Jumat, 20 Agustus 2010

Bahan Pokok Naik, Petani Untung ??? (Ryza Amirethi, Direktur IPB Social Politic Center)

Mayoritas bahan pokok kita adalah dari pertanian, jadi gak apa-apalah kita memberi untung kepada petani…(SBY, Agustus 2010)

Sekilas pernyataan dari salah satu presiden negara agraris di dunia sekaligus pengimpor beras dunia ini ‘benar;. Akan tetapi apakah ‘benar’ demikian??? Apa benar petani untung, jika tidak lalu siapakah sebenarnya yang diuntungkan ? Seperti yang kita ketahui bersama sistem mekanisme pasar Indonesia saat ini, mengasumsikan kenaikan dan penurunan harga barang dan jasa sangat tergantung kepada naik-turunnya permintaan dan penawaran.
Secara teoritis, Permintaan tidak akan melonjak mengingat tiga hal; Pertama, daya beli masyarakat pada umumnya menghadapi tekanan karena tingkat pengangguran terbuka dan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat. Kedua, suku bunga yang terus naik-sebagai konsekuensi dari kebijakan moneter yang ketat-membuat masyarakat lebih senang menabung. Ketiga, intensifikasi pajak khususnya, dan kebijakan fiscal yang ketat umumnya membuat perekonomian mengalami kontraksi. Faktor-faktor yang menekan ini, paling tidak, mengompensasikan kenaikan permintaan yang bersifat musiman (contoh dalam menghadapi hari besar keagamaan).
Di lain pihak dari sisi Penawaran, beberapa factor utama menghambat penawaran domestic antara lain; Pertama, struktur pasar untuk sejumlah kebutuhan pokok sangat bersifat oligopolistik. Beberapa perusahaan saja yang mendominasi pasar untuk minyak goreng, terigu, mie instant, telur dan ayam ras, dan gula pasir. Mereka otomatis memiliki keleluasaan untuk menetapkan harga dengan mengatur pasokan. Kebijakan membuka keran impor untuk menyelesaikan permasalahan ini dapat saja efektif, asalkan dengan syarat pemerintah dapat menjamin agar mekanisme dan prosedur dalam mengimpor lancar tanpa hambatan.
Kedua, persoalan akut yang menimbulkan tekanan pada harga berasal dari jalur distribusi. Indikator paling gamblang adalah besarnya selisih harga antara tingkat produsen dengan harga di tingkat eceran, contohnya beras selisih harga gabah kering di tingkat petani dengan harga beras di eceran mencapai Rp 1000. Contoh lain adalah relative mahalnya harga gula pasir dibandingkan dengan harga tebu di tingkat petani, akibat dari rendahnya efisiensi pabrik gula. Penyelesaian atas kedua komoditas di atas adalah bukan dengan menaikkan bea masuk atas beras dan gula impor. Jika itu yang ditempuh hanya akan menguntungkan para pedagang (beras) dan produsen (gula), sedang petani dan konsumen akan dirugikan. Untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan pembenahan yang bersifat structural sehingga tidak dapat diselesaikan dengan waktu singkat.
Oleh karena itu, maka harus ada perubahan kebijakan pemerintah ke depan, setidaknya harus mencangkup beberapa hal krusial. Pertama, sinergi kebijakan. Kebijakan stabilisasi harga yang diterapkan harus sinergi antara pendekatan top down dan bottom up dengan kata lain kebijakan pemerintah pusat harus dapat sinkron dengan kebutuhan pemerintah di daerah. Kedua, Kebijakan harus fokus. Pemerintah harus memberikan penekanan dan prioritas untuk membangun dan mendorong pertumbuhan sector yang terbukti efektif meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga dayabeli terhadap barang pokok tercapai, seperti sector pertanian yang seharusnya menjadi basis kekuatan ekonomi Indonesia selaku Negara agraris. Ketiga, Konsistensi Kebijakan, karena menjaga kestabilan harga bukan hanya untuk jangka pendek saja, sehingga dinamika perubahan factor yang mempengaruhi harga harus mampu diakomodasi oleh kebijakan lain tanpa harus mengganti dengan kebijakan yang baru. Ke empat, Kebijakan harus terukur, pencapaian tahapan harus pasti agar memudahkan dalam melaksanakan evaluasi dan pelaporan. Ukuran masing-masing variable tersebut jelas dan terkait. Kelima, Kebijakan harus berkesinambungan, kesinambungan dan konsistensi adalah dua hal yang tak terpisahkan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar