Kamis, 30 September 2010

REDD Ditengah Masalah Kehutanan ; Dari Ulumasen Sampai ke Malinau1

REDD atau Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation adalah sebuah program pengurangan deforestasi atau degradasi hutan dengan tujuan mengurangi emisi yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Di Indonesia, REDD masih merupakan sesuatu yang terbilang asing—bahkan bagi segelintir aktivis lingkungan—kendati penerapannya telah mulai dilakukan secara bertahap.

I. Bagaimana Situasi Hutan
Selama ini setiap tulisan tentang kehutanan dimulai dengan posisi normative hutan sebagai sumber kehidupan, sebuah keindahan yang harmonis dan mempertahankan kehidupan manusia. Tetapi sepuluh tahun belakangan ini, pembicaraan tentang hutan didominasi dengan gugatan terhadap menurunnya kualitas hutan (Degradasi) dan habisnya hutan (Deforestasi), serta isu social dan masalah ikutan seperti konflik penguasaan yang mengantarkan pada kemiskinan. Pada kazanah kebijakan kehutanan Indonesia, hutan didevinisikan dalam pendekatan natural dan politik. Dalam pendekatan natural hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam pengertian politik hutan diartikan dalam lingkup kawasan hutan yang merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Konsekuensi langsung pemakaian devinisi natural dan politik ini, hutan di Indonesia dapat berupa hamparan yang tidak terdapat pohonnya.
Sejak lama pendefinisian hutan dalam pendekatan natural dan politik membawa beban yang tidak sedikit bagi Departemen Kehutanan sebagai pemangku urusan kehutanan. Kerapkali keterbatasan personil dan anggaran menjadi kambing hitam yang paling baik untuk menyandangkan segala kesalahan dalam pengelolaan hutan yang berujung pada degradasi dan deforestasi hutan beserta dengan masalah social ikutan. Luasan klaim pemangkuan ini mencapai 120 juta hektar lebih kawasan hutan dengan tingkat pengukuhan yang syah dan legitimate baru mendekati 10 % saja (Icraf 2006).
Saat ini, sektor kehutanan mengahadapi tekanan dari sector lain (eksternal) maupun menghadapai masalah-masalah internal. Tekanan sector eksternal setidaknya
disebabkan oleh, pertama luasnya klaim kehutanan terhadap bentang bumi Indonesia yang disebabkan oleh devinisi politik kawasan hutan, kedua karena pesatnya laju ekspansi usaha sector lain. Tekanan sector eksternal itu dating dari sector perkebunan dan sector pertambangan. Tiga tahun terakhir, sector perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit mengalami percepatan pertumbuhan-luasan yang signifikan. Sawit Watch mencatat, pada tahun 2006,perkebunan sawit telah eksis seluas kurang lebih 6.495.147 Ha.
Pada tahun yang sama berdasarkan pengolahan data dari berbagai sumber ada rencana ekspansi 19.840.000 Ha. Pada tahun 2008 luas perkebunan sawit telah meningkat menjadi kurang lebih 7.866.070 Ha dengan rencana ekspansi pembukaan perkebunan baru pada tahun itu seluas kurang lebih 24.407.200 Ha. Pada sector pertambangan, sampai dengan tahun 2006, terdapat kurang lebih 2.559 ijin pertambangan mineral dan batubara (non galian C) diseluruh Indonesia. Di Kalimantan Selatan saja, lebih dari 400 ijin tambang dikeluarkan, di Kalimantan Timur ada 509 ijin, dan Sulawesi Tenggara 127 ijin tambang. Sebagai perbandingan di kabupaten baru seperti Morowali, Sulawesi Tengah pada tahun itu telah terdapat 190 perijinan tambang.
Secara internal, sector kehutanan sendiri menghadapi masalah-masalah, sederhananya dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar. Masalah pertama adalah masalah hak-penguasaan atau popular disebut dengan masalah tenurial berupa tumpang tindih klaim atas kawasan hutan dan kepastian hak masyarakat lokal dan adat atas hutan dan kawasan hutan, masalah kedua adalah masalah social yang kerap kali berhubungan erat dengan masalah tenurial berupa kemiskinan dan ketimpangan penguasaan hutan dan lahan hutan, sedangkan masalah ketiga adalah masalah lingkungan yang mencakup masalah degradasi dan deforestasi hutan.

II. Bagaimana Penanganan Masalah Kehutanan
Masalah hak dan masalah social kehutanan dimulai dari adanya klaim sepihak kawasan hutan Negara yang didalamnya terdapat desa-desa tempat masyarakat hidup. Pada tahun 2007 Departemen Kehutanan mengakui bahwa dari 31.957 desa yang diidentifikasi di 15 provinsi, sebagian besar (71,06 persen) desa terletak di luar kawasan hutan. Selanjutnya jumlah desa yang terletak di tepi kawasan hutan adalah sebesar 7.943 desa atau 24,86 persen dan sisnya sebesar 4,08 persen desa terletak di dalam kawasan hutan. Pada desa-desa ditemukan persentase rumahtangga miskin di sekitar kawasan hutan sebanyak 18,5 persen terhadap total penduduk di kawasan hutan atau sekitar 5,5 juta orang. Sebagian besar rumah tangga miskin, kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian terutama sub sektor tanaman pangan.
Masalah lingkungan tergambar pada menurunnya kualitas maupun kuantitas hutan. Berdasarkan data kehutanan, antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 laju deforestasi hutan di Indonesia adalah 1, 17 Juta Ha per tahun. Sementara itu luasan hutan yang terdeforestasi pada periode itu adalah 3,52 Juta Ha. Deforestasi tertinggi terjadi pada kawasan hutan produksi, kemudian diikuti dengan kawasan lindung dan konservasi. Persinggungan masalah-masalah social dan lingkungan kehutanan tersebut menimbulkan konflik-konflik dilapangan. Cifor bersama dengan FWI pada tahun 2004 mencatat berbagai konflik yang timbul dalam pengelolaan dan penguasaanhutan pada kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi. Konflik tertinggi terjadi dikawasan hutan produksi terutama pada areal HPH yang disebabkan oleh masalah tatabatas dan pembatasan akses masyarakat. Temuan ini menunjukkan bahwa klaim sepihak yang dilakukan pemerintah dalam bentuk penunjukan hutan. Negara telah menimbulkan reaksi negative dari masyarakat. Sejak lama berbagai masalah-masalah kehutanan ini berusaha untuk dijawab.
Berbagai tawaran solusi ditawarkan dan diuji coba untuk menjawab masalah hak, masalah social dan masalah lingkungan yang kian hari kian membesar. Jawaban terhadap masalah kehutanan ini didominasi oleh pendekatan-pendekatan manajemen kehutanan. Program dibawah payung isu Good Governance berupa Good Fores Governance dengan pilar transparansi pengelolaan hutan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan akuntabilitas aparatur dalam pengelolaan hutan mewarnai sebagian besar program-program dukungan untuk menuju perbaikan masalah-masalah kehutanan.
Pendekatan ini ditempatkan sebagai satu pendekatan generik untuk menjawab masalah kesalahan tata kelola hutan yang menyebabkan lahirnya ketiga masalah yang telah kita uraikan pada bagian sebelumnya. Bagan dibawah, secara sederhana mencoba untuk mengelompokkan masalah kehutanan yang melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal dengan jawaban berada pada dominasi pendekatan manajemen dengan mengenyampingkan pendekatan komprehensif yang ditawarkan oleh TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Bagan Penanganan Masalah Kehutanan
Jika kita lihat selintas tuntutan masyarakat adat untuk pengakuan hutan adatnya dijawab dengan penyusunan RPP Hutan Adat yang mengunci masyarakat adat pada hak berian yang membatasi pemanfaatan hutan untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan pada kawasan konservasi dan kawasan yang sudah dilekati perizinan kehutanan. Jika masyarakat adat, ingin memasuki lingkup peran serta pengelolaan hutan yang hasilnya dapat diperdagangkan, maka masyarakat ini harus menanggalkan identitasnya dan masuk pada skema hak berian lain berupa bentuk perizinan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Tanaman Rakyat. Niat baik untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan ini kemudian kembali tersungkur dalam belitan birokrasi, misalnya; untuk mendapatkan izin Hutan Tanaman Rakyat, dari proses awal masyarakat harus melewati 19 unit kerja kehutanan yang tersebar dari daerah sampai ke pusat dengan 54 tahapan perizinan (kartodiharjo 2009).

III. REDD dan Tantangannya Bagi Masyarakat Adat
Sejak KTT Bumi di Rio De Janairo rahun 1992, urusan kehutanan tidak hanya urusan kehilangan kayu atau berkurangnya kawasan hutan beserta dengan beban konflik social seperti yang ditanggung oleh Negara-negara dunia ketiga. Urusan kehutanan kemudian memasuki babak yang lebih kompleks yaitu kontribusi terhadap perubahan iklim. Berlin Mandate pada tahun 1995 berupa komitmen pemimpin dunia untuk mengambil langkah dan strategi menghadapi perubahan iklim, memberikan jembatan pada lahirnya Protokol Kyoto tahun 1997. Negosiasi besar untuk bagaimana menghadapi perubahan iklim ini pada akhirnya berhenti pada posisi bahwa Negara pertama sebagai penghasil utama karbon yang berperan besar terhadap perubahan iklim harus memberikan kompensasi pada Negara-negara ketiga pemilik hutan yang dipercaya dapat melepaskan atau menyimpan karbon. Pada posisi itulah program REDD (Reduction Emission from
Deforestation and Degradation) sebagai model penghadangan laju kerusakan hutan di dunia ketiga mendapatkan fondasi setelah generasi awal berupa Clean Development Program (CDM) nyaris gagal total. Selanjutnya REDD mendapat sentuhan rezim perdagangan sehingga popular menjadi bagian dari “ rezim pasar carbon”. Terlepas dari masalah keadilan iklim antara Negara utara yang lebih banyak berkontribusi kepada perubahan iklim dengan Negara selatan yang dipaksa untuk membersihkan perbuatannya dengan menerima kompensasi, REDD perlu diberikan catatan kritis dalam perspektif masyarakat adat karena program ini sedang diuji coba di indonesia.
Pada putaran diskusi melihat REDD yang dimulai dari Aceh, Kalteng dan Jambi yang diselenggarakan oleh Civil Society Forum (CSF), muncul catatan-catatan kritis dari peserta yang dapat dikelompokkan dalam isu hak dan isu tata kelola. Pada isu hak, REDD akan memberikan dampak negative kepada masyarakat adat atau lokal ketika hak-hak mereka atas hutan tetap tidak diakui dan diabaikan. Pembayaran kompensasi REDD yang berbasiskan kinerja untuk meningkatkan cadangan karbon pada kawasan hutan yang ada masayarakat adatnya akan mendorong lahirnya pengetatan-pengetatan akses pemanfaatan hutan maupun peniadaan klaim masyarakat yang dapat berujung pada proses kriminalisasi mereka. Aktor utama REDD yang sedang diuji coba bukanlah masyarakat adat yang hak legal mereka atas kawasan hutan belum diakui. Akan ada otoritas pengelola lain yang mendapatkan hak untuk memperdagangkan karbon dalam skema REDD itu.
Pada isu tata kelola, titik kritis disini muncul dari kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam mengelola REDD. Bagaimana secara cepat aparatur pemerintah daerah dapat meningkatkan pengetahuan dalam bidang metodologi penghitungan karbon, kontrak bisnis internasional, mengingat perdagangan carbon memakai rezim hokum kontrak dan isu krusial lagi adalah pengelolaan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Dalam kacamata masyarakat adat, pengakuan hutan adat diluar kawasan hutan Negara adalah tuntutan yang telah lama diusung jauh sejak penguasaan hutanhutan mereka diambil alih oleh negara. Pengambilalihan ini telah melahirkan masalah-masalah hak, social dan lingkungan yang berujung pada konflik baik laten ataupun telah manifest dalam berbagai bentuk, misalnya intimidasi dan kriminalisasi. Masalah-masalah ini terus berlangsung sampai hari ini mengingat pendekatan manajemen yang digunakan tidak menyentuh inti masalah utama yaitu masalah hak. Pada fondasi yang rapuh itu kemudian bangunan REDD coba didirikan. Mendirikan REDD secara paksa tampa dimulai dengan pengakuanpengakuan hak masyarakat adat akan memperpanjang catatan masalah kehutanan yang ada. Apalagi, REDD mensyaratkan kejelasan status hak dan status hokum kawasan yang akan dilekati program REDD.





Daftar Rujukan

Andiko. Securing Rights for REDD: Strengthening Forest Tenure for Indigenous Peoples and Forest Dependent Communities, 2009
Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay. Memperkokoh Pengelolaan Hutan
Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka
Tindakan, World Agroforestry Centre, 2006. Dephut. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, Dephut, 2007
Dephut. Penghitungan Deforestasi di Indonesia Tahun 2008, Dephut 2008
Eva Wollenberg dkk. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003, Cifor 2003.
Hariadi Kartodiharjo. Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan PembangunanKehutanan Di Indonesia : Intervensi IMF Dan World Bank Dalam Reformasi Kebijakan Pembangunan Kehutanan, World Resources Institute, April 6, 1999
Hariadi Kartodiharjo. Masalah Perijinan dan Reformasi Birokrasi Kehutanan, 2009
Moekti H Soejachmoen & Omar Sari. Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia, Pelangi Indonesia, 2003
Tom Griffiths. “RED”: AWAS ?; “Pencegahan deforestasi” dan hak-hak Masyarakat adat dan komunitas lokal, FPP 2007
UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Jumat, 24 September 2010

PRESSRELEASE HARI TANI NASIONAL

Pertanian Indonesia dan Kemakmuran Bangsa
Oleh : Achmad Syaifuddin
Staff IPB SOCIAL POLITIC CENTER BEM KM IPB
Pada tanggal 24 September 1960 momentum Hari Tani Nasional lahir. Saat itu, kaum tani Indonesia menyambut dengan penuh suka cita dengan dikeluarkannya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang telah menjungkir-balikkan sistim kepemilikan tanah feodal dan kolonialis melalui program land reform. Hari ini, tepat 50 tahun peristiwa tersebut berlangsung, kebijakan pertanian Indonesia semakin tenggelam dalam arus neoliberalisme. Kebijakan pertanian yang dibuat pemerintah semakin membuat petani sulit karena intensifnya perampasan tanah milik petani oleh perusahaan besar melalui land grabbing yang “diregulasikan” secara tidak langsung. Hingga saat ini lebih dari 175 juta lahan telah dikuasai oleh modal swasta, setara dengan 91 persen luas daratan Indonesia. Artinya, tanah-tanah untuk pertanian dan ekonomi pasar pertanian pun masih dimonopoli kelompok-kelompok tertentu. Padahal, bagi petani tanah merupakan faktor utama dalam melakukan usaha pertaniannya, sehingga seharusnya tetap di bawah kendali petani sendiri. Paradigma pembangunan pemerintah saat ini belum berpihak pada penataan struktur penguasaan dan penggunaan tanah secara adil. Penguasaan dan penggunaan tanah sebagai alat produksi oleh petani tidak pernah diprioritaskan, sehingga penguasaan atas hamparan lahan pertanian diabaikan dan belum dianggap sebagai faktor utama dalam pembangunan pertanian.
Di sisi lain, kesejahteraan kaum tani semakin merosot sebagai akibat dari biaya produksi yang terus meningkat, namun harga jual terus-menerus merosot serta naiknya harga-harga kebutuhan hidup bagi petani dan keluarganya. . Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai tukar para petani terus merosot dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976, nilai tukar petani adalah 113, lalu meningkat menjadi 117 pada tahun 1989. Namun, pada Juni 2010, nilai tukar petani telah terjun bebas hingga 101,39. Artinya, kesejahteraan petani semakin turun. Padahal keberhasilan suatu bangsa ditunjukkan oleh semakin meningkatnya kesejahteraam masayarakat. Sebagai bangsa yang agraris, akan sangat merisaukan jika kondisi kesejahteraan petani kita terus-menerus termarjinalisasikan. Sesungguhnya tidak ada kemakmuran tanpa pembangunan pertanian di desa. Proses industrialisasipun tidak akan berkelanjutan dan meluas, jikalau tidak dibasiskan pada pertanian sebagai dasarnya. Selain itu, pemerintah selalu menganggap bahwa fenomena menurunnya hasil panen disebabkan oleh musim tak menentu. Tentu suatu hal yang sudah maklum, bahwa di era global warming seperti ini kehadiran musim memang tidak menentu. Namun, adakah jalan keluar untuk menciptakan sistem pertanian independen, yang tidak bergantung pada musim agar petani tidak terus-menerus menderita kerugian.
Pada fungsi stabilisasi harga, pemerintah seakan absen dari tanggung jawabnya. Memang Kenaikan harga pangan menjadi sebuah rutinitas ketika menjelang peringatan hari-hari besar Keagamaan dan Nasional. Namun, pemerintah seharusnya sudah bisa memprediksi kenaikan harga tersebut sejak jauh-jauh hari. Pemerintah selalu meredam gejolak kenaikan harga pangan dengan kebijakan taktis dan itu pun dilakukan jika harga sudah terlalu tinggi. Memang kebijakan taktis itu penting karena jika tidak rakyat bisa kelaparan. Tetapi pemerintah juga perlu menyusun kebijakan strategis jangka panjang terkait tata niaga pangan untuk situasi tidak normal ini. Jika negara tidak memperhatikan apa yang ada di depannnya, maka ia akan menderita dari apa yang ada di depannya.
Kebijakan pertanian di Indonesia masih terlalu sentralistik. Petani hanya sekedar menjadi tenaga kerja yang diintervensi dan sangat tergantung oleh kebijakan dari pusat. Reformasi yang sudah bergulir selama 10 tahun seharusnya bisa membuat petani bisa terlepas dari cengkraman sentralisme kebijakan pertanian ini. Padahal, kebutuhan petani di setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada corak di daerah masing-masing. Dalam membentuk kebijakan pertanian, pemerintah terkadang terlalu menyederhanakan permasalahan petani dan akhirnya mengeluarkan kebijakan yang seragam untuk seluruh daerah.
Pada sisi permodalan petani, Kredit Usaha Rakyat yang merupakan program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, namun dalam praktiknya masih belum dapat berjalan dengan optimal. Secara nasional, total KUR yang telah disalurkan Rp5,1triliun per semester I dengan target hingga akhir tahun 2010 sebesar Rp15,8 triliun. Permasalahannya terletaak pada NPL yang cukup tinggi, lemahnya kompetensi UMKM dalam bidang keuangan dan administrasi, proses persiapan SOP bank penyalur yang memakan waktu, suku bunga yang masih cukup tinggi sekitar 14% dan 22%, dan kurangnya sosialisasi.
Pada konteks kedaulatan pangan Indonesia, sesungguhnya dapat dicapai dengan melibatkan rakyat banyak terutama petani secara utuh dan terintegrasi dalam rencana pemenuhan pangan. Selama ini masalah pertanian justru ditimbulkan karena tingginya konversi lahan pertanian, kecilnya kepemilikan lahan petani dan lemahnya dukungan pemerintah. Akan lebih baik jika pemerintah melakukan penataan ulang struktur kepemilikan lahan dan besungguh-sungguh mendukung usaha pertanian rakyat (Reforma Agraria), daripada menyerahkan urusan pangan kepada swasta karena beresiko pada kedaulatan bangsa.
Akhirnya , seluruh rakyat Indonesia berharap bahwa pertanian mampu membawa wajah baru untuk Indonesia yang lebih baik. Kesejahteraan petani dan kemakmuran rakyat seutuhnya seharusnya menjadi jalan masuk untuk mengembangkan pertanian Indonesia ke depan. Sesungguhnya masalah pangan adalah masalah hidup matinya sebuah bangsa. Hanya bangsa yang berpikir besar yang mampu bertahan. Sesungguhnya, kita bangsa yang besar, Indonesia Raya...

HIDUP PETANI SEJAHTERA...
HIDUP RAKYAT INDONESIA !!!

Jumat, 20 Agustus 2010

Bahan Pokok Naik, Petani Untung ??? (Ryza Amirethi, Direktur IPB Social Politic Center)

Mayoritas bahan pokok kita adalah dari pertanian, jadi gak apa-apalah kita memberi untung kepada petani…(SBY, Agustus 2010)

Sekilas pernyataan dari salah satu presiden negara agraris di dunia sekaligus pengimpor beras dunia ini ‘benar;. Akan tetapi apakah ‘benar’ demikian??? Apa benar petani untung, jika tidak lalu siapakah sebenarnya yang diuntungkan ? Seperti yang kita ketahui bersama sistem mekanisme pasar Indonesia saat ini, mengasumsikan kenaikan dan penurunan harga barang dan jasa sangat tergantung kepada naik-turunnya permintaan dan penawaran.
Secara teoritis, Permintaan tidak akan melonjak mengingat tiga hal; Pertama, daya beli masyarakat pada umumnya menghadapi tekanan karena tingkat pengangguran terbuka dan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat. Kedua, suku bunga yang terus naik-sebagai konsekuensi dari kebijakan moneter yang ketat-membuat masyarakat lebih senang menabung. Ketiga, intensifikasi pajak khususnya, dan kebijakan fiscal yang ketat umumnya membuat perekonomian mengalami kontraksi. Faktor-faktor yang menekan ini, paling tidak, mengompensasikan kenaikan permintaan yang bersifat musiman (contoh dalam menghadapi hari besar keagamaan).
Di lain pihak dari sisi Penawaran, beberapa factor utama menghambat penawaran domestic antara lain; Pertama, struktur pasar untuk sejumlah kebutuhan pokok sangat bersifat oligopolistik. Beberapa perusahaan saja yang mendominasi pasar untuk minyak goreng, terigu, mie instant, telur dan ayam ras, dan gula pasir. Mereka otomatis memiliki keleluasaan untuk menetapkan harga dengan mengatur pasokan. Kebijakan membuka keran impor untuk menyelesaikan permasalahan ini dapat saja efektif, asalkan dengan syarat pemerintah dapat menjamin agar mekanisme dan prosedur dalam mengimpor lancar tanpa hambatan.
Kedua, persoalan akut yang menimbulkan tekanan pada harga berasal dari jalur distribusi. Indikator paling gamblang adalah besarnya selisih harga antara tingkat produsen dengan harga di tingkat eceran, contohnya beras selisih harga gabah kering di tingkat petani dengan harga beras di eceran mencapai Rp 1000. Contoh lain adalah relative mahalnya harga gula pasir dibandingkan dengan harga tebu di tingkat petani, akibat dari rendahnya efisiensi pabrik gula. Penyelesaian atas kedua komoditas di atas adalah bukan dengan menaikkan bea masuk atas beras dan gula impor. Jika itu yang ditempuh hanya akan menguntungkan para pedagang (beras) dan produsen (gula), sedang petani dan konsumen akan dirugikan. Untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan pembenahan yang bersifat structural sehingga tidak dapat diselesaikan dengan waktu singkat.
Oleh karena itu, maka harus ada perubahan kebijakan pemerintah ke depan, setidaknya harus mencangkup beberapa hal krusial. Pertama, sinergi kebijakan. Kebijakan stabilisasi harga yang diterapkan harus sinergi antara pendekatan top down dan bottom up dengan kata lain kebijakan pemerintah pusat harus dapat sinkron dengan kebutuhan pemerintah di daerah. Kedua, Kebijakan harus fokus. Pemerintah harus memberikan penekanan dan prioritas untuk membangun dan mendorong pertumbuhan sector yang terbukti efektif meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga dayabeli terhadap barang pokok tercapai, seperti sector pertanian yang seharusnya menjadi basis kekuatan ekonomi Indonesia selaku Negara agraris. Ketiga, Konsistensi Kebijakan, karena menjaga kestabilan harga bukan hanya untuk jangka pendek saja, sehingga dinamika perubahan factor yang mempengaruhi harga harus mampu diakomodasi oleh kebijakan lain tanpa harus mengganti dengan kebijakan yang baru. Ke empat, Kebijakan harus terukur, pencapaian tahapan harus pasti agar memudahkan dalam melaksanakan evaluasi dan pelaporan. Ukuran masing-masing variable tersebut jelas dan terkait. Kelima, Kebijakan harus berkesinambungan, kesinambungan dan konsistensi adalah dua hal yang tak terpisahkan .

Bergeraklah !!!

Di balik segala kemajuan, kesuksesan, dan kejayaan selalu tersimpan banyak rahasia. Salah satu rahasia itu adalah peran orang-orang yang tak henti bergerak, menyambung satu kerja dengan kerja lainnya. Banyak hal penting layak dicatat, sejauh mana dinamika dan gerak hidup membuahkan tonggak-tonggak kebesaran, dalam bermacam bidang, Berikut sebagiannya.

1. Bergerak akan melahirkan perubahan.
Titik pertama setiap kesuksesan dimulai dari perubahaan. Artinya seseorang harus mau berubah, dari “apa adanya menjadi ada apa-apanya”, Dan, titik awal perubahan itu ada pada kehendak dan kemauan untuk bergerak.
Siapa yang mengingkari peran gerakan jilbab anak-anak SMA pada era 1980-an. Betapa mereka telah menjadi tonggak penting perubahan. Tidak saja dalam bingkai moral dan keyakinan. Tapi juga bagi perubahan kebijakan penting di dunia pendidikan. Seperti dicatat oleh Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, dalam buku mereka Revolusi Jilbab, bahwa di Jakarta berturut-turut mulai dari SMUN 30, SMUN 8, SMUN 31, dan SMUN 68 muncul tindakan yang sangat buruk terhadap para pemakai jilbab. Ada yang tidak boleh memasuki kelas, tidak boleh mengikuti ujian kenaikan kelas, diberikan nilai 2 dirapornya atau bahkan dikeluarkan dari sekolahnya. Salah satu catatan harian dari siswi berjilbab itu mengisahkan, bahwa ia sempat dituduh bahwa pakaian mereka “mewakili aliran tertentu." Namun ketika ditanya aliran apa yang dimaksud, sang guru itu pun diam tidak bisa menjawab.

Dalam buku itu, secara jelas juga digambarkan bagaimana para siswi pemberani itu bergerak, melawan sistem sosial dan sistem politik yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan mereka. Perlawanan ini dimulai dari semangat kebangkitan Islam yang berhembus dari berbagai belahan penjuru dunia Islam.
Kasus pelarangan berjilbab itu tetap terus berlangsung hingga tahun 1985. Pada tahun 1988 dan 1989 kasus ini merebak lagi. Seperti yang terjadi di SMUN 1, AMKK, APG Kendari, dan SMUN Mandonga, semuanya di Sulawesi Utara. Kemudian di SMUN 30 Jakarta, dan SMPN Arga Makmur Bengkulu. Bahkan, pada Agustus 1988, empat orang siswi SMUN Jakarta dikembalikan kepada orang tua masing-masing.
Gigihnya mereka untuk berjilbab akhirnya mengantarkan gerakan perlawan mereka masuk ke pangadilan. Ada dua kasus yang sempat membesar di pengadilan, yaitu kasus di SMUN 1 Bogor, dan SMUN 68 jakarta. Kasus di Bogor ini bermula ketika 6 orang siswi berjilbab mendapat perlakuan diskriminatif dari pihak sekolah. Mereka tidak dianggap hadir walaupun mereka datang ke sekolah. Akhirnya mereka sepakat untuk menggugat pihak sekolah. Perjuangan mereka dimenangkan oleh pihak pengadilan. Dan untuk SMUN 68, walaupun kasus ini sangat panjang prosesnya dipengadilan, dari tahun 1989, akhirnya tahun 1995 kasus ini pun akhirnya dimenangkan oleh pihak pengadilan.
Memang, sebuah gerakan untuk melawan ketidakadilan butuh pengorbanan dan waktu yang panjang. Tapi jalan yang telah dirintis dan dilalui para pelajar putri di tahun 1980-an itu telah memberikan banyak pelajaran dan manfaat. Sekarang kalau ada yang ingin memakai jilbab tidak perlu khawatir dipersulit oleh pihak sekolah, karena memang ada SK Menteri yang membolehkan Jilbab. Anak-anak korban pelarangan jilbab itu telah menorehkan sejarahnya sendiri. Tetapi segalanya diawali pada detik ketika mereka bergerak untuk. melawan.

2. Bergerak akan melahirkan sesuatu yang baru.
Penemuan-penemuan baru dalam perjalanan intelektual manusia, berawal dari gerak. Ketika orang-orang yang dikaruniai Allah itu terus menerus meneliti dan mengkaji. Islam sendiri memiliki tokoh yang sangat banyak. Mereka para pionir dalam penemuan-penemuan baru, di dunia ilmiah, yang di kemudian hari menjadi landasan penting bagi penemuan baru yang melengkapinya.
Sebagaimana dilakukan eksperimentalis yang berpengetahuan lengkap serta obyektif, Al Biruni. Ilmuwan yang lahir pada tahun 362 H (973M) dengan tekun menimba ilmu pada ilmuwan di kampung halamannya Amu Darya, Krakal, Pakistan, hingga umur 24 tahun. Namun, kehausan akan ilmu, membuat sahabat Ibnu Sina ini memutuskan untuk terus bergerak mengembara ke Jurja, Laut Caspia, India, dan Rayy, Teheran.
Dari pengembaran itulah Al-Biruni menelurkan karya besarnya dalam bidang tarikh, berupa kitab sejarah India. Isinya, pengalaman pengembaraannya ke seluruh pelosok India. Sejarah, adat istiadat, pengetahuan dan kepurbaan India ini ditulis dalam Kitab Al-Atsar Al-Bakkiyyan.
Selain itu, kesulitan-kesulitan menentukan arah kiblat dan arah perjalanan, mengantarkan Al-Biruni bersama Abul Fida dan Ibnu Hubal berhasil mengembangkan matematika geografi yang terkenal dengan penentuan koordinat geodetik untuk penentu titik ordinat bumi. Akhirnya dengan penggabungan ilmu astrologi, Al Biruni menjadi orang pertama yang menetapkan arah kiblat dengan sistern matematika-astronomi. Dengan cara yang sama ia pun berhasil menentukan jarak keliling bumi.
Pada tahun 421 H (1030 M), Al Biruni terus bergerak, mengembara ke Ghazna, Afghanistan. Ia ditugaskan oleh Sultan Mahmud untuk menyertainya dalam ekspedisi militer. Ekspedisi itu tak disia-siakannya. Selain menyebarkan Islam, Al-Biruni berhasil menguasai tipologi-geografi India, seluruh dialek India dan bahasa Sanksekerta. Ia juga punya karya lain, seperti kitab “At-tahfim li awail Sinaat at-Tanjim” serta “Al-qanun al-Masudi fi al-Haya wa an-Nuum”.
Dimana kitab tersebut merupakan buku ensiklopedi terlengkap bidang astronomi, astrologi, geografi dan matematika dari bangsa Yunani, India, Babylonia dan Persia.
Selain itu, dari berbagai perjalanannya, Al-Biruni juga menghasilkan karya tentang berbagai jenis ramuan obat, sistim obat bius, menemukan berbagai rumus trigonometri yang hingga kini dipakai dalam dasar rumus-rumus matematika serta ensiklopedi tentang ilmu hewan dan berbagai macam jenis batu-batu permata.
Semuanya ia capai dalam pengembaraan-nya. Ditambah komitmennya untuk terus bergerak menuntut pengetahuan dari berbagai masyarakat, yang kemudian dikumpulkan, dianalisis dan disimpulkan menjadi sebuah ilmu yang sangat bermanfaat hingga kini.

3. Bergerak dapat melipat gandakan bobot hidup amal kebaikan
Karena setiap gerak memakan tenaga, maka setiap gerak dalam hidup akan mendapat imbalan yang semestinya. Bahkan bisa lebih. Begitulah sunnatullah mengajarkan, kecuali bila manusia merusak sunnatullah itu. Di Indonesia sendiri banyak orang-orang menuai sukses dalam berbagai bidang, lantaran ia tidak berhenti hanya pada satu kreasi. Mereka terus berpacu, memburu sumber-sumber kebaikan itu, kalau perlu ke luar negeri.
Salah satu dari mereka adalah DR. Mulyanto, M.Eng. Ia tamat dari dari Fisika UI tahun 1987, ia mengikuti test untuk program Science Technology and Human Resources Development. Dan, pada 1989 ia berangkat ke Jepang untuk mengambil program S-2 dan S-3 di Tokyo Institute of Technology, program Teknik Nuklir.
Bagi Mulyanto, hari-hari di Jepang benar-benar beda. Ada bobot yang lebih dari segi tuntutan jerih payah, maupun kerja dan amal. Selain tugas-tugas di Lab yang banyak, kendala paling utama yang ia rasakan adalah soal bahasa dan budaya. Apalagi berada di lingkungan Jepang, yang dapat dikatakan sekuler.
Pertama kali datang, diadakan jamuan di Lab, pesta Selamat Datang. Disediakan makanan tidak halal, daging babi, termasuk sake. “Itu-lah pertama kali saya menjelaskan, kami Muslim tidak minum sake, tidak makan babi, tidak memakan (umumnya) hewan yang tidak disembelih,” kenang Mulyanto. Mereka kan bertanya-tanya, kenapa. Karena dibenak mereka, orang yang minum sake atau alkohol sambil mabuk dalam pesta, itu orang yang baik karena dia menikmati pesta itu. Itu juga penghormatan bagi yang menjamu.
Perlu waktu yang cukup lama untuk menjelaskannya. Itu sendiri sudah perjuangan. Namun, mereka akhirnya menghargai. Sikap mereka pada prinsipnya baik. “Cuma saja, saya perlu menjelaskan dengan baik dan detail alasan-alasannya, karena mereka tidak mengerti," ujar Mulyanto.
Dr. Mulyanto, dan orang-orang sepertinya, tentu sangat menyadari betapa keputusan untuk bergerak terus dalam jenjang-jenjang akademis dan intelektual itu memang tidak ringan. Tetapi pada setiap amal yang berat, tentu tersedia balasan yang berat pula. Karena Allah Maha Adil. Karenanya, justru di negeri yang penduduk muslimnya kurang dari 1 persen itu, Mulyanto justru dapat merasakan berharganya da’wah dan aktifitas keislaman lainnya. Ia aktif di ICMI Orwil Jepang dan Pasifik, sebagai ketua Divisi Pembinaan Umat pada 1994. Juga di Moslem Student Association. "Bersama teman-teman kami berusaha da’wah di sana. Banyak tantangannya. Misalnya beberapa kali kami mengadakan seminar keislaman, juga kegiatan semacam dauroh untuk mahasiswa muslim dari Indonesia. Di Tokyo, Nagoya, dan kota-kota lain. Pernah suatu kali, dalam acara yang seharusnya menginap, sewaktu qiyamul-lail, peserta yang menginap hanya satu orang. Jadi peserta yang dikader satu orang. Panitianya yang banyak,” kenangnya sambil tertawa. Ia menambahkan, ”Itulah tantangannya, kalau acara da’wah relatif sepi. Jadi harus membangun motivasi antar sesama pelajar."
Untuk shalat pada hari-hari biasa, bersama teman-teman, ia melakukan negosiasi dengan pihak kampus supaya bisa sholat wajib di Lab. “Perlu menjelaskan dengan baik, dan Alhamdulillah, kami akhirnya bisa sholat lima waktu di Lab," ujarnya. Namun, semua kondisi itu tidak menghalanginya untuk menyelesaikan studi dengan sukses. Ia menyelesaikan program Master 2 tahun dan Doktor juga tepat 3 tahun. Ia juga menulis paper di beberapa Journal International. Tesisnya tentang bagaimana mentransfutasi unsur radioaktif limbah. Ia juga berkisah tentang hikmah dari mempelajari teknik nuklir. Ia semakin merasakan bahwa ilmu Allah itu sangat luas, dan manusia hanya mempelajari hal yang sangat kecil saja. “Ilmu Allah itu luas sekali, dan kita tahu sangat sedikit sekali. Selama hayatnya, manusia tidak akan dapat menjawab seluruh pertanyaan yang muncul dalam dirinya,” ujarnya.
Kini, sekembalinya ke Indonesia, selain melakukan riset di BATAN di Puspitek Serpong, Mulyanto bersama rekan-rekannya di ISTECS meneliti bagaimana upaya mengembangkan studi science dan teknologi Indonesia, supaya sejajar dengan negara-negara lain. “Agar kaum Muslimin Indonesia maju teknologinya, kira-kira dimana persoalan yang harus diselesaikan,” terang Mulyanto. Hasil riset ia teruskan kepada lembaga yang berkepentingan, diantaranya DPR dan Menristek.
Apa yang dirasakan Mulyanto, dan orang-orang sepertinya, tentu tidak sama dengan mereka yang berhenti belajar. Masalahnya memang tidak selalu harus di luar negeri. Tetapi setidaknya, pengalaman hidup Mulyanto, menegaskan sisi lain, betapa dalam gerak ada pelipatan amal, peningkatan bobot karya. Karena ruang lingkup yang berbeda, akan memberi arti yang berbeda. Karena sebesar apa kesusahan dan usaha seseorang sebesar itu pula tingkat kepuasannya.
Tiga hal diatas, hanya sedikit gambaran dari manfaat bergerak. Demikian pula orang-orang yang disebutkan dalam contoh itu. Masih banyak manfaat lain. Masih banyak pula orang-orang sukses di pentas sejarah, lantaran mereka tak pemah berhenti bergerak. Ada satu aksioma dari semua kisah diatas, bahwa siapa yang bergerak, berbuat, dan menabung jerih payah, akhirnya akan memetik buah kepayahan itu. Wallahu’alam.
Muhamad Muhtarudin
Biro IPB SOCIAL POLITIC CENTER

Jumat, 16 Juli 2010

Menggugat Foodestate !!! Oleh : Achmad Syaifuddin *)

Food Estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Sederhananya, foodestate adalah perkampungan pertanian berskala luas. Secara praktis budidaya bertani foodestate hanya akan cocok bagi para pemilik modal kuat, yakni perusahaan besar. Terdapat orientasi yang sangat berbeda antara pertanian skala luas dengan model pertanian keluarga. Dalam pertanian keluarga, orientasi utama adalah pemenuhan kecukupan pangan keluarga tani. Ingat keluarga tani merupakan mayoritas dari mereka yang rawan pangan di Indonesia. Adapun tujuan utama bagi perusahaan pangan yang akan berinvestasi di Food estate ini hanya memperpendek payback periode untuk meraup untung besar. Bukan untuk mengatasi kelaparan, karena kalau pun stok pangan berlebih tetapi petani tetap tidak memiliki uang, toh tidak bisa membeli. Pada akhirnya, masalah pangan akan dikomersilkan dan diserahkan ke korporasi pertanian dan pangan. Sehingga masa depan petani kecil akan terancam oleh ekpansi perusahaan pertanian skala besar. Dalam konteks ini, maka pengembangan pangan skala luas atau foodestate sejatinya bukan diperuntukkan untuk petani kecil, tetapi lahan pertanian yang subur akan diserahkan penguasaan dan pengelolaannya ke koorporasi petanian dan pangan.
Peluncuran pengembangan pangan skala besar atau dikenal dengan foodestate perlu direspons secara kritis. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud land grabbing. Keterlibatan transnasional dalam foodestate nampak dengan tingginya minat korporasi dari Uni Emirat Arab, Kuwait, China, dan Korea. Hal yang dikhawatirkan adalah potensi hancurnya pertanian rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung pangan. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien. Komitmen pemerintahan baru sebagaimana juga amanat konstitusi untuk membangun ekonomi tangguh berbasis kerakyatan justru dipertanyakan dengan peluncuran food estate yang sangat jelas memfasilitasi sepenuhnya green capitalism. Kondisi itu justru dikhawatirkan akan melemahkan kedaulatan pangan nasional. Alasan pemerintah terkait adanya foodestate selalu mengenai minimnya modal dan begitu banyaknya alihfungsi lahan. Padahal dasar masalah pertanian di negeri ini bukanlah semata-mata modal. Tetapi, sistem politik ekonomi “setengah hati” yang dijalankan di bidang pertanian. Sangat besar kemungkinan masuknya raksasa pemodal untuk menguasai lahan dan menjadikan negeri miskin sebagai basis sarana produksi pangan pokok rakyatnya.
Dengan alasan pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, negeri ini makin terbelenggu kapital asing dan meliberalisasi semuanya yang justru akan mengancam kedaulatan pangan. Pemerintah melakukan beberapa upaya meningkatkan produksi pangan nasional, khususnya padi. Tapi, sayangnya, pemerintah justru mendorong program foodestate. Padahal, permasalahan utama pertanian kita adalah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Pemerintah hanya terfokus kepada kepentingan investor (pemodal) untuk datang ke Indonesia. Pemerintah seharusnya menjadikan negeri ini mandiri dengan berpihak kepada warga atau rakyatnya. Dapat diperkirakan program foodestate ini akan menarik minat pemodal asing karena akan diberi banyak kemudahan untuk “memiliki” dan mengelola lahan yang ada di Indonesia. Foodestate ini bisa mengarah kepada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di foodestate. Pemerintah akan diberi keuntungan dengan program foodestate yaitu membuka peluang kerja semakin tinggi, pemasukan pajak meningkat, dan ditambah adanya pendapatan non pajak. Namun, kurang berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia.
Foodestate merupakan kejahatan pangan. Adapun alasannya adalah Pertama, foodestate telah melanggar konstitusi. Dengan adanya Food estate ini maka kebijakan ini akan melanggar pasal 33 UUD 1945. Dalam Penjelasan Pasal 33 jelas tersurat “ Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota–anggota masyarakat. Kemakmuran masyrakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata kebijakan ini telah mengangkangi tafsir mulia UUD Negara ini. Kedua, foodestate akan menggagalkan Reforma Agraria. Tujuan utama reforma agraria adalah agar tanah-tanah pertanian diredistribusikan kepada para penggarap dan buruh tani tidak bertanah. Bukan kepada perusahaan yang memiliki modal besar, karena justru memperburuk ketimpangan pemilikan tanah di Indonesia. Food estate diperkirakan akan melanggengkan kondisi buruh tani bekerja banting tulang tanpa ada kesempatan mendapatkan lahan sebagai modal utama bertani. Ketiga, foodesate akan menimbulkan dampak akibat kejahatan Biologi. Jika Food Estate ini dilaksanakan, maka akan terjadi pertanian monokultur skala luas. Keempat, foodestate berakibat pada munculnya kejahatan Sosial. Jika laju konversi lahan untuk kebutuhan perusahaan agribisnis semakin tinggi, maka kepemilikan dan akses lahan masyarakat lokal akan semakin terbatas sehingga akan menimbulkan konflik horizontal.
Menggenjot produktivitas lewat mekanisme food estate sama saja mengabaikan kesejahteraan patani yang tiap tahun semakin menurun. Padahal masalah pokok yang terkait dengan produktivitas pangan dan kesejahteraan petani sangat berkait dengan kepemilikan lahan yang sangat sempit. Menurut BPS sampai saat ini jumlah petani dengan penguasaan lahan di bawah 0,5 ha mecapai mencapai 9,55 juta rumah tangga petani, sedang yang penguasaannya 0,5-1 ha mencapai 4,01 juta rumah tangga petani. Memacu produktivitas pangan tetapi mengabaikan masalah struktur agraria yang timpang mengingatkan kita pada program revolusi hijau orde baru. Di masa itu, produktivitas beras digenjot tanpa didahului perombakan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan yang timpang. Akibantya, swasembada beras yang dicapai diikuti dengan proses diferensiasi agraria. Salah satu persoalan yang ada di sektor pertanian Indonesia adalah status dan luas lahan yang sangat sempit hanya 0,3 hektar. Jika dilihat dari skala ekonomi, maka tidak mungkin petani Indonesia akan kaya. food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani kecil menjadi korporasi berbasis pangan dan produksi pertanian Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.
Penerapan PP No 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sebagai landasan hukum foodestate akan menimbulkan masalah baru dalam kebijakan pertanian dan keagrariaan. Di antaranya, pertama, mengenai jenis usaha dalam produksi yang diawali penyiapan lahan hingga pascapanen dan diakhiri dengan pemasaran yang berpotensi menimbulkan monopoli swasta atas produksi dan distribusi pertanian pangan (Pasal 3). Kedua, pelaku usaha bisa melakukan budi daya tanaman pangan berpotensi menimbulkan sengketa dengan petani, petambak, dan masyarakat adat (Pasal 4). Ketiga, tak ditentukan persentase modal asing dan modal dalam negeri berpotensi menimbulkan dominasi modal asing, meski memakai badan hukum Indonesia. Keempat, menggunakan tenaga kerja lebih dari sepuluh orang. Ini berpotensi menjadikan petani sebagai buruh tani di tanahnya sendiri. Dalam hal permodalan food estate, pasal 15 menegaskan penanaman modal asing yang akan me¬lakukan usaha budi daya tanaman wajib bekerja sama de¬ngan pelaku usaha dalam ne¬geri dengan membentuk ba¬dan hukum dan berkedudukan di Indonesia. Batas modal asing maksimun 49 persen. Inilah pintu gerbang dominasi asing di lapangan food estate. Padahal, statusnya sebagai subjek pembaruan agraria seharusnya, petani mendapatkan hak atas landreform dan kemitraannya dengan pelaku usaha adalah bagi hasil (Pasal 6 dan 7). Kelima, penggunaan batasan kurang dari 25 hektare, luas maksimum 10.000 hektare, dan di Papua bisa dua kali lipat, berpotensi bertentangan dengan UU Pokok Agraria 1960, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kawasan Ekonomi Khusus, dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, serta UU Otonomi Khusus yang berlaku di Aceh, Papua, dan DIY (Pasal 6, 7, 9). Keenam, kemitraan justru akan menciptakan corporate farming di mana petani menjadi buruh dan menyebabkan masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya (Pasal 11, 12, 18). Ketujuh, seharusnya masyarakat juga memiliki hak menolak dan hak mengguggat, bukan hanya dimintai masukannya (Pasal 37).
Secara konsepsi, pemba¬ngunan pertanian model foodestate bertumpu pada kekuatan modal besar dengan pe¬nguasaan tanah dan pengusahaan skala luas. Umumnya, pendukung foodestate meng¬anggap pertanian rakyat tak bisa diandalkan karena tanahnya terlampau sempit. Perta¬nyaannya, kenapa pemilikan dan penguasaan tanah kaum tani tak ditingkatkan terlebih dahulu? Dengan begitu, petani punya luasan tanah yang me¬madai dengan usaha tani yang ekonomis sebagai pe¬nyangga utama penyediaan pangan. Pemikiran yang menganggap food estate sebagai jalan cepat mewujudkan ketahanan pangan dengan mengabaikan ketimpangan struktur agraria menjadi pertanda masih kuatnya pragmatisme dan kapita¬lisme dalam pembangunan pertanian kita. Seharusnya, model pertanian yang dikembangkan mestilah tunduk pada kepentingan pokok kaum tani sebagai aktor utama pertanian. Segala arah dan bentuk kebijakan mestilah diukur oleh sejauh mana kaum tani kita diuntungkan atau sebaliknya. Beberapa kerugian-kerugian yang ditimbulkan dengan adanya foodestate yaitu, pertama, potensi lahan yang dimiliki rakyat Indonesia tak bisa maksimal dimiliki dan dikelola penuh oleh petani Indonesia. Kedua, jika peraturan yang dihasilkan pemerintah tentang food estate lebih berpihak pada pemodal daripada petani, kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar akan terjadi juga dalam food estate. Ketiga, jika peraturan memberikan kemudahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based and family based agriculture menjadi corporate based food and agriculture production, yang melemahkan kedaulatan pangan Indonesia. Keempat, jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate, maka para pemodal akan jadi penentu harga pasar karena penentu dijual di dalam negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan bagi pemodal.
Dalam PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman ditetapkan bahwa izin lahan yang diberikan kepada satu investor maksimal adalah 10 ribu Ha. Namun, untuk wilayah tertentu, seperti Papua, izin bisa diberikan dua kali lipat atau sampai 20 ribu hektar. Sedangkan untuk investasi asing dibatasi maksimal 49 persen. Selain itu, pemberian hak guna usaha (HGU) kepada investor berjangka waktu 35 tahun dan boleh diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 35 tahun dan 20 tahun. Mencermati program food estate itu, terlihat bahwa program foodestate hanya akan semakin meminggirkan petani, disamping akan membahayakan kedaulatan pangan negara. Alasannya, karena pangan akan dikelola oleh pihak swasta, dan pemerintah nantinya akan semakin sulit untuk mengendalikan harga pangan. Pengembangan food estate justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Program food estate sama halnya dengan pola yang digunakan pemerintahan kolonial, yakni sebagai alat ekstratif mempermudah penghisapan alam Indonesia untuk diperdagangkan di negara asal mereka. Bahkan agar tetap rakyat menanamnya, penjajahan kala itu mengharuskan rakyat membayar pajak berupa beberapa komoditas penting yang laku dipasaran dunia sehingga rakyat harus menanamkannya, yang dikenal dengan istilah culture stelsel. Sistem culture stelsel baru dengan skema food estate ini bisa menegaskan bahwa feodalisme tidak pernah berakhir di negeri ini. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud perampasan tanah atau land grabbing. Food estate ini sejatinya juga menunjukkan cengkeraman gurita pangan global di negeri ini. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien.
Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk semakin menguasai sumber-sumber agraria. Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate). Inpres ini dalam kacamata pemerintah bertujuan untuk menjawab permasalahan pangan nasional dengan memberikan kesempatan kepada pengusaha dan investor untuk mengembangkan “perkebunan” tanaman pangan. Lebih lanjut Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Peraturan ini jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi produsen pangan utama, apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada tersebut masih merupakan petani gurem.
Perubahan cara produksi yang diakibatkan food estate, secara sosiologis mendorong terjadinya petaka di sektor pertanian. Pertama, "matinya" petani kecil. Ini dimulai dari proses teralienasinya petani kecil dari kultur bertaninya. Setelah teralienasi, maka petani kecil mengalami kesengsaraan hidup. Jika kesengsaraan melekat dengan hidup petani, maka kemiskinan akan terus bertambah dan kematian adalah jalan yang tak dapat dihindari petani kecil. Ancaman ini akan dialami 28 juta rumah tangga petani. Kedua, hilangnya hutan dan nilai-nilai masyarakat. Kebutuhan lahan yang sangat luas adalah keniscayaan bagi food estate. Dengan demikian, mutlak terjadi konversi hutan ke lahan pertanian dalam jumlah yang besar. Ketiga, kerusakan lingkungan. Keserakahan akan lahan yang luas untuk food estate, berkontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim dan akhirnya mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan.
Solusi
Berdasarkan fakta empiris di atas maka sistem pertanian yang kita butuhkan adalah sistem pertanian yang dilakukan skala rumah tangga petani bukan skala usaha agribisnis. Dengan model pertanian alternatif yang ramah lingkungan dan harmoni dengan ekologi, tak menggerus kultur masyarakat lokal, dan mampu menciptakan kemandirian hingga kedaulatan pangan. Model pertanian agroekologi lebih cocok dengan situasi geografis, agroklimat dan juga kondisi sosial-ekonomi dari petani Indonesia. Agroekologi merupakan pertanian berwajah kemanusiaan, yang memusatkan produksi pada azas kebutuhan pangan keluarga bukan permintaan pasar. Agroekologi akan mampu mempercepat tercapainya kedaulatan pangan di Republik yang memiliki penduduk 210 juta jiwa ini. Bukan hanya Agroekologi juga mampu memberikan solusi persoalan perubahan iklim.
Salam Cinta Atas Nama Pertanian...
HIDUP Petani Tertindas Indonesia !!!


(*Biro IPB Social Politic Center)
Saran dan kritik
ispc.center@gmail.com
085781760969

Minggu, 11 Juli 2010

Tuah Gerak Suara Jalanan

Dinamika pergerakan mahasiswa selalu linear dengan timbulnya rasa ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan penidasan terhadap rakyat oleh penguasa. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwasanya pergerkan mahasiswa adalah “potensial power” yang dapat menggigit penguasa lalim yang lalai dengan amanah yang diberikan kepadanya. Ketika sebagian elit bangsa telah terbenam dalam pragmatisme semu sebuah kekuasaan, mahasiswa siap pasang badan untuk bangkit meluruskan rel kebangsaan yang mulai menyimpang dari arah pembangunan bangsa. Tentunya, mahasiswa bergerak dengan berlandaskan spirit idealisme kebenaran yang diusungnya.
Hari-hari belakangan ini, pergerakan mahasiswa dihadapkan pada sebuah pertanyaan klasik, “seberapa besar relevansi aksi jalanan (gerakan ekstraparlementer) yang dilakukan mahasiswa terwadap perubahan negeri ini?” Bukankah aksi jalanan hanya sekedar retorika basi yang tidak menghasilkan apa-apa karena sesunggunya jauh dari substansi yang diperjuangkan. Lalu, kenapa mahasiswa harus berpeluh keringat dihantam panasnya matahari dan tebalnya debu jalanan, jika tidak ada sesuatu yang konkrit yang dapat merubah wajah bangsa ini?
Perlu dipahami bahwasanya mahasiswa adalah elemen strategis untuk membawa arus perubahan negeri ini kearah yang lebih baik. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa memiliki berganing position yang kuat untuk mengawal setiap kebijakan pemerintah yang dipandang menyimpang dari tujuan berbangsa dan bernegara. Sampai di titik ini, kita sepakat bahwa gerakan mahasiswa merupakan social control yang penting dalam alur perbaikan negeri ini. Lantas, seberapa kuat ‘tuah” gerkan mahasiswa dalam membingkai peradaban Indonesia yang lebih “beradab”?
Sekiranya cerita perjuangan gerkan mahasiswa angkatan ’66, ’74, ’77, dan ’98 telah memberikan pemahaman yang jelas bahwa mahasiswa mampu mebuat perubahan besar dalam kehidupan benegara. Saat itu, mahasiswa mampu memainkan perananya dengan baik untuk menjadi penyalur lidah rakyat yang tertindas oleh rezim otoriter yang berkuasa saat itu. Kekuatan moral yang terbangun lebih disebabkan karena mahasiswa waktu itu selalu bergerak mengkritisisi setiap kebijakan pemerintah yang dipandang menyimpang. Dalam bahasa pergerakan mahasiswa hanya dikenal dua istilah, yaitu bergerak atau mati. Dan pilihan yang diambil mahasiswa waktu itu adalah terus bergerak untuk membuat sebuah perubahan besar dengan meruntuhkan rezim yang berkuasa saat itu, baik orde lama maupun orde baru. Ada sebuah kegelisahan tersendiri di hati mahasiswa waktu itu ketika melihat masih banyak saudara sebangsa yang tidak bisa makan karena uangnya dikorupsi oleh elit penguasa. Itulah puncak momentum yang membuat mahasiswa dengan semangat bergelora aksi turun ke jalan berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil. Masih adakah semangat-semangat perjuangan itu bagi kita yang mengaku mahasiswa? Atau identitas mahasiswa kita sudah tergadaikan dengan sikap apatis dan pragmatis yang bersamayam kuat dalam relung-relung jiwa.
Inilah saatnya bagi mahasiswa merapatkan barisan untuk mengatur arah perjuangan yang lebih progresif dan substansial. Mahasiswa harus mampu mendesain ulang pergerakan-pergerakan agar lebih populis, “membumi’, dan masif. Hal ini perlu dilakukan agar pergerakan mahasiswa dapat diperhitungkan oleh masyarakat luas, khususnya pejabat “bermasalah” sebagai terget utama. Bukan orangnya yang dikejar, tetapi prilakunya yang perlu “didik”. Sudah saatnya kita membangun bangsa ini dengan satu kekuatan, kekuatan mahasiswa yang dalam sejarahnya mampu meruntuhkan dua rezim melalui aksi perlawanan ekstraparlementer yang cerdas.
Aksi turun ke jalan bukanlah sekedar bentuk arogansi mahasiswa kepada penguasa melaui unjuk kekuatan mahasiswa. Apalagi gerakan mahasiswa yang kosong tanpa substansi. Sesungguhnya, aksi turun ke jalan merupakan genderang peringatan bagi penguasa agar segera memperbaiki kinerjanya untuk secepatnya berada dalam gerbong kebangsaan demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia seutuhnya. Logikanya sederhana, jika kita ingin ‘mendidik” masyarakat adalah dengan pergerakan, maka untuk “mendidik” penguasa adalah dengan aksi perlawanan. Aksi turun ke jalan bukan juga sekedar aksi preman yang anarkis atau aksi berandalan yang opurtunis. Namun, aksi jalanan adalah gerakan moral (moral force) untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan yang sengaja dirampas oleh pihak-pihak yang “berkepentingan”.
Aksi jalanan oleh mahasiswa sampai kapan pun tetap relevan selama bentuk-bentuk ketidakadilan dan penindasan masih hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi turun ke jalan merupakan bentuk idealisme mahasiswa untuk membawa arus perubahan Indonesia yang lebih substansial. Sekarang bukan saatnya lagi kita berdebat ulang tentang seberapa relevan aksi jalanan dalam merubah wajah bangsa. Sesungguhnya, kajian, audiensi, advokasi, dan aksi hanyalah tools-tools bagi gerakan mahasiswa. Seharusnya, tools-tools tersebut mampu dioptimalkan agar tujuan gerakan mahasiswa yang digulirkan dapat tercapai sepenuhnya. Perjuangan tidak pernah mengenal batas waktu. Dia terus bergerak sampai akhir kehidupan ini. Setiap perjuangan memang pahit, tetapi akan berbuah manis untuk kemajuan sebuah negeri.
Hidup Rakyat Tertindas Indonesia !
Achmad Syaifuddin
Staf kajian ISPC BEM KM IPB 2010

Jumat, 09 Juli 2010

Data Kementan vs Data BPS

Persoalan impor menjadi mimpi buruk buat Kementerian Pertanian. Setelah kasus impor bakalan sapi potong tanpa izin, kini mencuat perbedaan angka realisasi impor daging dan jeroan sapi dengan catatan BPS. Pejabat Kementan pun saling lempar tanggung jawab.

Berapa sesungguhnya realisasi impor daging dan jeroan sapi Indonesia tiap tahunnya? Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian punya jawaban. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR awal Juni 2010, keluar lah data berikut. Dari target 155.941 ton daging dan jeroan, impor daging yang terealisasi 57.089 ton dan jeroan 18.082 ton.

Dari realisasi tersebut, tahun ini Ditjen Peternakan pun mematok impor daging dan jeroan tak lebih dari 73.760 ton. Yang hebat, dari jumlah itu sudah teralisasi separuh lebih atau 56.715 ton. Padahal, dari sisi izin yang dikeluarkan, realisasi itu hanya 31,84%. Maklum, Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) — dokumen izin untuk memasukkan daging dan jeroan impor — yang diteken Dirjen Peternakan Tjeppy D. Sudjana sampai Mei 2010 mencapai 155.206 ton.

Bahkan, jumlah itu kembali bertambah dalam tempo sebulan. Menurut Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Turni Rusli Sjamsudin, sampai Juni 2010 sudah dikeluarkan 177 SPP dengan total volume impor daging dan jeroan sebanyak 178.683 ton.

Pertanyaannya, benarkah data resmi yang dikeluarkan Kementan tersebut? Apalagi, sebelumnya banyak peternak rakyat mengeluh jatuhnya harga jual sapi mereka. Keluhan itu sempat mendapat “jawaban” pemerintah ketika menghentikan sementara pengeluaran SPP baru untuk bakalan sapi potong.

Bahkan, jawaban lebih tegas muncul pada 22 Mei 2010 lalu, ketika Menteri Pertanian Suswono melakukan inspeksi mendadak ke pelabuhan Tanjung Priok dan didapati PT Sasongko Prima mengimpor 2.156 ekor tanpa izin (SPP). SPP yang dipakai sudah kadaluarsa (Agro Indonesia, edisi 303). Sebelumnya, dalam waktu yang berdekatan, tiga perusahaan juga kedapatan memasukkan 11.567 ekor bakalan sapi potong, di mana 1.027 ekornya masuk kategori haram: bobot lebih dari 350 kg.

Besarnya SPP yang dikeluarkan serta “tertangkap basahnya” Sasongko Prima seolah menjawab keluhan peternak mengenai anjloknya harga jual sapi mereka. Namun, menurut kalangan pengusaha pembesaran sapi (feedlot) tidaklah demikian. Apalagi, sapi bakalan tidak bisa langsung merusak pasar karena ada waktu serta proses yang harus ditempuh untuk bisa menjadi daging. Dengan kata lain, untuk bisa “merusak” pasar sapi, lihatlah produk akhir sapi tersebut, yakni daging dan jeroan.

Perbedaan data

Dari sinilah kemudian Agro Indonesia coba menelusuri benarkah data resmi yang dilansir Kementan dibandingkan realisasi impor dari Badan Pusat Statistik (BPS). Hasilnya sangat mengejutkan. Berdasarkan data BPS tahun 2009, impor daging dan jeroan sapi lebih besar hampir separuh dari angka realisasi impor resmi Kementan.

Berdasarkan data yang dimuat di situs BPS, impor daging dan jeroan sapi masuk dalam sembilan nomor HS. Dari Sembilan kode HS tersebut, total impor daging dan jeroan mencapai 110.245.579 kg atau 110.245 ton. Padahal, data resmi Ditjen Peternakan yang disampaikan ke Komisi IV DPR hanya 75.171 ton, yang berarti terdapat selisih 35.000 ton lebih.

Ketika dikonfirmasi terjadinya selisih volume impor antara Kementan dengan BPS yang besar, Turni menyatakan semua itu berdasarkan laporan importir. “Importir harus memberikan laporan tentang realiasi impornya kepada kami,” katanya.

Menurut dia, data yang masuk ke Ditjen merupakan rekap sesuai dengan sistem yang ada. “Kontrol dari SPP dari lembaran kontrol yang kita lampirkan bersama SPP,” katanya.

Setiap SPP yang dikeluarkan Ditjen Peternakan selalu disertai dengan lembaran kontrol. Lembaran ini harus dikembalikan setelah diisi atau dicatat setiap shipment dan harus ada cap serta paraf petugas yang berwewenang di pelabuhan pemasukan. Dengan demikian, data yang diterima Ditjen Peternakan cukup akurat.

Sedangkan SPP yang habis masa berlakunya atau tidak terealisasi sama sekali harus dikembalikan untuk direkap. Namun, biasanya, importir yang tidak merealisasikan impor jarang memberikan laporan, tetapi hal ini akan diketahui kalau kelak dikemudian hari importir itu akan mengajukan permohonan izin lagi.

Namun didesak mengapa data impor dari BPS bisa berbeda dengan data Ditjen Peternakan, Turni berkilah itu bisa saja terjadi karena sistem pencatatan yang berlaku di instansi tidak sama. “Mungkin cara pencatatan yang berbeda. Misalnya, menurut kita itu bukan kategori daging, instansi lain memasukan dalam kategori daging,” tegasnya.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah Ditjen Peternakan tidak menerima laporan dari importir, sementara instansi lain seperti Bea dan Cukai menerima laporan, karena setiap daging yang masuk ke Indonesia harus membayar pajak.

Pernyataan ini secara tak langsung dikritik Badan Karantina Pertanian (Barantan). Menurut Kepala Barantan Hari Priyono, sebaiknya ditjen teknis tidak hanya menerima laporan dari importir karena bisa saja importir tersebut tidak melapor atau laporannya tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan. “Semestinya ada petugas dari ditjen teknis untuk mengawasi atau mengawal perjalan SPP yang sudah dikeluarkan,” katanya.

Ditanya mengapa bukan aparat Barantan yang melakukannya, Hari balik bertanya. ”Dasar hukum kami untuk mengawasi atau memantau perjalanan SPP apa? Idealnya mesti ada petugas yang mengawal SPP sampai realiasi impor masuk ke Indonesia,” tegasnya. Petugas tersebut yang akan memberikan laporan baik kepada ditjen teknis yang mengeluarkan SPP maupun kepada instansi yang terkait.

Namun, Turni punya jawaban. Berdasarkan Permentan No.20 tahun 2009 tentang pengamanan daging, jeroan dan karkas impor dengan tegas disebutkan peran karantina dalam pengawasan impor daging, jeroan dan karkas. “Kalau kita baca Permentan itu, disebutkan peran karantina dalam lalu lintas impor daging, jeroan dan karkas,” kata Turni. Jamalzen

Klasifikasi Daging Jadi Kambing Hitam

Jika sesama aparat sudah lempar tanggung jawab, bagaimana dengan pengusaha atau importir daging? Kondisi ini pun “dimanfaatkan” pengusaha dengan menuding bahwa di negeri ini masalah data memang sulit dipercaya keakuratannya. Simak saja apa yang dikemukakan Ketua Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring.

“Data BPS lebih tinggi mungkin karena tidak ada klasifikasi daging. Artinya, produk peternakan seperti jeroan dan sebagainya bisa saja tercatat sebagai data daging impor sehingga angkanya lebih besar,” ungkapnya.

Dia menyebutkan, importir yang tergabung dalam asosiasi selalu melaporkan realisasi impor kepada instansi pemerintah. ”Setiap ada realiasi pemasukan daging, anggota selalu melaporkan kepada Ditjen Peternakan,” katanya.

Namun, lanjutnya, data yang paling akurat adalah dari Karantina Pertanian, karena setiap kali ada impor daging yang masuk ke Indonesia, petugas karantina selalu melakukan pencatatan, sehingga datanya lebih akurat. “Kalau dari importir bisa saja yang bersangkutan tidak jujur, misalnya sudah merealiasikan 6.000 ton, yang dilaporkan hanya 5.000 ton. Saya kalau ditanya soal data impor, data karantina lah yang mendekati akurasinya,” kata Thomas.

Mana yang benar? Silakan Anda nilai sendiri.
Tuesday, July 6th, 2010 18:01 by agroindonesia