama. Image penjajahan tidak melulu bersifat fisik. Penjajahan juga bermakna mental. Dengan menatap kondisi sosial kita, agaknya tidak sukar menduga bahwa musuh utama dewasa ini adalah kemiskinan, ketidakadilan, penderitaan, neo-feodalisme, etnosetrisme, fundamentalisme, dan fanatisme.
Membangkitkan kembali nasionalisme di kalangan generasi muda
tidak mungkin tercapai tanpa mengenal siapa generasi muda, dan melihat realitas sosial yang kini terjadi di masyarakat. Menatap sepenuhnya landasan ideal dan cita-cita mereka yang hendak menciptakan dunia yang sejahtera, bebas dari rasa takut, kemiskinan, kesewenangan, dan kebodohan. Bagi generasi muda sekarang, cita-cita kemerdekaan itu digeser oleh harapan tersebut. Cita-cita kemerdekaan generasi muda bukanlah sekedar menghalau penjajah, lalu menggantikan peranan mereka dalam pemerintahan. Bukan sekedar menciptakan rasa bangga pada taraf nasional belaka, tetapi meliputi terciptanya jaminan bagi masa depan pendidikan, peningkatan taraf hidup masyarakat, ketentraman bagi seluruh warga negara Indonesia, kebebasan mengutarakan pemikiran dan pendapat, dan sebagainya.
Nasionalisme generasi muda dapat dibangkitkan dengan menjadikan kemiskinan dan ketidakadilan sebagai musuh nasional. Sehingga cita-cita realitas sosial yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, penghormatan kebebasan menyatakan pendapat, adanya distribusi pendapatan yang merata, kehidupan yang layak, adanya rasa bebas dari teror dan rasa takut, serta tegaknya hukum dalam segala dimensi kehidupan yang merata dan setara, tidaklah menjadi cita-cita utopis belaka.
Di balik kegelisahan dalam mengamati riuh-rendah peran pemuda, peran ideal meraka pada dasarnya masih bisa dibangkitkan kembali. Apalagi jika kita kembali merenungkan perjuangan mereka di era pergantian rezim kekuasaan, mulai pergantiang Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi. Pemuda menunjukan posisi tawar menawar (bargaining positions) yang jelas dan tegas, yakni menjaga idealismenya bagi kepentingan seluruh bangsa.
Dengan konsep seperti itu, tidak perlu lagi dikhawatirkan adanya sebagian besar pemuda yang belum memahami hakikat nasionalisme serta rasa solidaritas kebangsaan yang mampu menumbuhkan semangat perjuangan untuk membangun bangsa, dalam rangka mengisi cita-cita kemerdekaan. Lakon sejarah pergerakan pemuda menunjukan bahwa pemuda memiliki konsistensi untuk merawat dan menguatkan karakter bangsa (nation and character building). Konsistensi pemuda dalam menjaga idealismenya bagi kebaikan negeri sesungguhnya merupakan pengejawantahan atau manifestasi dari sprit of the nation yang sesungguhnhya.
Pembangunan tipikal dan karakter kebangsaan tidak akan lupa pada peran dan sumbangsih generasi muda. Bahkan warna dan polaritas mereka menunjukkan nilai sejati bangsa itu sendiri. Di saat kondisi bangsa sedang terpuruk, harapan tetap tertumpu pada mereka. Pekik teriakan yang pernah didengungkan oleh Soekarno: “berikan aku 10 pemuda, akan kuangkat gunung Semeru”, merupakan bukti bahwa tanpa dukungan generasi muda, sulit membangkitkan bangsa dari keterpurukan.(AS)

KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA MENUJU KEDAULATAN PANGAN 2025

I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Kedaulatan pangan diartikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-masing. Konsep yang pertama kali diusung oleh gerakan Via Campesina pada 1996 ini muncul sebagai reaksi dari kegagalan konsep yang ditawarkan WTO terkait dengan ketahanan pangan dalam melindungi ekosistem dan menjamin kesejahteraan petani khususnya di negara sedang berkembang.
Secara konseptual, kedaulatan pangan yang mensyaratkan pengendalian sistem produksi distribusi dan konsumsi pangan memang kalah universal dibandingkan ketahanan pangan. Hal ini mengingat, konsep ini tidak mungkin diterapkan di negara yang tidak punya lahan pertanian. Disamping itu, tanpa dibarengi dengan upaya peningkatan produksi dan perbaikan sistem secara serius, kedaulatan pangan tidak cukup menjamin ketahanan pangan atau terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang selalu terkait dengan kesetaraan sosial, kesejahteraan dan daya beli. Namun demikian, konsep kedaulatan pangan menjadi penting ketika negara dihadapkan pada pilihan antara memproduksi pangan sendiri atau menggantungkan diri pada impor.
Dalam perspektif kedaulatan, pangan bukanlah komoditas yang diperdagangkan begitu saja tanpa perlindungan. Oleh sebab itu, pangan seharusnya tidak ditumpukan pada pasar yang rentan, tetapi pada kemandirian dalam mencukupinya. Dalam konteks negara besar seperti Indonesia, ketergantungan terhadap pangan impor adalah ironi, karena selain mengabaikan potensi dan kekayaan sumber daya lokal juga bisa membawa ancaman bagi stabilitas nasional.

1.2 Tujuan
Tujuan dalam pembuatan karya tulis ini, antara lain :
1.1.1 Mengetahui penyebab persoalan ketahanan pangan Indonesia
1.1.2 Memberi gambaran tentang persoalan kondisi pangan yang dihadapi bangsa Indonesia
1.1.3 Memberikan solusi alternatif dalam upaya menuju kedaulatan pangan Indonesia 2025.

II PEMBAHASASAN

2.1 Analisis Persoalan
Pangan merupakan kebutuhan primer bagi semua manusia yang harus dihormati dan dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pemenuhan atas kebutuhan pangan menjadi hal yang sangat strategis bagi semua bangsa di dunia. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan: (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara, oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dengan demikian sangat dibutuhkan perlindungan negara kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan negara. Sebagai hak dasar, maka pangan merupakan hak asasi manusia di mana negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak atas pangan masyarakat bukannya justru menjadikan pangan sebagai komoditas dagang. Dalam konteks penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia menuntut peranan negara yang maksimal, apalagi hak atas pangan adalah hak yang paling asasi.
Hak menguasai negara bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad). Perkembangan ekonomi politik akhir-akhir ini justru menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan bisnis telah mengambil banyak keuntungan dari mekanisme regulasi pangan. Hal ini bisa kita lihat bagaimana maraknya impor beras secara gelap dan praktek bisnis makanan yang tidak layak lagi. Seharusnya upaya pemenuhan hak atas pangan adalah tanggungjawab negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat kepada setiap individu warga negara Indonesia.
Kedaulatan pangan menjadi hal mutlak bagi bangsa Indonesia. Hal ini bisa dicapai dengan langkah mendorong peningkatan produksi pangan nasional yang didukung oleh sektor industri pertanian yang kuat. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain:
1. Melindungi produksi pangan dalam negeri dengan mendorong kemandirian produksi pertanian.
2. Menghentikan impor bahan pangan yang merugikan hasil produksi petani dalam negri
3. Menciptakan regulasi yang berpihak pada petani dalam rangka menuju kedaulatan pangan.
4. Mendorong upaya-upaya perbaikan produksi pangan yang ramah lingkungan
5. Mencegah penyalahgunaan distribusi pangan yang bisa merugikan kesehatan manusia
6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber pangan.
7. Mendukung dan memfasilitasi peningkatan keberagaman pangan.

2.2 Solusi Permasalahan

a. Paradigma Baru Politik Pangan Indonesia
Sudah waktunya pemerintah merekonstruksi paradigma kebijakan pangan nasional dari semula berlandaskan pada paradigma ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Suatu negara, dinyatakan memiliki ketahanan pangan jika tiga cakupan pengertian yang dikandung dalam terminologi ketahanan pangan tersebut eksis pada suatu negara. Tiga cakupan tersebut, pertama adalah aspek ketersediaan (availability) dimana suplai pangan dalam suatu negara memenuhi kebutuhan atau permintaan domestiknya.
Kedua, aspek aksesibilitas (accessibility) suatu negara yang dapat dikatakan memiliki ketahanan pangan yang prima jika penduduk negara tersebut memiliki akses pangan yang tinggi terhadap pangan. Ada dua faktor penting yang mempengaruhi aksesibilitas pangan ini, yakni pendapatan rumah tangga dan masalah distribusi. Penduduk yang mengalami rawan pangan di daerah yang surplus pangan biasanya berkarakteristik penduduk miskin yang tidak mempunyai daya beli yang memadai untuk mencukupi kebutuhan pangan, ini terbukti di Propinsi Nusa Tenggara barat (NTB) sebagai suatu propinsi yang tergolong sebagai surplus beras ternyata sebagian penduduknya mengalami busung lapar. Masalah aksesibilitas terhadap pangan menjadi penting karena hal ini berhubungan dengan kemampuan penduduk untuk akses terhadap pangan tersebut. Jadi, adalah sebuah kegagalan kebijakan pangan tatkala pangan tersedia, tapi pada kenyataannya tidak dapat terjangkau oleh masyarakat. Faktor yang lain adalah timbulnya masalah distribusi pangan dari daerah sentra produksi ke daerah konsumsi karena kendala transportasi atau bencana alam yang menyebabkan masalah aksesibilitas ini juga bisa terjadi.
Ketiga, aspek kontinuitas (continuity) akses pangan yang prima tersebut terjadi sepanjang waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Misalkan pada waktu panen raya penduduk memiliki akses pangan yang prima tetapi tatkala musim pakceklik terjadi kerawanan pangan. Artinya dalam aspek yang terakhir ini kemampuan suatu negara atau wilayah mengelola stok dan logistik pangan antar waktu menjadi faktor kunci yang menentukan ketahanan pangan suatu negara atau wilaya tersebut. Positioning Petani sebagai Subyek Pembangunan Pertanian
Ada skala ekonomi tertentu dari aktivitas produksi yang harus dipenuhi (economic of scale) agar suatu unit usaha bisa menguntungkan. Untuk meningkatkan produktivitas, butuh intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi pertanian. Padahal ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah menguntungkan jika menerapkan intensifikasi pada lahan-lahan sempit seperti yang dimiliki umumnya petani kita tersebut.. Kendala struktural pertanian gurem ini harus diatasi kalau suatu negara ingin lebih sejahtera dan bisa melakukan transformasi struktural (suatu istilah yang menggambarkan proses peralihan diri dari negara agraris menjadi negara industri) secara baik. Oleh karena itu kebijakan redistribusi lahan untuk para petani Gurem atau dikenal dengan istilah Land Reform Policy adalah suatu keniscyaan.

b. Re-revitalisasi Sistem Pendukung Pembangunan Pertanian
Sistem pendukung on farm (produksi) yang prima ini dapat dilakukan dengan sedikit modifikasi seperti menekankan pada peremajaan pabrik-pabrik pupuk yang ada, pembangunan dan perawatan sistem irigasi, serta reboisasi hutan penyangga suplai air. Selain itu, payung konstitusional yang mengamanahkan telah menghadirkan sistem penyuluhan yang baik (Undang-undang No 16 tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan). Lahirnya Undang-undang ini dilandaskan pada kesadaran bersama tentang perlunya meningkatkan pembangunan pertanian (dalam arti luas) termasuk salah satunya dalam hal menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Melalui undang-undang ini diharapkan sistem penyuluhan yang sinergis dan terintegrasi dari pusat sampai daerah bisa terjadi untuk memacu peningkatan produktivitas pertanian nasiona.

c.Sistem pendukung yang efektif
Menciptakan supporting system yang efektif cukup sulit di lapangan. Kesulitan itu terletak pada beberapa kendala utama, yakni Pertama, lemahnya sinergisasi kementerian-kementerian dan instansi pemerintah yang terlibat dalam eksekusi kebijakan di lapangan dan pandangan ego sektoral yang masih sangat kental hadir dalam perilaku birokrasi pemerintah. Tantangan kedua yang tak kalah besar adalah kondisi birokrasi yang tidak kondusif untuk bisa mengawal implementasi kebijakan dan program ketahanan pangan di lapangan. Secara umum karakteristik birokrasi yang menyulitkan implementasi kebijakan secara efektif adalah inefisiensi dan biaya transaksi tinggi dengan vested interest sebagai pelayan publik yang sangat minimalis, serta kapasitas admnistrasi yang rendah dalam manajemen publik.
Visi pertanian ke depan bukan pembangunan pertanian, tetapi membangun pertanian untuk mewujudkan Indonesia sejahtera, demokratis dan berkeadilan dan untuk menuju ke sana ada tiga misi yang harus ditempuh antara lain mensejahterakan petani, nelayan, rakyat dan pelaku pembangunan pertanian.Misi lain dalam membangun pertanian ke depa adalah dengan, menjadikan pertanian sebagai prim over pembangunan pertanian, bukan ekonomi sebagai prim over komponennya pertanian. Untuk itu, pertanian tidak bisa menjadi penyedia makanan murah, penyedia bahan baku murah, penyedia SDM murah melainkan harus punya harga diri untuk pembangunan pertanian.
Ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda. Tingginya tingkat urbanisasi menyebabkan naiknya tingkat kemiskinan perkotaan, yang sangat membutuhkan pangan murah. Untuk pemenuhan ketahanan pangan kota, tidak mudah bagi Indonesia untuk mengabaikan perdagangan pangan global, kecuali ketergantungan pada produksi pangan domestik bisa menjamin harga pangan murah bagi kaum miskin kota. Tapi pada saat yang sama harus menghadapi cara bagaimana memproteksi petani kecil dan miskin dari dampak perdagangan pangan global. Dilema bagi Indonesia adalah bahwa petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil. Sayangnya harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan. Sedangkan kaum miskin kota, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun justru membutuhkan pangan yang murah, demi akses yang lebih baik bagi kaum miskin.
Produksi pangan harus senantiasa ditingkatkan dengan berbagai uapaya, mengingat kenyataan yang ada tidak bisa dihindari dari waktu ke waktu yaitu ternjadinya penyusutan lahan produktif baik akibat adanya konversi (alih fungsi dari lahan pertanian ke non pertanian) maupun menurunnya kualitas lahan yang ada. Di sisi lain, laju perkembangan jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat, dan sekarang angka tersebut menunjukkan 1.49 %. Semua ini menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan pangan yang terus melaju pesat.
Upaya peningkatan produksi pangan dengan perbaikan teknologi bercocok tanam seakan sudah memasuki titik jenuh. Sebagai ilustrasi, penambahan jumlah pupuk apapun seakan sudah tidak mampu memacu produksi tanaman yang relatif stagnan. Hal ini sesuai dengan hukum marginal produktivity dimana pada saat produksi mencapai maksimum, maka marginal produksi (peningkatan setiap 1 unit yang diproduksi adalah nol). Sehingga apabila lahan telah melalui fase tersebut, jumlah produksi akan menurun karena marginal produknya bernilai negatif. Untuk itulah, satu-satunya cara yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan menanam padi yang mempunyai potensi produksi yang lebih tinggi melalui perbaikan potensi genetiknya. Di lain pihak, kehilangan hasil tentu saja harus bisa diminimalisasi dan ditekan sekecil mungkin, baik saat panen maupun pasca panen. Kehilangan hasil panen dan pasca panen saat ini masih tinggi, yaitu sekitar 20.5 % (BPS 1995). Oleh karena itu upaya peningkatan produksi pangan harus dibarengi dengan usaha mengurangi tingkat kehilangan hasil. pemerintah memberikan bantuan subsidi petani tidak hanya berupa pupuk dan sarana produksi lainnya saja melainkan juga pada benih hibrida.
Ada secercah harapan ketika bioteknologi diyakini mampu menyelamatkan umat manusia dari kelangkaan pangan dan kelaparan di dunia. Melalui bioteknologi, hasil produksi tanaman dapat ditingkatkan minimal 10%. Namun, harapan tinggal harapan ketika sektor pertanian tidak cukup akrab dengan bioteknologi. Food and Agriculture Organization (FAO) baru-baru ini merilis data jumlah penduduk dunia yang kelaparan mencapai lebih dari 850 juta jiwa. Harga pangan pun melonjak dua kali lipat hanya dalam 2 tahun terakhir. Selain kekurangan pangan kronis, defisiensi mikronutrien menjadi momok karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat buruk. Padahal FAO memproyeksikan akan terdapat 2 miliar penduduk Bumi yang butuh makan dalam 30 tahun ke depan.
Di sisi lain, produktivitas pertanian dunia, khususnya di negara-negara agraris pemasok produk pangan tidak meningkat secara simultan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Padahal, Revolusi Hijau telah mengajarkan pentingnya inovasi teknologi, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian untuk mendongrak efisiensi usaha tani.Jelas, bertahan dengan usaha tani konvensional tidak akan memberikan hasil lebih baik di tengah tekanan peningkatan kebutuhan pangan yang terus-menerus. Bagi Indonesia, seharusnya kondisi ini menjadi peluang mengingat potensi sektor pertanian masih mungkin dilipatgandakan.
Kendalanya bukan lagi menjadi rahasia. Indonesia belum siap memanfaatkan produk bioteknologi pada tanaman pangan karena kendala instrumen kebijakan yang tidak lengkap.Bioteknologi menjadi sebuah nilai tambah ketika lahan di negara itu tidak lagi dapat diandalkan untuk mendongrak peningkatan hasil produksi pertanian.

III PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Kedaulatan pangan diartikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-masing. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi semua manusia yang harus dihormati dan dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kedaulatan pangan menjadi hal mutlak bagi bangsa Indonesia. Hal ini bisa dicapai dengan langkah mendorong peningkatan produksi pangan nasional yang didukung oleh sektor industri pertanian yang kuat. Upaya peningkatan produksi pangan dengan perbaikan teknologi bercocok tanam seakan sudah memasuki titik jenuh. Oleh karena itu upaya peningkatan produksi pangan harus dibarengi dengan usaha mengurangi tingkat kehilangan. Revolusi Hijau telah mengajarkan pentingnya inovasi teknologi, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian untuk mendongrak produktivitas dan efisiensi usaha tani.

1.2 Saran
Untuk menuju kedaulatan pangan tahun 2025, ada beberapa upaya yang harus dilakukan bangsa Indonesia, antara lain :
 meningkatkan nilai tambah (added value) dari komoditi lokal berbasis agribisnis
 menyediakan komoditi lokal yang memiliki potensi secara komersial melalui diversifikasi pangan
 mendorong pengembangan desa melalui kegiatan peningkatan pendapatan berdasar pada pertanian lokal terpadu
 mendukung ketahanan pangan dalam jangka panjang dengan sistem keberlanjutan
 memberikan solusi konkrit terhadap permasalahan pengangguran dan kemiskinan terutama pada masyarakat pedesaan.

IV Daftar Pustaka

Harjadi, Sri Setyati.1996.Pengantar Agronomi.Jakarta:Penerbit Gramedia
Edmond, JB,TL Senndan FS Andrews.1964.Fundamentals of Holticulture.Mac Graw Hill Co.
Geertz, C.1963. Agricultural Involution : the Processof Ecological Change. Univ.Callifornia Press.
Barkeley.

Langkah Pemuda dalam Upaya Membingkai Masa Depan Peradaban Indonesia

Konteks sejarah bangsa dalam dinamika perubahan dan konstruksi perubahan telah meniscayakan akan posisi dan peran strategis pemuda. Menapaki realitas kekinian pemuda diantara keprihatinan dan harapan kebangkitan, demikianlah gambaran sederhana dari wajah dunia kepemudaan kita. Peran strategis pemuda dan torehan sejarah yang bermakna dalam kehidupan berbangsa dalam pembangunan sosial, ekonomi, politik dan inovasi teknologi menjadi tak berarti apabila menyaksikan kenyataan pemuda hari ini.Menurut International Labor Organization terdapat 160 juta orang di dunia yang menganggur dan 40 persen diantaranya adalah pemuda. Dalam bidang pendidikan, terdapat 133 juta pemuda di dunia yang buta huruf dengan 1.738.000 di antaranya berada di Indonesia. Sekitar 238 juta pemuda hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan di bawah 1 dollar/hari, dan 462 juta pemuda hidup di bawah 2 dollar/hari.
Persoalan personal pemuda menjadi substansi kemajuan pemuda itu sendiri dan bangsa secara umum. Hal tersebut dapat dilihat dengan menurunnya pemahaman keagamaan, rendahnya rasa kebersamaan dan pudarnya nasionalisme, lemahnya kesadaran prinsip-prinsip kewarganegaraan, lemahnya imunitas terhadap godaan-godaan arus globalisasi yang tidak semuanya baik Sedangkan dalam perspektif kualitas sumber daya manusia, kondisi pemuda Indonesia sangatlah berbeda dengan masa dahulunya (kemerdekaan). Kenyataan adalah dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang menempati peringkat ke 110 dari 177 negara (Human Development Report, UNDP). Dimana indeks tersebut mengukur tiga dimensi, yaitu dimensi pendidikan (education index), dimensi kesehatan (life expectancy), dan dimensi ekonomi (GDP index).
Pemuda harus terus memacu semangat kemandirian bangsa, agar kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Pemuda adalah potensi dan kader yang harus diberdayakan, dikembangkan dan dilindungi karena mengingat jumlah pemuda yang sangat banyak yaitu sekitar 37,8 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 80 juta dari 220 juta penduduk Indonesia. Pemuda memiliki nilai strategis karena pemuda merupakan agen perubahan (Agent of Change) dan calon pemimpin dan pakar (Iron Stock) serta pemuda juga merupakan sosok da'i karena pemuda harus mampu mengajarkan kepada hal-hal bersifat baik dan positif. Kalau pemuda ingin maju dan mempunyai nilai saing maka pemuda harus memiliki berbagai kecerdasan antara lain, kecerdasan Intelektual (Logika), kreativitas, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan motivasional.
Sejatinya pemuda memiliki potensi yang sangat besar yang dapat dijadikan modal dan aset dalam pengembangan dan kemajuan bangsa antara lain : pemuda memiliki pemikiran kritis dalam melihat kelemahan, dinamis dan kreatif, mampu mengadakan perubahan, memiliki fisik yang kuat, jumlah yang banyak, memiliki sifat yang optimis, dan semangat yang tinggi. Sebagai agen perubahan, kemajuan dan kehancuran bangsa terletak sepenuhnya ditangan pemuda. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak pemuda. Pemuda menjadi salah satu dan satu-satunya ujung tombak suatu bangsa. Pemuda diharapkan agar mencari nilai tambah atau nilai lebih, baik itu keterampilan maupun keahlian dalam hal apa saja yang dapat menagangkat harkat dan martabat pemuda.
Munculnya berbagai masalah sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan permasalahan lainnya seperti adanya trend degradasi budaya dikalangan pemuda, dimana modernisasi bergeser ke westernisasi. Adanya penetrasi nilai-nilai budaya asing, agama diterima secara acuh tak acuh, degradasi semangat kebangsaan, memudarnya spirit of the nation, melemahnya idealisme dan patriotisme serta meningkatnya pragmatisme dan hedonisme yang marasuk pemuda Indonesia mengakibatkan bangsa ini terpuruk dan tidak mampu bangkit dari keterpurukan tersebut. Bahwa manusia kalau ingin maju dia harus berubah "if you don't change, you'll die" , jika tidak berubah dia akan mati dan tergilas oleh perkembangan zaman dan akan tertinggal mengingat besarnya tantangan yang akan dihadapi, antara lain : zaman komunikasi yang serba instan, dunia tanpa batas-batas ekonomi, internasionalisasi tenaga kerja, perdagangan dan pembelajaran melalui internet dan masyarakat layanan baru.
Pemuda adalah masa depan bangsa yang harus sanggup menjawab tantangan zaman dan mampu meneruskan cita-cita pendahulunya. Kita semua sepakat, di tangan para pemudalah masa depan bangsa ditentukan. Karena itu, bangsa yang besar harus memastikan bahwa generasi mudanya sanggup menjawab tantangan zamannya, sanggup meneruskan capaian-capaian generasi sebelumnya. Bahkan, melebihinya. Pemuda harus menjadi pelaku aktif dan kritis guna mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dan disegani negara lain. Pemuda mesti mempersiapkan diri dengan memperbanyak ilmu pengetahuan, memperkuat mental, fisik, serta menciptakan karakter kepribadian yang kuat agar dapat menjaga persatuan, kesatuan, dan martabat bangsa. eksistensi pemuda tidak hadir pada ruang yang kosong. Kiprah dan peran pemuda adalah produk interaksi dengan realitas dan tantangan faktual yang dihadapi masyarakatnya.
Para pemuda harus menjadi sosok historis yang mau dan mampu menjadi aktor perputaran kemajuan bangsa, guna melanjutkan etape-etape perjalanan bangsa yang telah dirintis oleh para pendahulu. Tentu dengan membekali diri secara cukup untuk mampu tampil sebagai sosok pemuda Indonesia masa kini. Pertama, menjadi generasi yang berkomitmen kepada rakyat, bangsa, dan negara. Pemuda adalah generasi yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan dan memerankan tanggung jawab sebagai anak-anak rakyat dan putra-putra bangsa yang sejati. Peran dan tanggung jawab sosialnya tampak nyata dan dirasakan orang banyak. Kedua, menjadi generasi yang berkompeten. Tantangan dunia baru yang penuh dengan kompetisi hanya bisa dijawab dengan kompetensi: kemampuan dan kesanggupan untuk mendapatkan peran berdasarkan prestasi dan karya nyata. Para pemuda adalah generasi baru yang mampu menghadapi persaingan dengan bekal kemampuan pribadi yang cukup dan prestasi yang obyektif. Prestasi lebih menonjol ketimbang askripsi. Ketiga, menjadi generasi yang tetap menjunjung tinggi pluralisme. Para pemuda bukan saja tetap menyadari dan menghormati realitas keindonesian yang menjemuk dan penuh dengan kepelbagaian, tetapi bahkan makin sanggup untuk hidup dalam damai, harmoni, serta penuh dengan kerja sama dan kebersamaan.
PR terbesar pemuda sejatinya adalah tugas kini dan nanti. Pemuda yang hidup dalam nuansa pergolakan akan cenderung lebih kritis dibandingkan mereka yang hidup dalam zona kenyamanan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemuda yang hidup di masa sekarang. Bagaimanapun, kepribadian kuat pemuda terbentuk karena realitas yang mendukung mereka untuk melakukan transformasi sosial: tantangan dan tuntutan. Ketika eksistensi bangsa ini semakin rapuh, pemuda berkewajiban melakukan satu pembaruan. Permasalahan seperti korupsi, terorisme yang bahkan dilakukan oleh pemuda, kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, dan sederet daftar panjang permasalahan negeri membutuhkan sentuhan para pemuda yang kritis dengan sikap yang bisa dipertanggungjawabkan. Keadilan menjadi isu yang sejatinya diangkat oleh para pemuda, tanpa jebakan pragmatisme politik.
Mereka adalah agen pembaru sekaligus pemimpin masa depan. Singkatnya, pemuda haruslah melawan mitos sejarah karena tantangan yang dihadapi bangsa saat ini bukan lagi, masalah lokal, tapi juga global. Para pendahulu telah membuktikan bahwa mereka mampu melakukan gebrakan di tengah impitan. Ketika Jepang sudah terdesak karena gempuran bom Amerika Serikat, para pemuda melihat celah, kemudian mendesak Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Belajar dari sejarah, maka sifat kritis pemuda diperlukan untuk melihat peluang di tengah krisis, tidak lantas mengeluh dan bermental lembek. Selain itu, sinergi antara orang tua dan pemuda juga diperlukan agar kontrol sosial yang dilakukan para pemuda tetap proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekadar luapan emosi yang terkadang menimbulkan anarkisme.
Sejarah telah membentuk citra pemuda sedemikian rupa, maka pemuda selayaknya bergerak agar jaya, bukan sekadar nostalgia. Pemuda merupakan generasi penerus, penanggung jawab dan pelaku pembangunan masa depan. Kekuatan bangsa di masa mendatang tercermin dari kualitas sumber daya pemuda saat ini. Untuk itu pemuda harus disiapkan dan diberdayakan agar mampu memiliki kualitas dan keunggulan daya saing guna menghadapi tuntutan, kebutuhan, serta tantangan dan persaingan di era global.(AS)

By : IPB Social Politic Center

Pemuda Dalam Pusara Peradaban

Wacana kebangsaan tidak pernah lepas dari bingkai kepemudaan. Tinta emas sejarah telah menggoreskan titah-titah perjuangan pemuda dalam semangat berkontribusi untuk bangsa. Di dalam setiap cerita perjuangan, pemuda selalu tampil di tengah kemelut zaman yang bergelora penuh dinamika. Peluh keringat yang membasahi sekujur tubuh adalah hal biasa bagi mereka. Pergumulan pemikiran adalah ajang elaborasi diskusi demi memberi yang terbaik bagi eksistensi bangsa ini. Rentang sejarah perjalanan pemuda telah banyak menggariskan fondasi awal membangun peradaban Indonesia yang maju, sejahtera dan berkeadilan. Bagi pemuda, perubahan adalah harga pasti yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Meski bayang teror dan dinginya jeruji besi sudah siap meghadang di depan mata pemuda, seolah hal tersebut tidak ada artinya apa-apa dibandingkan dengan ambisinya yang membuncah agar Indonesia terbebas dari segala bentuk ketidakadilan. Revolusi adalah harga mati demi terciptanya perubahan di kaki Ibu Pertiwi. Meskipun untuk itu nyawa yang menjadi taruhannya. Pekikan lantang orasidari pemuda selalu terdengarmembahana mengingatkan penguasa di atas menara gading agar kembali membumi di bawah pangkuan rakyatnya. Senandung mereka selalu memerahkan telinga para pejabat lalim yang mnyembunyikan belangnya di balik nama kekuasaan.
Perputaran zaman membawa pemuda dalam relung-relung peradaban. Cakrawala berifikir pemuda sudah melintasi isme-isme primordial yang selama ini menyekat kesatuan perjuangan mereka. Alur pergerakan pemuda selalu diikuti dengan pola-pola yang dinamis dan progresif sehingga membawa warna baru bagi kecerahan mimpi Indonesia ke depan. Semangat pemuda yang begitu tinggi laksana gardu pembangkit yang mampu meledakan kekeringan dan kejumudan oase bernalar di tengah arus zaman yang cukup ambigu untuk ditapaki. Mimpi-mimpi perubahan dan pembaharuan seakan tak pernah mati dari imajinasi pemuda. Arus kebangkitan yang selalu digaungkan oleh pemuda memperjelas tabir yang berusaha dibuka untuk membuka keran kejumudan penguasa lalim yang asyik bertengger di atas menara gading.
Dalam setiap zaman, pemuda selalu hadir dengan ceritanya masing-masing. Ketika kita kembali membuka lembar-lembar sejarah pemuda selalu lantang meneriakan kebebasan dan keadilan. Karena pada hakikatnya pemuda adalah sosok “pemberontak” yang tidak terkekang oleh situasi dan kondisi apapun. Sosok pemuda selalu mengawal bahkan berkonfrontasi terhadap bentuk-bentuk penindasan yang dilakukan penguasa yang semena-mena terhadap rakyat biasa. Meski cucuran darah harus menetes dari pori-pori kulit, semangat pemuda tidak pernah luntur di bawah kaki peguasa. Semangat berjuang dan berkontribusi untuk hidup yang lebih baik menjadi jargon bersama para pemuda.
Dewasa ini, di tengah arus globaisasi yang memborbardir makna kedaulatan, pemuda seolah kehilangan orientasi untuk membangun kejayaan negeri ini. Pemuda hanya terpaku pada persoalan-persoalan pragmatis yang melenakan. Banyak waktu dan energi yang terbuang hanya untuk mengurusi hal-hal sepele yang tidak merubah apa-apa. Sikap hedonis, materalistik, pragmatis, eksklusif, apatis, dan individulis telah banyak meracuni pemuda yang notabene merupakan genarsi penerus bagi keberlanjutan bangsa ini. Kekerasan, pertikaian, pornografi seolah menjadi indikator baku yang memproyeksiankarakter pemuda saat ini. Padahal tantangan zaman ke depan begitu besar. Pemuda Indonesia menjadi gagap dan kehilangan spirit ketika harus membuka tabir peradaban bangsanya sendiri. Pemuda sekarang seolah menjadi asing dengan persoalan-persoalan sosial yang ada di sekitar mereka seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, dan kesewenag-wenangan Matanya seolah buta ketika harus melihat penderitaan rakyat yang ada persis di hadapan mereka. Telinganya seolah tuli untuk mendengar aspirasi dan kritik dari masyarakat. Mulutnya seakan gagap dan ragu katika harus melantangkan kesejahteran dan keadilan bagi rakyat.
Pemuda sekarang hanya suka hal-hal yang bersifat pragmatis. Makna proses menjadi hal yang tabu untuk untuk diperbincangkan dihadapan umum. Fakta membuktikan bahwa pemuda sekarang teramat senang dengan sesuatu yang serba instan. Menurut mereka, kalau bisa cepat kenapa harus menunggu lama meskipun untuk itu harus melanggar aturan yang ada. Hal itu dapat dengan mudah kita lihat dengan semakin maraknya ajang-ajang idola semu di media televisi. Maknakesuksesanmenjadi ambigu karena proses bukanlah hal yang absurd dalam kontes tersebut. Kesuksesan dibangun di atas fondasi popularitas semu akibat drama dan kontroversi. Inilah cerminan rill dari kondisi pemuda saat ini. Kesuksesan diukur atas dasar popolaritas yang diperoleh secara instan, bukan atas dasar keseriusan poses. Maka, jadilah kita sebagai bangsa yang serba instan dalam melihat dan menyelesaikan persoalan bangsa.
Perjalanan waktu yang begitu penuh dinamika, seharusnya menyadarkan pemuda tentang hakikat berbangsa dan bernegara. Di tangan pemudalah sebuah amanah peradaban baru dibebankan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terlalu besar untuk dikerdilkan oleh pemikiran pemuda yang sempit. Jika pemuda dahulu di masa perjuangan mampu berjuang mempersatukan seluruh pemuda di atas sebuah panji nasionalisme, lalu kenapa di era globalisasi kini, eksistensi pemuda kian dipertnyakan?.

Langkah Pemuda Membingkai Masa Depan Peradaban Indonesia

Konteks sejarah bangsa dalam dinamika perubahan dan konstruksi perubahan telah meniscayakan akan posisi dan peran strategis pemuda. Menapaki realitas kekinian pemuda diantara keprihatinan dan harapan kebangkitan, demikianlah gambaran sederhana dari wajah dunia kepemudaan kita. Peran strategis pemuda dan torehan sejarah yang bermakna dalam kehidupan berbangsa dalam pembangunan sosial, ekonomi, politik dan inovasi teknologi menjadi tak berarti apabila menyaksikan kenyataan pemuda hari ini. Menurut International Labor Organization terdapat 160 juta orang di dunia yang menganggur dan 40 persen diantaranya adalah pemuda. Dalam bidang pendidikan, terdapat 133 juta pemuda di dunia yang buta huruf dengan 1.738.000 di antaranya berada di Indonesia. Sekitar 238 juta pemuda hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan di bawah 1 dollar/hari, dan 462 juta pemuda hidup di bawah 2 dollar/hari.
Persoalan personal pemuda menjadi substansi kemajuan pemuda itu sendiri dan bangsa secara umum. Hal tersebut dapat dilihat dengan menurunnya pemahaman keagamaan, rendahnya rasa kebersamaan dan pudarnya nasionalisme, lemahnya kesadaran prinsip-prinsip kewarganegaraan, lemahnya imunitas terhadap godaan-godaan arus globalisasi yang tidak semuanya baik Sedangkan dalam perspektif kualitas sumber daya manusia, kondisi pemuda Indonesia sangatlah berbeda dengan masa dahulunya (kemerdekaan). Kenyataan adalah dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang menempati peringkat ke 110 dari 177 negara (Human Development Report, UNDP). Dimana indeks tersebut mengukur tiga dimensi, yaitu dimensi pendidikan (education index), dimensi kesehatan (life expectancy), dan dimensi ekonomi (GDP index).
Pemuda harus terus memacu semangat kemandirian bangsa, agar kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Pemuda adalah potensi dan kader yang harus diberdayakan, dikembangkan dan dilindungi karena mengingat jumlah pemuda yang sangat banyak yaitu sekitar 37,8 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 80 juta dari 220 juta penduduk Indonesia. Pemuda memiliki nilai strategis karena pemuda merupakan agen perubahan (Agent of Change) dan calon pemimpin dan pakar (Iron Stock) serta pemuda juga merupakan sosok da'i karena pemuda harus mampu mengajarkan kepada hal-hal bersifat baik dan positif. Kalau pemuda ingin maju dan mempunyai nilai saing maka pemuda harus memiliki berbagai kecerdasan antara lain, kecerdasan Intelektual (Logika), kreativitas, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan motivasional.
Sejatinya pemuda memiliki potensi yang sangat besar yang dapat dijadikan modal dan aset dalam pengembangan dan kemajuan bangsa antara lain : pemuda memiliki pemikiran kritis dalam melihat kelemahan, dinamis dan kreatif, mampu mengadakan perubahan, memiliki fisik yang kuat, jumlah yang banyak, memiliki sifat yang optimis, dan semangat yang tinggi. Sebagai agen perubahan, kemajuan dan kehancuran bangsa terletak sepenuhnya ditangan pemuda. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak pemuda. Pemuda menjadi salah satu dan satu-satunya ujung tombak suatu bangsa. Pemuda diharapkan agar mencari nilai tambah atau nilai lebih, baik itu keterampilan maupun keahlian dalam hal apa saja yang dapat menagangkat harkat dan martabat pemuda.
Munculnya berbagai masalah sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan permasalahan lainnya seperti adanya trend degradasi budaya dikalangan pemuda, dimana modernisasi bergeser ke westernisasi. Adanya penetrasi nilai-nilai budaya asing, agama diterima secara acuh tak acuh, degradasi semangat kebangsaan, memudarnya spirit of the nation, melemahnya idealisme dan patriotisme serta meningkatnya pragmatisme dan hedonisme yang marasuk pemuda Indonesia mengakibatkan bangsa ini terpuruk dan tidak mampu bangkit dari keterpurukan tersebut. Bahwa manusia kalau ingin maju dia harus berubah "if you don't change, you'll die" , jika tidak berubah dia akan mati dan tergilas oleh perkembangan zaman dan akan tertinggal mengingat besarnya tantangan yang akan dihadapi, antara lain : zaman komunikasi yang serba instan, dunia tanpa batas-batas ekonomi, internasionalisasi tenaga kerja, perdagangan dan pembelajaran melalui internet dan masyarakat layanan baru.
Pemuda adalah masa depan bangsa yang harus sanggup menjawab tantangan zaman dan mampu meneruskan cita-cita pendahulunya. Kita semua sepakat, di tangan para pemudalah masa depan bangsa ditentukan. Karena itu, bangsa yang besar harus memastikan bahwa generasi mudanya sanggup menjawab tantangan zamannya, sanggup meneruskan capaian-capaian generasi sebelumnya. Bahkan, melebihinya. Pemuda harus menjadi pelaku aktif dan kritis guna mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dan disegani negara lain. Pemuda mesti mempersiapkan diri dengan memperbanyak ilmu pengetahuan, memperkuat mental, fisik, serta menciptakan karakter kepribadian yang kuat agar dapat menjaga persatuan, kesatuan, dan martabat bangsa. eksistensi pemuda tidak hadir pada ruang yang kosong. Kiprah dan peran pemuda adalah produk interaksi dengan realitas dan tantangan faktual yang dihadapi masyarakatnya.
Para pemuda harus menjadi sosok historis yang mau dan mampu menjadi aktor perputaran kemajuan bangsa, guna melanjutkan etape-etape perjalanan bangsa yang telah dirintis oleh para pendahulu. Tentu dengan membekali diri secara cukup untuk mampu tampil sebagai sosok pemuda Indonesia masa kini. Pertama, menjadi generasi yang berkomitmen kepada rakyat, bangsa, dan negara. Pemuda adalah generasi yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan dan memerankan tanggung jawab sebagai anak-anak rakyat dan putra-putra bangsa yang sejati. Peran dan tanggung jawab sosialnya tampak nyata dan dirasakan orang banyak. Kedua, menjadi generasi yang berkompeten. Tantangan dunia baru yang penuh dengan kompetisi hanya bisa dijawab dengan kompetensi: kemampuan dan kesanggupan untuk mendapatkan peran berdasarkan prestasi dan karya nyata. Para pemuda adalah generasi baru yang mampu menghadapi persaingan dengan bekal kemampuan pribadi yang cukup dan prestasi yang obyektif. Prestasi lebih menonjol ketimbang askripsi. Ketiga, menjadi generasi yang tetap menjunjung tinggi pluralisme. Para pemuda bukan saja tetap menyadari dan menghormati realitas keindonesian yang menjemuk dan penuh dengan kepelbagaian, tetapi bahkan makin sanggup untuk hidup dalam damai, harmoni, serta penuh dengan kerja sama dan kebersamaan.
PR terbesar pemuda sejatinya adalah tugas kini dan nanti. Pemuda yang hidup dalam nuansa pergolakan akan cenderung lebih kritis dibandingkan mereka yang hidup dalam zona kenyamanan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemuda yang hidup di masa sekarang. Bagaimanapun, kepribadian kuat pemuda terbentuk karena realitas yang mendukung mereka untuk melakukan transformasi sosial: tantangan dan tuntutan. Ketika eksistensi bangsa ini semakin rapuh, pemuda berkewajiban melakukan satu pembaruan. Permasalahan seperti korupsi, terorisme yang bahkan dilakukan oleh pemuda, kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, dan sederet daftar panjang permasalahan negeri membutuhkan sentuhan para pemuda yang kritis dengan sikap yang bisa dipertanggungjawabkan. Keadilan menjadi isu yang sejatinya diangkat oleh para pemuda, tanpa jebakan pragmatisme politik.
Mereka adalah agen pembaru sekaligus pemimpin masa depan. Singkatnya, pemuda haruslah melawan mitos sejarah karena tantangan yang dihadapi bangsa saat ini bukan lagi, masalah lokal, tapi juga global. Para pendahulu telah membuktikan bahwa mereka mampu melakukan gebrakan di tengah impitan. Ketika Jepang sudah terdesak karena gempuran bom Amerika Serikat, para pemuda melihat celah, kemudian mendesak Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Belajar dari sejarah, maka sifat kritis pemuda diperlukan untuk melihat peluang di tengah krisis, tidak lantas mengeluh dan bermental lembek. Selain itu, sinergi antara orang tua dan pemuda juga diperlukan agar kontrol sosial yang dilakukan para pemuda tetap proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekadar luapan emosi yang terkadang menimbulkan anarkisme.
Sejarah telah membentuk citra pemuda sedemikian rupa, maka pemuda selayaknya bergerak agar jaya, bukan sekadar nostalgia. Pemuda merupakan generasi penerus, penanggung jawab dan pelaku pembangunan masa depan. Kekuatan bangsa di masa mendatang tercermin dari kualitas sumber daya pemuda saat ini. Untuk itu pemuda harus disiapkan dan diberdayakan agar mampu memiliki kualitas dan keunggulan daya saing guna menghadapi tuntutan, kebutuhan, serta tantangan dan persaingan di era global.(AS)

By : IPB Social Politic Center

Pergerakan Mahasiswa Di Simpang Jalan

Pergerakan Mahasiswa Di Simpang Jalan
“Mari percayabahwa Indonesia masadepanadalahkisahtentangkegemilangan!”
(Shofwan Al-BannaChoiruzzad)

Kajian tentang dinamika pergerakan mahasiswa merupakan suatu kajian yang tidak akan terputus, ini sangat menarik. Baik dari perspektif sejarahmaupundalamkonteksrealitabahwadinamikapergerakanmahasiswatelahmemberikanfenomenasertamengundangberbagaikontroversi yang seolahjugatidakberujung. Ada saja yang ditunjukkanolehpergerakanmahasiswa, yang tidakurungmengundangberbagaireaksidangejolakbaik yang positif, maupunnegatif.Mahasiswatetapberjuangdenganberbagaiatribut yang diembannyadanbirokratataupihak yangberkepentingantetapbertahandenganberbagaikeyakinannya. Hal inilah yang kadangtidakmembawapenyelesaian yang produktif.
GERAKAN mahasiswadalamsejarahperubahanperadabanduniaberkali-kali telahmenorehkantintaemasnya.Gerakanpemuda di Indonesia inidimulaidenganSumpahPemudapadatahun 1928.Namun, istilahpemudatersebutmengalamispesialisasidengansebutanmahasiswa, sosok yang memilikikadarintelektualtinggi. Untukmengadakanperubahanbangsatidakcukupdengansemangat ‘muda’ dituntutjugaintelektualdan yang menjadikannilailebihmahasiswaadalahgerakanmerekarelatifbebasdariberbagaiintrikpolitik.
Semenjakperistiwafenomenaltahun 1998 ketikasaatituhampirseluruhmahasiswabergerakuntukmenyongsongreformasi.Hinggasaatiniperistiwasepertiitudanprestismegerakanmahasiswasangatsulitterulang.Bahkanbisadibilangdarisemenjaktahunkejayaanmahasiswatahun 1998 hinggasekarangtahun 2009, sebelastahunberlalugrafikpenilaianterhadapgerakanmahasiswaterusmenurun.
Faktor yang mempengaruhipergerakanmahasiswa, yaknigencarnyaarusglobalisasi di Indonesia.DitandaidenganPesatnyaperkembanganduniainformasidantekhnologi yang berasaldariluarsepertipenggunaanfacebookdangerakan ”Hedonisme”. Sehinggamembuatmahasiswahanyapeduliterhadapkepentingandankesenanganpribadinya, namunbersifatapatisterahadapkepentingannegaradanmasyarakatnya.
NamunperubahanparadigmaduniapergerakanmahasiswahendaknyatidakmengurangifungsinyasebagaiThe Agent of Social Controlserta motor penggerakpembaharu yang tetappedulidanberpihakkepadamasyarakatbawahkarenasampaikapan pun mahasiswadengansemangatmudanyaakantetapmemegangperananpentingdalammengontrolkebijakan-kebijakanpublik agar tetapmemikirkanakarrumputdarirakyat, olehrakyatdanuntukrakyat.
Sehinggaperludipekuatpilardemokrasi yang ada di Indonesia yang mengacupadabadaneksekutif, legislatif, yudikatif, media dan social power.Olehkarenaituperluadanyaevaluasiterhadapkelimapilartersebutuntukmemperbaikidemokrasi yang mulaikacau.
Kondisipemerintahanpascareformasibelumjugamemberikanperubahan yang signifikankearah yang lebihbaik.Kecenderunganuntukkembalimerajalelanyapola-polaordebaruterlihatdenganjelas, salahsatuindikasinyaadalahsemakintingginyatingkatkorupsi di negerikita, yang diakibatkanlemahnyasistemhukumdinegarakita.Fungsikontrol yang dijalankanolehlegislatifterkesanjauhdarihakekatnyasebagaipembawaaspirasirakyat, justru yang lebihmenonjoladalahpembawaaspirasigolongannya.
Kondisilegislatifteralienasiinisemakindiperparahdengankurangresponsifnyapartai-partaipolitikterhadapisu-isupublikuntukpemberdayaanrakyat, pengentasankrisis, sertapencerdasanbangsa.Merekalebihsibukdenganisu-isuberdimensialiran, uangsertapembagiankekuasaan.Kondisi yang akutinimenuntutgerakanmahasiswauntukproaktifdalammengkritisikinerjapemerintahan yang kontraproduktif.
Akan tetapi, justrugerakanmahasiswaseolahkehilanganarahgerakannyapascareformasisehinggaterpolarisasikepadabanyakkutub.Sebagianmahasiswatelahterlenadalameuforiareformasisehinggacenderunglebihseringberkutatdenganbangkukuliahnyadibandingkanikutdalammempengaruhi proses politikbangsaini.
I. MENGAPA MENULIS ARTIKEL ?
Artikel adalah tulisan lepas berisi opini seseorangyang mengupas tuntas suatu masalah tertentu yang sifatnya actual dan atau kontrovesial dengan tujuan untuk memberitahu (informative), mempengaruhi, dan meyakinkan (persuasive argumentative), atau menghibur khalayaj pembaca (rekreatif).
Secara teknis jurnalistik, artikel adalah salah satu bentuk opini yang terdapat dalam surat kabar atau majalah. Disebut salah sat, karena masih ada bentuk opini yang lain.
Analoginya sederhana. Kalau kita membuka halaman demi halaman surat kabar atau majalah, maka secara umum isinya dapat digo-longkan ke dalam tiga kelompok besar.
1. Kelompok pertama adalah berita {news).

2. Kelompok kedua disebut opini [views).

3. Kelompok ketiga dinamakan iklan [advertising).

Kelompok berita, meliputi antara lain berita langsung [straight news), berita foto
[photo news), berita suasana-ber-warna [colour news), berita menyeluruh [comprehensive news), berita mendalam [depth news), berita penafsiran [interpretative news), dan berita penyelidikan [investigative news).

Kelompok opini, meliputi tajuk rencana atau editorial, karikatur, pojok, artikel, kolom, dan surat pembaca. Untuk memisahkan secara tegas antara berita [news) dan opini [views], maka tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel, dan surat pembaca ditempatkan dalam satu halaman khusus. Inilah yang disebut halaman opini [opinion page). Pemisahan secara tegas berita dan opini tersebut merupakan konsekuensi dari norma dan etika luhur jurnalistik yang tidak menghendaki berita sebagai fakta objektif, diwarnai atau dibaurkan dengan opini sebagai pandangan yang sifatnya subjektif.














Ertentu yang si




























Oke, sebagai ilustrasi materi IPS IV kali ini. Mari kita analisis “Perang Opini” antara Pers-Para Aktivis MAHASISWA berikut ini (silahkan dibaca )


Aksi Mahasiswa dan Disorientasi Gerakan
Kompas. Jumat, 19 Maret 2010 | 11:14 WIB
Unjuk rasa mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Rabu lalu, diwarnai saling dorong dan baku pukul antara mahasiswa dan petugas keamanan. Pintu kaca gedung rektorat pecah akibat dorongan mahasiswa yang mendesak masuk. Kamis, aksi dilanjutkan tapi tidak sericuh Rabu.
Agenda utama unjuk rasa sekitar 100 mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa UIN (KBMU) itu mendesak pelibatan mahasiswa dalam pemilihan rektor. Bukan kandidat yang mereka permasalahkan, melainkan proses.
Mahasiswa tak punya hak suara dalam pemilihan rektor (pilrek). Apa boleh buat, aturan Menteri Agama bagi perguruan tinggi Islam sejak 2007 memang begitu adanya. Sebelumnya, elemen mahasiswa dilibatkan dalam pilrek. Itulah amunisi protes.
Aksi tersebut memang tak bisa dibandingkan dengan aksi mahasiswa di Makassar, beberapa waktu lalu. Karena terjadi di Yogyakarta, aksi itu menjadi menarik. Apalagi, Yogyakarta selama ini dikenal adem ayem, kota pelajar dan kota budaya.
Apakah aksi mahasiswa harus seperti itu? "Tidak," kata Lalu Lutfi, Koordinator KBMU. Perusakan pintu kaca dipandang tak lebih sebagai euforia massa aksi. Ia meminta agar aksi jangan dilihat sepenggal. Jika mahasiswa sampai "berteriak" seperti itu, tentu ada sebabnya: hak suara mahasiswa dibungkam.
"Kami unjuk rasa dan sampai seperti ini karena kami tahu ada yang tidak beres di kampus. Mahasiswa tak boleh pragmatis. Mahasiswa harus tahu apa yang terjadi di sekitarnya dan kritis. Sekarang, banyak mahasiswa pragmatis," kata Lalu.
Aksi seperti itu tak hanya sekali terjadi di UIN. Kepala Sub-bagian Humas UIN RTM Maharani mengakui, sepatutnya mahasiswa di kampus Islam jangan sampai melakukan demo yang bernuansa anarkis. "Ada salah paham yang mesti dicari solusinya," katanya.




Gambaran umum
Secara umum, di Yogyakarta, ada kecenderungan menarik dari aksi-aksi mahasiswa. Pengamat politik UGM yang juga mantan aktivis mahasiswa, Arie Sudjito, berpendapat, gerakan mahasiswa mengalami disorientasi; tidak memiliki tujuan dan target jelas. Mereka kehilangan peran sejak pemerintahan bergeser dari pemerintahan yang cenderung otoriter menjadi lebih demokratis.
"Peran mahasiswa dulu mengkritisi pemerintah karena masyarakat maupun media tak mampu mengkritik. Sekarang, peran itu diambil alih media massa, lembaga swadaya masyarakat, maupun elemen masyarakat lainnya," ujar dia.
Ibarat pejuang, mahasiswa kini kehilangan musuh, tetapi pola perjuangannya tak juga berubah. Akibatnya, gerakan mahasiswa mudah terpancing isu jangka pendek. Tanpa memiliki pedoman jelas, emosi pun mudah terpancing. "Maka timbullah aksi yang menjadi anarkis, merusak kampus sendiri, atau saling serang," ujar dia.
Pada masa lalu, gerakan mahasiswa tak mudah terpancing karena mempunyai setting agenda yang jelas. Mahasiswa Yogyakarta dikenal dengan kemampuan intelektual dan diplomasinya yang mumpuni sehingga sangat jarang terlibat aksi rusak-merusak dalam berbagai aksi.
Untuk mengatasi kecenderungan keras dalam aksi mahasiswa secara umum, gerakan mahasiswa harus menemukan pola perjuangan yang berbeda dari masa lalu. Gerakan mahasiswa tidak bisa lagi sekadar mengkritisi, tetapi harus disertai aksi nyata.
Unjuk rasa mahasiswa bukan sekadar mengekspos gerakan, melainkan harus memuat jawaban atas permasalahan di masyarakat. Dengan kata lain, menjadi bagian dari solusi nyata problema yang dihadapi publik.
Misalnya, menjadi agen penghubung antarelemen masyarakat maupun negara, seperti menghubungkan buruh dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau menghubungkan LSM dengan pemerintah. Peran itu saat ini masih lowong dan layak diisi gerakan mahasiswa.
Salah satu contoh kekisruhan gerakan mahasiswa tecermin pula pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa UGM, yang terlibat permasalahan dengan rektorat. Hingga kini, Presiden BEM KM UGM Aza El Munadiyan terpilih belum diakui Rektorat UGM. Rektorat UGM mengaku tengah berupaya menata BEM.
Jawaban dari semua aksi mahasiswa di kampus mana pun yang bernuansa ricuh memang berpulang pada keharmonisan pengelola kampus dengan mahasiswa. Komunikasi dan transparansi merupakan kunci penting. Barangkali memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. (LUKAS ADI PRASETYA/ IRENE SARWINDANINGRUM)








BALASAN OPINI DARI AKTIVIS UNTUK PERS


Disorientasi Gerakan Mahasiswa?
Kompas, Senin, 22 Maret 2010 | 13:58 WIB
Oleh Mohamad Fathollah
Rubrik Gelanggang Kompas, Jumat (19/3), mengulas tentang disorientasi gerakan mahasiswa. Berdasarkan analisis "tindakan anarkis" demonstrasi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, secara mendasar, tulisan itu seakan mendistorsi gerakan mahasiswa secara umum. Apalagi adanya komentar sinis Ari Sujito, sebagai narasumber primer, yang mengatakan gerakan mahasiswa sekarang tidak mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Menurut hemat saya, Ari terlalu dini menilai hakikat gerakan mahasiswa dan seakan-akan mengeliminasi ideologi gerakan mahasiswa.
Ari mengatakan, gerakan mahasiswa mengalami disorientasi dan tak memiliki tujuan yang jelas. "Mereka kehilangan peran sejak pemerintahan bergeser dari pemerintahan yang cenderung otoriter menjadi lebih demokratis. Peran mahasiswa dulu mengkritisi pemerintah karena masyarakat tidak mampu mengkritik, sekarang peran itu diambil alih media massa, lembaga swadaya masyarakat, maupun elemen masyarakat lainnya." (Kompas, 19/3)
Meski di beberapa hal pernyataan itu realistis, kita dapat berpikir lebih jauh tentang hakikat sebuah gerakan bahwa ada bagian- bagian yang kadang kita abai terhadapnya. Misalnya, mengenai tujuan, di mana pun dan hingga kapan pun tujuan gerakan sosial, demonstrasi, dan aksi yang melibatkan massa yang masif adalah satu, yakni menentang segala bentuk ketidakadilan dalam segenap aspeknya. Terlepas dari akibat negatif (anarkisme, misalnya) yang muncul di sela-sela aksi tidak dapat digeneralisasi dan dikreasikan pada ranah ideologi massa aksi.
Dewasa ini, banyak kalangan menyangsikan arah gerakan mahasiswa. Pascareformasi 1998, gerakan sosial di Indonesia yang dipelopori (mayoritas) mahasiswa saat ini dipandang tak lebih sekadar kerumunan massa. Tujuan dan idealisasi ideologi dipandang jadi barang dagangan. Apalagi maraknya unjuk rasa kalangan mahasiswa yang berujung anarkis semakin mengerucutkan anggapan negatif masyarakat.


Hal demikian terekam dari sejumlah aksi yang menggejala di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa mantan aktivis mahasiswa zaman Soeharto, misalnya, (Ari Sujito juga mengklaim dirinya aktivis 1998), sangsi pada gerakan mahasiswa yang akhir-akhir ini diberitakan negatif. Tindakan anarkisme yang terjadi di Makassar antara mahasiswa dan polisi, demonstrasi yang berujung perusakan infrastruktur di Jakarta perihal kasus Century, atau lainnya dipandang sebagai aksi membabi buta.
Kalau kita hanya melihat dengan mata telanjang sejumlah demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini dan buru-buru menilai gerakan anarkisme massa aksi di sejumlah daerah sebagai gerakan yang tidak mempunyai nilai dan arah yang pasti, saya pikir harus kita lihat konteksnya terlebih dahulu. Kalau kita bandingkan, aksi mahasiswa 1965-1966, 1972-1974, atau yang lebih masif demonstrasi 1997-1998 juga melahirkan anarkisme massa. Jadi, realitas anarkis tidaklah menjadi ukuran formal buntunya gerakan mahasiswa. Saya yakin, gerakan yang dilandasi niat dan mapping yang jelas tak akan melahirkan tindakan anarkis. Kalaupun ada hanya bagian kecil massa aksi serta out of control.
Sikap konfrontatif gerakan mahasiswa dapat dikategorikan gerakan revolusioner. Hal ini karena gerakan itu dilakukan secara masif dan terstruktur dengan tujuan dan arah yang jelas. M Fadjroel Rahman (2006) menyebut gerakan 1998 sebagai tindakan peran oposisi ad hoc gerakan mahasiswa. Misalnya, perlawanan mahasiswa terhadap keotoriteran Orde Baru yang memicu sejumlah aksi mahasiswa di seantero negeri.
Gerakan revolusioner itu dapat juga kita identifikasi pada gerakan mahasiswa 1956 dan 1966 dengan tujuan penumbangan Orde Lama yang otoriter. Atau mosi tidak percaya pada pemerintah yang dikobarkan 1974. Gerakan ini menampilkan Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, dan Asmara Nababan sebagai garda depan gerakan antipemerintah.
Hingga era pemberlakukan NKK/BKK pada 1978 sebagai pengerdilan gerakan mahasiswa yang masif mencapai puncak pada 1990. Upaya pemerintah mengebiri gerakan mahasiswa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk memasukkan pasal-pasal dan ketentuan khusus pada normalisasi kehidupan kampus. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan aksi mahasiswa dengan menumbangkan era Orba pada 1998.
Melihat gerakan mahasiswa yang masif sejak kemerdekaan hingga masa reformasi yang penulis kemukakan di atas dapat dikatakan sebagai gerakan murni kontrol sosial-politik. Hal itu berjalan efektif karena massa aksi (mahasiswa) mempunyai musuh bersama (common enemy) yang harus segera tumbang, yakni pemerintah dan segala kebijakan otoritatif Orba.






Musuh bersama
Yogyakarta adalah lumbung gerakan mahasiswa. Tidak hanya demonstrasi yang dapat dilakukan mahasiswa dalam melawan ketidakadilan dan diskriminasi. Cara lain, misalnya gerakan literasi, entrepreneurship, dan gerakan yang lagi marak, adalah gerakan sosial berbasis cyberspace.
Kalau kita bandingkan gerakan mahasiswa sebelum reformasi dengan realitas gerakan mahasiswa pascareformasi, jelas-jelas penggambarannya sedikit berbeda. Tiap aksi massa mempunyai sejarah sendiri. Tidak dapat dibanding-bandingkan gerakan mahasiswa saat ini dengan satu dasawarsa yang lalu. Mengatakan yang sekarang salah dan yang terdahulu benar adalah sikap apatis. Sebab hingga kapan pun gerakan mahasiswa murni sebagai media perubahan. Terlepas dari motifnya politis atau ideologis. Yang pasti, gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bersama menumbangkan ketidakadilan dan segala macam bentuk diskriminasi.
Demonstrasi adalah salah satu kehidupan mahasiswa di luar kampus. Hakikat demonstrasi yang kerap kali dilakukan baik oleh kalangan buruh dan mahasiswa merupakan aksi dari reaksi yang diterima atas sejumlah ketidakadilan, diskriminasi, alienasi, dan pengerdilan yang dilakukan pemerintah, penguasa (korporasi) atau siapa pun. Ini karena mahasiswa mempunyai peran ganda; sebagai insan akademik serta sebagai agent of social control.
Pemicu dan motif gerakan mahasiswa mungkin dapat berbeda. Tapi, musuh bersama gerakan mahasiswa yang dikatakan hilang dengan dibukanya gerbang demokratisasi politik hingga saat ini masih bertahan versus gerakan sosial mahasiswa. Musuh bersama gerakan bukan pemerintah saja, tapi segala bentuk keotoriteran yang dipraktikkan orang atau oknum yang melacuri kekuasaan demi kepentingan parsial. MOHAMAD FATHOLLAH Aktivis PMII Rayon Humaniora Park UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta








TANGGAPAN DARI AKTIVIS LAINNYA…………..


Reorientasi Gerakan Mahasiswa
Kompas, Sabtu, 27 Maret 2010 | 13:17 WIB
Oleh Wisnu Prasetya Utomo
Sidang paripurna DPR yang membahas Bank Century menyisakan banyak persoalan. Tidak hanya persoalan di wilayah elite, tetapi juga gerakan mahasiswa yang disayangkan berakhir antiklimaks. Seiring selesainya kerja Pansus, aksi mahasiswa justru terjebak pada kerusuhan, paling tidak di Jakarta dan Makassar.
Dalam kasus berbeda, beberapa waktu yang lalu mahasiswa UIN Sunan Kalijaga bentrok dengan aparat kampus. Selasa (24/3), aksi beberapa elemen mahasiswa yang tergabung dalam Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia juga diwarnai bentrokan.
Melihat serpihan peristiwa tersebut, kita seperti dipaksa kembali mendiskusikan posisi dan peran gerakan mahasiswa dalam dinamika perubahan sosial politik negeri ini.
Tulisan Mohamad Fathollah berjudul "Disorientasi Gerakan Mahasiswa" (22/3) di halaman ini mencoba ikut urun rembuk mengenai orientasi gerakan mahasiswa. Tulisannya menunjukkan kegusaran yang berawal dari artikel berjudul "Aksi Mahasiswa dan Disorientasi Gerakan" di harian ini (19/3) yang menurutnya mendistorsi gerakan mahasiswa secara umum.
Aksi anarkis yang dilakukan gerakan mahasiswa, seperti disebutkan Fathollah, tidak dapat digeneralisasi dan dikreasikan pada ranah ideologi massa aksi. Ia juga menjelaskan, kita terburu-buru menghakimi jika hanya melihat gerakan mahasiswa hanya dari aksi-aksi anarkis karena kenyataannya, aksi-aksi mahasiswa tahun 1965, 1974, dan 1998 juga melahirkan anarkisme. Namun, karena hanya fokus pada ranah mekanistis-teknis aksi-aksi mahasiswa, Fathollah justru tampak hantam krama dan justru mengesankan gerakan mahasiswa memiliki jarak dengan rakyat. Sebagai pembaca, saya cukup gusar atas kegusarannya.




Ketika membincangkan gerakan mahasiswa, mau tidak mau kita memang harus membicarakan konteks historis yang cukup panjang. Dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), Soewarsono mengajukan sebuah pernyataan krusial. Baginya, gerakan mahasiswa adalah sebuah keluarga. Ikatan ini terjalin dari serangkaian tonggak-tonggak yang disebut sebagai angkatan. Tak heran jika kita cukup familier dengan angkatan 1908, 1928, 1966, 1974, 1990, dan 1998. Karena menjadi sebuah keluarga, tentu saja angkatan-angkatan tersebut tidak berdiri sendiri. Sebagai contoh, membaca hasil yang diperoleh angkatan 1998 menumbangkan rezim Orde Baru tidak lepas dari serangkaian proses angkatan sebelumnya.
Dari semua angkatan yang ditonggakkan tersebut, ada satu hal krusial yang patut menjadi perhatian bersama. Gerakan mahasiswa mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat.
Sebagai contoh di Yogyakarta pada tahun 1998 ketika pecah peristiwa reformasi. Ibu-ibu sukarela menyediakan makanan dan minuman bagi para peserta aksi demonstrasi baik itu di Bunderan UGM maupun di tempat-tempat lain. Dari mulai aksi yang halus sampai yang paling anarkis pun masyarakat mendukung. Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa mahasiswa mampu merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Inilah masa bulan madu antara rakyat dan mahasiswa.
Namun, bulan madu itu barangkali harus segera diakhiri. Pasca Reformasi 1998, gerakan mahasiswa kebebasan pers, demokratisasi, hak asasi manusia, sampai kebebasan berpendapat justru membuat posisi mahasiswa terdesak. Gerakan mahasiswa kini tidak lagi menjadi satu-satunya saluran aspirasi kepentingan masyarakat, cenderung menjadi menara gading kampus. Aksi-aksi yang dilakukan bahkan membuat mahasiswa berhadapan dengan rakyat.
Disorientasi ini membuat mahasiswa mudah terjebak dalam wilayah politik praktis. Indikasinya, organisasi gerakan mahasiswa ekstrakampus yang sering kali mendominasi lembaga intrakampus disangkal ketika mahasiswa hanya menyibukkan diri untuk merespons isu-isu elite.
Reorientasi
Dulu, mahasiswa memiliki musuh bersama untuk ditumbangkan, rezim Orde Baru. Ini memudahkan berbagai elemen untuk bersatu. Tak heran ketika musuh bersama tumbang, gerakan kocar-kacir tanpa arah. Jika mengamini Fathollah, musuh bersama tidak lagi diperlukan. Sebab, kini musuh tersebut mewujud dalam pemerintah serta segala bentuk keotoriteran yang dipraktikkan orang atau oknum yang melacuri kekuasaan demi kepentingan parsial. Hal terpenting adalah gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bersama menumbangkan ketidakadilan dan segala macam bentuk diskriminasi.
Sekalipun demikian, logika tersebut saya kira perlu dipertanyakan. Jika gerakan mahasiswa yang penting antipemerintah, ini melupakan masyarakat sebagai entitas yang diperjuangkan. Bahkan bisa cenderung terjebak pada isu elitis. Padahal, aksi-aksi mahasiswa pada dasarnya ditujukan untuk membela rakyat, bukan dirinya sendiri. Sebuah tonggak diperlukan untuk membuat mahasiswa kembali memahami peran



dan posisinya. Zaman sudah berubah sehingga mahasiswa tidak lagi bisa memakai cara yang sama untuk mendekati permasalahan yang berbeda. Reorientasi harus dilakukan.
Reorientasi tersebut saya kira lebih tepat diarahkan pada usaha pemberdayaan masyarakat. Mahasiswa harus turun ke bawah sebagai upaya melakukan pendidikan serta pengabdian kepada rakyat. Belajar langsung di tengah-tengah rakyat akan membuat mahasiswa mampu menguji teori-teori yang selama ini dipelajari di kelas. Pembuktian ini akan memperlihatkan, apakah teori-teori itu bermanfaat bagi masyarakat. Turun ke bawah membuat mahasiswa mempelajari kemandirian rakyat. Mahasiswa akan menemukan potensi serta kekuatan rakyat yang sesungguhnya. Potensi inilah yang sangat penting.
Ketika masyarakat sudah paham kekuatan yang dimilikinya, ia tidak akan mudah ditindas penguasa yang diskriminatif. Ia akan mampu berdiri sendiri, mandiri, kreatif, dan tidak selalu menjadi sosok yang pasif menunggu pertolongan. Selain itu, mahasiswa sendiri juga tidak akan mudah goyah karena sudah memperoleh dukungan yang berakar dari masyarakat.
Membicarakan gerakan mahasiswa seharusnya tidak dilepaskan dari masyarakat yang menjadi basis awalnya. Aksi-aksi mahasiswa harus dibarengi upaya pemberdayaan masyarakat dan ditujukan untuk menyasar kepentingan rakyat banyak, bukan elite. Ketika muncul slogan-slogan kerakyatan dalam aksi mahasiswa, ia tidak sekadar romantisme kelas menengah yang ingin menjadi dewa penolong rakyat miskin. WISNU PRASETYA UTOMO Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM Yogyakarta





Sumber : Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (Drs. AS Haris Sumadiria M. Si. ).

Sumber : Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (Drs. AS Haris Sumadiria M. Si. ).
II. SYARAT ARTIKEL LAYAK KIRIM

1. Topik yang dibahas actual dan controversial
2. Hipotesis yang diajukan orisinal serta mengandung gagasan baru dan segar.
3. Materi yang dibahas menyangkut kepentingan masyarakat luas.
4. Topik atau pokok bahasan yang dikupas diyakini tidak bertentangan dengan aspek etis, sosiologis, yuridis dan ideologis.
5. Mencerminkan visi dan sikap penulis sebagai seorang intelektual dan cendekiawan.
6. Referensial
7. Singkat, utuh dan Tuntas
8. Memenuhi kebutuhan sekaligus bisa mengikuti selera dan kebijakan redaksional media massa.
9. Ditulis dalam bahasa baku yang benar dan baik, lincah dan segar, mudah dicerna dan ringan dibaca (komunikatif).
10. Memenuhi kualifikasi teknis-administrasi media massa bersangkutan.



Mari, kita persiapkan diri kita, jiwa kita, intelektualitas kita serta idealisme kita semua untuk menjadi manusia yang idealis dan membangun masa depan negara dan bangsa kita!!!

Contoh Artikel Terkini


Dana Aspirasi: Anomali Politik
Kompas, Kamis, 17 Juni 2010 | 05:40 WIB
Azyumardi Azra
Dana aspirasi, istilah baru yang tiba-tiba saja populer; meski mendatangkan banyak pertanyaan dari kalangan publik. Apalagi secara substantif di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Filipina, ”dana aspirasi” itu dikenal dengan istilah pork barrel (gentong babi).
Terlepas dari setuju atau tidak dengan substansinya, dalam konteks Indonesia, istilah itu agaknya bisa diganti dengan cow-barrel (gentong sapi), atau bahkan chicken barrel (gentong ayam), yang mungkin bagi banyak kalangan masyarakat Indonesia lebih nyaman didengar.
Di luar soal istilah itu, jelas sebagian besar anggota DPR menolak usulan Partai Golkar tersebut. Juga muncul penolakan dari Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Kita tidak tahu apakah penolakan itu genuine atau tidak karena pada dasarnya jika usulan itu diterima DPR dan pemerintah—apakah secara terpaksa atau tidak—jelas sangat menguntungkan bagi setiap dan semua anggota DPR. Karena dana aspirasi itu membuka peluang lebih besar memperkuat posisi mereka vis-a-vis konstituen masing-masing yang bakal menimbulkan berbagai implikasi dan dampak positif ataupun negatif.
Jelas ada segi-segi positif tertentu terkandung dalam usulan dana aspirasi itu—tentu saja jika akhirnya disetujui dan direalisasikan. Khususnya bagi masyarakat konstituen, bisa diduga mereka senang-senang saja menerima berbagai bentuk program yang pendanaannya berasal dari ”dana aspirasi” sejumlah 15 miliar rupiah yang cukup besar bagi setiap anggota DPR.
Anomali baru
Terlepas dari berbagai manfaat yang bakal diperoleh masyarakat konstituen, usulan dana aspirasi yang bisa saja terealisasi dalam bentuk-bentuk lain jelas ia telah menciptakan anomali tambahan dalam kehidupan politik dan kenegaraan kita, yang bukan tidak bisa berlanjut di hari-hari depan. Anomali baru itu terjadi bukan hanya dalam segi hukum, khususnya yang mengatur dana dan anggaran negara, melainkan juga dalam kaitannya dengan fungsi dan kewenangan DPR itu sendiri.
Anomali itu bisa terlihat, dalam kenyataan bahwa usulan itu pertama kali muncul dari Fraksi Partai Golkar, yang agaknya merupakan hasil dari kesepakatan di dalam partai ini. Akan tetapi, jelas pula, usulan itu tidak melalui pembicaraan di antara partai-partai yang terlibat dalam koalisi yang belakangan ini dikenal sebagai Sekretariat Bersama Koalisi dengan Ketua Hariannya Aburizal Bakrie yang notabene Ketua Umum Partai Golkar. Di sini, muncul pertanyaan tentang fungsi Sekretariat Bersama tersebut; apakah dan kenapa masalah sepenting ini tidak dibahas lebih dahulu di dalam koalisi?
Karena kelihatannya tidak dibicarakan lebih dahulu dalam koalisi, tidak mengherankan kalau ketika usulan ini dibuka ke depan publik, partai-partai pendukung koalisi hampir sepenuhnya menentang sehingga ia tidak dibicarakan dalam sidang DPR. Selain itu, kalangan pemerintahan sendiri, masyarakat LSM, pengamat, dan aktivis juga menentang usulan tersebut. Hasilnya, pihak Partai Golkar merasa ditinggal sendirian dan bahkan terpojok sehingga salah seorang Ketua DPP Golkar M Yamin Tawari mengancam, Partai Golkar bakal keluar dari koalisi karena tidak ada dukungan para mitra koalisi terhadap usulan tersebut.
Ancam mengancam dalam dunia politik dalam batas tertentu merupakan hal umum dan biasa saja di Indonesia atau negara mana pun. Namun, ancam mengancam di antara pihak-pihak pendukung koalisi secara terbuka di depan publik merupakan gejala ganjil yang dapat dikatakan merupakan anomali politik.
Terlepas dari itu, ancaman atau boleh jadi lebih merupakan ”gertak sambal” ternyata cukup efektif. Fenomena ini dapat menjadi preseden dalam dinamika politik koalisi dan bahkan politik Indonesia secara keseluruhan. Apalagi tidak lama setelah adanya ancaman Partai Golkar yang kemudian dibuat lebih lunak oleh kalangan Partai Golkar sendiri sebagai ”pendapat pribadi” bukan sebagai pendapat resmi partai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, dana aspirasi bisa direalisasikan. ”Sangat bisa karena anggota DPR, mereka juga dipilih pada tingkat dapil itu mengajukan usulan khusus. Nah, usulan itu masukkan dalam sistem, dalam tatanan, ada musrenbang, ada musyawarah tingkat daerah, ada ini, ada itu. Kita jalankan sesuai undang-undang,” kata Presiden Yudhoyono (10/6/10).
Dengan pernyataan Presiden ini, Partai Golkar kini memenangi pertarungan, tidak hanya dengan mitra-mitra koalisinya, bahkan sekaligus juga dengan para penentang yang masih tersisa, khususnya PDI-P. Hampir bisa dipastikan kekuatan politik terbesar di DPR, khususnya Partai Demokrat, harus melaksanakan persetujuan Ketua Dewan Pembinanya, yang sekaligus juga merupakan Presiden RI.
Dominasi partai besar
Jika dana aspirasi (atau apa pun namanya kemudian) dapat disepakati DPR dan pemerintah, jelas masyarakat konstituen bakal mendapat manfaat tertentu. Meski, masyarakat penerima terbesar adalah di pulau Jawa yang memiliki dapil terbanyak; sementara pulau dan daerah lain yang memiliki dapil lebih sedikit— tetapi dengan wilayah lebih luas—mendapatkan bagian jauh lebih kecil.
Akan tetapi, tidak ragu lagi penerima manfaat terbesar adalah parpol-parpol besar, yang memiliki jumlah anggota terbanyak di DPR. Karena dengan dana aspirasi itu, para anggota DPR dapat menyatakan kepada konstituen masing-masing, mereka telah berhasil memperjuangkan kepentingan masyarakat dapil dan memenuhi janji-janji mereka pada waktu kampanye pemilu legislatif 2009.
Tidak hanya itu, dana aspirasi membuat lebih mungkin bagi mereka untuk kembali terpilih dalam pemilu legislatif berikutnya. Karena toh sudah ada ”bukti” bahwa mereka telah berhasil memperjuangkan kepentingan dapil masing-masing. Dengan demikian, realisasi dana aspirasi nanti dapat menjadi ”jualan” yang efektif bagi para anggota DPR agar konstituen kembali memilih mereka. Jika dana aspirasi itu terealisasi mulai 2011, berarti selama empat tahun ke depan menjelang pemilu legislatif 2014, para anggota DPR dapat mengikat konstituen masing-masing secara lebih kuat.
Dalam konteks ini, penerima manfaat maksimal dana aspirasi nanti adalah parpol-parpol besar, sementara parpol-parpol kecil hanya mendapat manfaat terbatas. Apalagi parpol-parpol yang tidak memiliki wakil di DPR, yang bisa dipastikan tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengimbangi dana aspirasi yang dihasilkan para anggota DPR untuk konstituen masing-masing.
Dalam kondisi seperti itu, semakin kecil pula peluang bagi wajah-wajah baru untuk mampu bersaing dan memenangkan diri dalam pemilu legislatif nanti. Dengan demikian, sirkulasi elite politik di lingkungan DPR menjadi lebih terbatas. Akhirnya, kita harus terus hidup bersama para anggota DPR wajah-wajah lama dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Advisory Board, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm