Jumat, 24 September 2010

PRESSRELEASE HARI TANI NASIONAL

Pertanian Indonesia dan Kemakmuran Bangsa
Oleh : Achmad Syaifuddin
Staff IPB SOCIAL POLITIC CENTER BEM KM IPB
Pada tanggal 24 September 1960 momentum Hari Tani Nasional lahir. Saat itu, kaum tani Indonesia menyambut dengan penuh suka cita dengan dikeluarkannya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang telah menjungkir-balikkan sistim kepemilikan tanah feodal dan kolonialis melalui program land reform. Hari ini, tepat 50 tahun peristiwa tersebut berlangsung, kebijakan pertanian Indonesia semakin tenggelam dalam arus neoliberalisme. Kebijakan pertanian yang dibuat pemerintah semakin membuat petani sulit karena intensifnya perampasan tanah milik petani oleh perusahaan besar melalui land grabbing yang “diregulasikan” secara tidak langsung. Hingga saat ini lebih dari 175 juta lahan telah dikuasai oleh modal swasta, setara dengan 91 persen luas daratan Indonesia. Artinya, tanah-tanah untuk pertanian dan ekonomi pasar pertanian pun masih dimonopoli kelompok-kelompok tertentu. Padahal, bagi petani tanah merupakan faktor utama dalam melakukan usaha pertaniannya, sehingga seharusnya tetap di bawah kendali petani sendiri. Paradigma pembangunan pemerintah saat ini belum berpihak pada penataan struktur penguasaan dan penggunaan tanah secara adil. Penguasaan dan penggunaan tanah sebagai alat produksi oleh petani tidak pernah diprioritaskan, sehingga penguasaan atas hamparan lahan pertanian diabaikan dan belum dianggap sebagai faktor utama dalam pembangunan pertanian.
Di sisi lain, kesejahteraan kaum tani semakin merosot sebagai akibat dari biaya produksi yang terus meningkat, namun harga jual terus-menerus merosot serta naiknya harga-harga kebutuhan hidup bagi petani dan keluarganya. . Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai tukar para petani terus merosot dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976, nilai tukar petani adalah 113, lalu meningkat menjadi 117 pada tahun 1989. Namun, pada Juni 2010, nilai tukar petani telah terjun bebas hingga 101,39. Artinya, kesejahteraan petani semakin turun. Padahal keberhasilan suatu bangsa ditunjukkan oleh semakin meningkatnya kesejahteraam masayarakat. Sebagai bangsa yang agraris, akan sangat merisaukan jika kondisi kesejahteraan petani kita terus-menerus termarjinalisasikan. Sesungguhnya tidak ada kemakmuran tanpa pembangunan pertanian di desa. Proses industrialisasipun tidak akan berkelanjutan dan meluas, jikalau tidak dibasiskan pada pertanian sebagai dasarnya. Selain itu, pemerintah selalu menganggap bahwa fenomena menurunnya hasil panen disebabkan oleh musim tak menentu. Tentu suatu hal yang sudah maklum, bahwa di era global warming seperti ini kehadiran musim memang tidak menentu. Namun, adakah jalan keluar untuk menciptakan sistem pertanian independen, yang tidak bergantung pada musim agar petani tidak terus-menerus menderita kerugian.
Pada fungsi stabilisasi harga, pemerintah seakan absen dari tanggung jawabnya. Memang Kenaikan harga pangan menjadi sebuah rutinitas ketika menjelang peringatan hari-hari besar Keagamaan dan Nasional. Namun, pemerintah seharusnya sudah bisa memprediksi kenaikan harga tersebut sejak jauh-jauh hari. Pemerintah selalu meredam gejolak kenaikan harga pangan dengan kebijakan taktis dan itu pun dilakukan jika harga sudah terlalu tinggi. Memang kebijakan taktis itu penting karena jika tidak rakyat bisa kelaparan. Tetapi pemerintah juga perlu menyusun kebijakan strategis jangka panjang terkait tata niaga pangan untuk situasi tidak normal ini. Jika negara tidak memperhatikan apa yang ada di depannnya, maka ia akan menderita dari apa yang ada di depannya.
Kebijakan pertanian di Indonesia masih terlalu sentralistik. Petani hanya sekedar menjadi tenaga kerja yang diintervensi dan sangat tergantung oleh kebijakan dari pusat. Reformasi yang sudah bergulir selama 10 tahun seharusnya bisa membuat petani bisa terlepas dari cengkraman sentralisme kebijakan pertanian ini. Padahal, kebutuhan petani di setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada corak di daerah masing-masing. Dalam membentuk kebijakan pertanian, pemerintah terkadang terlalu menyederhanakan permasalahan petani dan akhirnya mengeluarkan kebijakan yang seragam untuk seluruh daerah.
Pada sisi permodalan petani, Kredit Usaha Rakyat yang merupakan program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, namun dalam praktiknya masih belum dapat berjalan dengan optimal. Secara nasional, total KUR yang telah disalurkan Rp5,1triliun per semester I dengan target hingga akhir tahun 2010 sebesar Rp15,8 triliun. Permasalahannya terletaak pada NPL yang cukup tinggi, lemahnya kompetensi UMKM dalam bidang keuangan dan administrasi, proses persiapan SOP bank penyalur yang memakan waktu, suku bunga yang masih cukup tinggi sekitar 14% dan 22%, dan kurangnya sosialisasi.
Pada konteks kedaulatan pangan Indonesia, sesungguhnya dapat dicapai dengan melibatkan rakyat banyak terutama petani secara utuh dan terintegrasi dalam rencana pemenuhan pangan. Selama ini masalah pertanian justru ditimbulkan karena tingginya konversi lahan pertanian, kecilnya kepemilikan lahan petani dan lemahnya dukungan pemerintah. Akan lebih baik jika pemerintah melakukan penataan ulang struktur kepemilikan lahan dan besungguh-sungguh mendukung usaha pertanian rakyat (Reforma Agraria), daripada menyerahkan urusan pangan kepada swasta karena beresiko pada kedaulatan bangsa.
Akhirnya , seluruh rakyat Indonesia berharap bahwa pertanian mampu membawa wajah baru untuk Indonesia yang lebih baik. Kesejahteraan petani dan kemakmuran rakyat seutuhnya seharusnya menjadi jalan masuk untuk mengembangkan pertanian Indonesia ke depan. Sesungguhnya masalah pangan adalah masalah hidup matinya sebuah bangsa. Hanya bangsa yang berpikir besar yang mampu bertahan. Sesungguhnya, kita bangsa yang besar, Indonesia Raya...

HIDUP PETANI SEJAHTERA...
HIDUP RAKYAT INDONESIA !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar