Kamis, 30 September 2010

REDD Ditengah Masalah Kehutanan ; Dari Ulumasen Sampai ke Malinau1

REDD atau Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation adalah sebuah program pengurangan deforestasi atau degradasi hutan dengan tujuan mengurangi emisi yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Di Indonesia, REDD masih merupakan sesuatu yang terbilang asing—bahkan bagi segelintir aktivis lingkungan—kendati penerapannya telah mulai dilakukan secara bertahap.

I. Bagaimana Situasi Hutan
Selama ini setiap tulisan tentang kehutanan dimulai dengan posisi normative hutan sebagai sumber kehidupan, sebuah keindahan yang harmonis dan mempertahankan kehidupan manusia. Tetapi sepuluh tahun belakangan ini, pembicaraan tentang hutan didominasi dengan gugatan terhadap menurunnya kualitas hutan (Degradasi) dan habisnya hutan (Deforestasi), serta isu social dan masalah ikutan seperti konflik penguasaan yang mengantarkan pada kemiskinan. Pada kazanah kebijakan kehutanan Indonesia, hutan didevinisikan dalam pendekatan natural dan politik. Dalam pendekatan natural hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam pengertian politik hutan diartikan dalam lingkup kawasan hutan yang merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Konsekuensi langsung pemakaian devinisi natural dan politik ini, hutan di Indonesia dapat berupa hamparan yang tidak terdapat pohonnya.
Sejak lama pendefinisian hutan dalam pendekatan natural dan politik membawa beban yang tidak sedikit bagi Departemen Kehutanan sebagai pemangku urusan kehutanan. Kerapkali keterbatasan personil dan anggaran menjadi kambing hitam yang paling baik untuk menyandangkan segala kesalahan dalam pengelolaan hutan yang berujung pada degradasi dan deforestasi hutan beserta dengan masalah social ikutan. Luasan klaim pemangkuan ini mencapai 120 juta hektar lebih kawasan hutan dengan tingkat pengukuhan yang syah dan legitimate baru mendekati 10 % saja (Icraf 2006).
Saat ini, sektor kehutanan mengahadapi tekanan dari sector lain (eksternal) maupun menghadapai masalah-masalah internal. Tekanan sector eksternal setidaknya
disebabkan oleh, pertama luasnya klaim kehutanan terhadap bentang bumi Indonesia yang disebabkan oleh devinisi politik kawasan hutan, kedua karena pesatnya laju ekspansi usaha sector lain. Tekanan sector eksternal itu dating dari sector perkebunan dan sector pertambangan. Tiga tahun terakhir, sector perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit mengalami percepatan pertumbuhan-luasan yang signifikan. Sawit Watch mencatat, pada tahun 2006,perkebunan sawit telah eksis seluas kurang lebih 6.495.147 Ha.
Pada tahun yang sama berdasarkan pengolahan data dari berbagai sumber ada rencana ekspansi 19.840.000 Ha. Pada tahun 2008 luas perkebunan sawit telah meningkat menjadi kurang lebih 7.866.070 Ha dengan rencana ekspansi pembukaan perkebunan baru pada tahun itu seluas kurang lebih 24.407.200 Ha. Pada sector pertambangan, sampai dengan tahun 2006, terdapat kurang lebih 2.559 ijin pertambangan mineral dan batubara (non galian C) diseluruh Indonesia. Di Kalimantan Selatan saja, lebih dari 400 ijin tambang dikeluarkan, di Kalimantan Timur ada 509 ijin, dan Sulawesi Tenggara 127 ijin tambang. Sebagai perbandingan di kabupaten baru seperti Morowali, Sulawesi Tengah pada tahun itu telah terdapat 190 perijinan tambang.
Secara internal, sector kehutanan sendiri menghadapi masalah-masalah, sederhananya dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar. Masalah pertama adalah masalah hak-penguasaan atau popular disebut dengan masalah tenurial berupa tumpang tindih klaim atas kawasan hutan dan kepastian hak masyarakat lokal dan adat atas hutan dan kawasan hutan, masalah kedua adalah masalah social yang kerap kali berhubungan erat dengan masalah tenurial berupa kemiskinan dan ketimpangan penguasaan hutan dan lahan hutan, sedangkan masalah ketiga adalah masalah lingkungan yang mencakup masalah degradasi dan deforestasi hutan.

II. Bagaimana Penanganan Masalah Kehutanan
Masalah hak dan masalah social kehutanan dimulai dari adanya klaim sepihak kawasan hutan Negara yang didalamnya terdapat desa-desa tempat masyarakat hidup. Pada tahun 2007 Departemen Kehutanan mengakui bahwa dari 31.957 desa yang diidentifikasi di 15 provinsi, sebagian besar (71,06 persen) desa terletak di luar kawasan hutan. Selanjutnya jumlah desa yang terletak di tepi kawasan hutan adalah sebesar 7.943 desa atau 24,86 persen dan sisnya sebesar 4,08 persen desa terletak di dalam kawasan hutan. Pada desa-desa ditemukan persentase rumahtangga miskin di sekitar kawasan hutan sebanyak 18,5 persen terhadap total penduduk di kawasan hutan atau sekitar 5,5 juta orang. Sebagian besar rumah tangga miskin, kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian terutama sub sektor tanaman pangan.
Masalah lingkungan tergambar pada menurunnya kualitas maupun kuantitas hutan. Berdasarkan data kehutanan, antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 laju deforestasi hutan di Indonesia adalah 1, 17 Juta Ha per tahun. Sementara itu luasan hutan yang terdeforestasi pada periode itu adalah 3,52 Juta Ha. Deforestasi tertinggi terjadi pada kawasan hutan produksi, kemudian diikuti dengan kawasan lindung dan konservasi. Persinggungan masalah-masalah social dan lingkungan kehutanan tersebut menimbulkan konflik-konflik dilapangan. Cifor bersama dengan FWI pada tahun 2004 mencatat berbagai konflik yang timbul dalam pengelolaan dan penguasaanhutan pada kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi. Konflik tertinggi terjadi dikawasan hutan produksi terutama pada areal HPH yang disebabkan oleh masalah tatabatas dan pembatasan akses masyarakat. Temuan ini menunjukkan bahwa klaim sepihak yang dilakukan pemerintah dalam bentuk penunjukan hutan. Negara telah menimbulkan reaksi negative dari masyarakat. Sejak lama berbagai masalah-masalah kehutanan ini berusaha untuk dijawab.
Berbagai tawaran solusi ditawarkan dan diuji coba untuk menjawab masalah hak, masalah social dan masalah lingkungan yang kian hari kian membesar. Jawaban terhadap masalah kehutanan ini didominasi oleh pendekatan-pendekatan manajemen kehutanan. Program dibawah payung isu Good Governance berupa Good Fores Governance dengan pilar transparansi pengelolaan hutan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan akuntabilitas aparatur dalam pengelolaan hutan mewarnai sebagian besar program-program dukungan untuk menuju perbaikan masalah-masalah kehutanan.
Pendekatan ini ditempatkan sebagai satu pendekatan generik untuk menjawab masalah kesalahan tata kelola hutan yang menyebabkan lahirnya ketiga masalah yang telah kita uraikan pada bagian sebelumnya. Bagan dibawah, secara sederhana mencoba untuk mengelompokkan masalah kehutanan yang melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal dengan jawaban berada pada dominasi pendekatan manajemen dengan mengenyampingkan pendekatan komprehensif yang ditawarkan oleh TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Bagan Penanganan Masalah Kehutanan
Jika kita lihat selintas tuntutan masyarakat adat untuk pengakuan hutan adatnya dijawab dengan penyusunan RPP Hutan Adat yang mengunci masyarakat adat pada hak berian yang membatasi pemanfaatan hutan untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan pada kawasan konservasi dan kawasan yang sudah dilekati perizinan kehutanan. Jika masyarakat adat, ingin memasuki lingkup peran serta pengelolaan hutan yang hasilnya dapat diperdagangkan, maka masyarakat ini harus menanggalkan identitasnya dan masuk pada skema hak berian lain berupa bentuk perizinan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Tanaman Rakyat. Niat baik untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan ini kemudian kembali tersungkur dalam belitan birokrasi, misalnya; untuk mendapatkan izin Hutan Tanaman Rakyat, dari proses awal masyarakat harus melewati 19 unit kerja kehutanan yang tersebar dari daerah sampai ke pusat dengan 54 tahapan perizinan (kartodiharjo 2009).

III. REDD dan Tantangannya Bagi Masyarakat Adat
Sejak KTT Bumi di Rio De Janairo rahun 1992, urusan kehutanan tidak hanya urusan kehilangan kayu atau berkurangnya kawasan hutan beserta dengan beban konflik social seperti yang ditanggung oleh Negara-negara dunia ketiga. Urusan kehutanan kemudian memasuki babak yang lebih kompleks yaitu kontribusi terhadap perubahan iklim. Berlin Mandate pada tahun 1995 berupa komitmen pemimpin dunia untuk mengambil langkah dan strategi menghadapi perubahan iklim, memberikan jembatan pada lahirnya Protokol Kyoto tahun 1997. Negosiasi besar untuk bagaimana menghadapi perubahan iklim ini pada akhirnya berhenti pada posisi bahwa Negara pertama sebagai penghasil utama karbon yang berperan besar terhadap perubahan iklim harus memberikan kompensasi pada Negara-negara ketiga pemilik hutan yang dipercaya dapat melepaskan atau menyimpan karbon. Pada posisi itulah program REDD (Reduction Emission from
Deforestation and Degradation) sebagai model penghadangan laju kerusakan hutan di dunia ketiga mendapatkan fondasi setelah generasi awal berupa Clean Development Program (CDM) nyaris gagal total. Selanjutnya REDD mendapat sentuhan rezim perdagangan sehingga popular menjadi bagian dari “ rezim pasar carbon”. Terlepas dari masalah keadilan iklim antara Negara utara yang lebih banyak berkontribusi kepada perubahan iklim dengan Negara selatan yang dipaksa untuk membersihkan perbuatannya dengan menerima kompensasi, REDD perlu diberikan catatan kritis dalam perspektif masyarakat adat karena program ini sedang diuji coba di indonesia.
Pada putaran diskusi melihat REDD yang dimulai dari Aceh, Kalteng dan Jambi yang diselenggarakan oleh Civil Society Forum (CSF), muncul catatan-catatan kritis dari peserta yang dapat dikelompokkan dalam isu hak dan isu tata kelola. Pada isu hak, REDD akan memberikan dampak negative kepada masyarakat adat atau lokal ketika hak-hak mereka atas hutan tetap tidak diakui dan diabaikan. Pembayaran kompensasi REDD yang berbasiskan kinerja untuk meningkatkan cadangan karbon pada kawasan hutan yang ada masayarakat adatnya akan mendorong lahirnya pengetatan-pengetatan akses pemanfaatan hutan maupun peniadaan klaim masyarakat yang dapat berujung pada proses kriminalisasi mereka. Aktor utama REDD yang sedang diuji coba bukanlah masyarakat adat yang hak legal mereka atas kawasan hutan belum diakui. Akan ada otoritas pengelola lain yang mendapatkan hak untuk memperdagangkan karbon dalam skema REDD itu.
Pada isu tata kelola, titik kritis disini muncul dari kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam mengelola REDD. Bagaimana secara cepat aparatur pemerintah daerah dapat meningkatkan pengetahuan dalam bidang metodologi penghitungan karbon, kontrak bisnis internasional, mengingat perdagangan carbon memakai rezim hokum kontrak dan isu krusial lagi adalah pengelolaan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Dalam kacamata masyarakat adat, pengakuan hutan adat diluar kawasan hutan Negara adalah tuntutan yang telah lama diusung jauh sejak penguasaan hutanhutan mereka diambil alih oleh negara. Pengambilalihan ini telah melahirkan masalah-masalah hak, social dan lingkungan yang berujung pada konflik baik laten ataupun telah manifest dalam berbagai bentuk, misalnya intimidasi dan kriminalisasi. Masalah-masalah ini terus berlangsung sampai hari ini mengingat pendekatan manajemen yang digunakan tidak menyentuh inti masalah utama yaitu masalah hak. Pada fondasi yang rapuh itu kemudian bangunan REDD coba didirikan. Mendirikan REDD secara paksa tampa dimulai dengan pengakuanpengakuan hak masyarakat adat akan memperpanjang catatan masalah kehutanan yang ada. Apalagi, REDD mensyaratkan kejelasan status hak dan status hokum kawasan yang akan dilekati program REDD.





Daftar Rujukan

Andiko. Securing Rights for REDD: Strengthening Forest Tenure for Indigenous Peoples and Forest Dependent Communities, 2009
Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay. Memperkokoh Pengelolaan Hutan
Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka
Tindakan, World Agroforestry Centre, 2006. Dephut. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, Dephut, 2007
Dephut. Penghitungan Deforestasi di Indonesia Tahun 2008, Dephut 2008
Eva Wollenberg dkk. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003, Cifor 2003.
Hariadi Kartodiharjo. Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan PembangunanKehutanan Di Indonesia : Intervensi IMF Dan World Bank Dalam Reformasi Kebijakan Pembangunan Kehutanan, World Resources Institute, April 6, 1999
Hariadi Kartodiharjo. Masalah Perijinan dan Reformasi Birokrasi Kehutanan, 2009
Moekti H Soejachmoen & Omar Sari. Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia, Pelangi Indonesia, 2003
Tom Griffiths. “RED”: AWAS ?; “Pencegahan deforestasi” dan hak-hak Masyarakat adat dan komunitas lokal, FPP 2007
UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Jumat, 24 September 2010

PRESSRELEASE HARI TANI NASIONAL

Pertanian Indonesia dan Kemakmuran Bangsa
Oleh : Achmad Syaifuddin
Staff IPB SOCIAL POLITIC CENTER BEM KM IPB
Pada tanggal 24 September 1960 momentum Hari Tani Nasional lahir. Saat itu, kaum tani Indonesia menyambut dengan penuh suka cita dengan dikeluarkannya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang telah menjungkir-balikkan sistim kepemilikan tanah feodal dan kolonialis melalui program land reform. Hari ini, tepat 50 tahun peristiwa tersebut berlangsung, kebijakan pertanian Indonesia semakin tenggelam dalam arus neoliberalisme. Kebijakan pertanian yang dibuat pemerintah semakin membuat petani sulit karena intensifnya perampasan tanah milik petani oleh perusahaan besar melalui land grabbing yang “diregulasikan” secara tidak langsung. Hingga saat ini lebih dari 175 juta lahan telah dikuasai oleh modal swasta, setara dengan 91 persen luas daratan Indonesia. Artinya, tanah-tanah untuk pertanian dan ekonomi pasar pertanian pun masih dimonopoli kelompok-kelompok tertentu. Padahal, bagi petani tanah merupakan faktor utama dalam melakukan usaha pertaniannya, sehingga seharusnya tetap di bawah kendali petani sendiri. Paradigma pembangunan pemerintah saat ini belum berpihak pada penataan struktur penguasaan dan penggunaan tanah secara adil. Penguasaan dan penggunaan tanah sebagai alat produksi oleh petani tidak pernah diprioritaskan, sehingga penguasaan atas hamparan lahan pertanian diabaikan dan belum dianggap sebagai faktor utama dalam pembangunan pertanian.
Di sisi lain, kesejahteraan kaum tani semakin merosot sebagai akibat dari biaya produksi yang terus meningkat, namun harga jual terus-menerus merosot serta naiknya harga-harga kebutuhan hidup bagi petani dan keluarganya. . Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai tukar para petani terus merosot dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976, nilai tukar petani adalah 113, lalu meningkat menjadi 117 pada tahun 1989. Namun, pada Juni 2010, nilai tukar petani telah terjun bebas hingga 101,39. Artinya, kesejahteraan petani semakin turun. Padahal keberhasilan suatu bangsa ditunjukkan oleh semakin meningkatnya kesejahteraam masayarakat. Sebagai bangsa yang agraris, akan sangat merisaukan jika kondisi kesejahteraan petani kita terus-menerus termarjinalisasikan. Sesungguhnya tidak ada kemakmuran tanpa pembangunan pertanian di desa. Proses industrialisasipun tidak akan berkelanjutan dan meluas, jikalau tidak dibasiskan pada pertanian sebagai dasarnya. Selain itu, pemerintah selalu menganggap bahwa fenomena menurunnya hasil panen disebabkan oleh musim tak menentu. Tentu suatu hal yang sudah maklum, bahwa di era global warming seperti ini kehadiran musim memang tidak menentu. Namun, adakah jalan keluar untuk menciptakan sistem pertanian independen, yang tidak bergantung pada musim agar petani tidak terus-menerus menderita kerugian.
Pada fungsi stabilisasi harga, pemerintah seakan absen dari tanggung jawabnya. Memang Kenaikan harga pangan menjadi sebuah rutinitas ketika menjelang peringatan hari-hari besar Keagamaan dan Nasional. Namun, pemerintah seharusnya sudah bisa memprediksi kenaikan harga tersebut sejak jauh-jauh hari. Pemerintah selalu meredam gejolak kenaikan harga pangan dengan kebijakan taktis dan itu pun dilakukan jika harga sudah terlalu tinggi. Memang kebijakan taktis itu penting karena jika tidak rakyat bisa kelaparan. Tetapi pemerintah juga perlu menyusun kebijakan strategis jangka panjang terkait tata niaga pangan untuk situasi tidak normal ini. Jika negara tidak memperhatikan apa yang ada di depannnya, maka ia akan menderita dari apa yang ada di depannya.
Kebijakan pertanian di Indonesia masih terlalu sentralistik. Petani hanya sekedar menjadi tenaga kerja yang diintervensi dan sangat tergantung oleh kebijakan dari pusat. Reformasi yang sudah bergulir selama 10 tahun seharusnya bisa membuat petani bisa terlepas dari cengkraman sentralisme kebijakan pertanian ini. Padahal, kebutuhan petani di setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada corak di daerah masing-masing. Dalam membentuk kebijakan pertanian, pemerintah terkadang terlalu menyederhanakan permasalahan petani dan akhirnya mengeluarkan kebijakan yang seragam untuk seluruh daerah.
Pada sisi permodalan petani, Kredit Usaha Rakyat yang merupakan program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, namun dalam praktiknya masih belum dapat berjalan dengan optimal. Secara nasional, total KUR yang telah disalurkan Rp5,1triliun per semester I dengan target hingga akhir tahun 2010 sebesar Rp15,8 triliun. Permasalahannya terletaak pada NPL yang cukup tinggi, lemahnya kompetensi UMKM dalam bidang keuangan dan administrasi, proses persiapan SOP bank penyalur yang memakan waktu, suku bunga yang masih cukup tinggi sekitar 14% dan 22%, dan kurangnya sosialisasi.
Pada konteks kedaulatan pangan Indonesia, sesungguhnya dapat dicapai dengan melibatkan rakyat banyak terutama petani secara utuh dan terintegrasi dalam rencana pemenuhan pangan. Selama ini masalah pertanian justru ditimbulkan karena tingginya konversi lahan pertanian, kecilnya kepemilikan lahan petani dan lemahnya dukungan pemerintah. Akan lebih baik jika pemerintah melakukan penataan ulang struktur kepemilikan lahan dan besungguh-sungguh mendukung usaha pertanian rakyat (Reforma Agraria), daripada menyerahkan urusan pangan kepada swasta karena beresiko pada kedaulatan bangsa.
Akhirnya , seluruh rakyat Indonesia berharap bahwa pertanian mampu membawa wajah baru untuk Indonesia yang lebih baik. Kesejahteraan petani dan kemakmuran rakyat seutuhnya seharusnya menjadi jalan masuk untuk mengembangkan pertanian Indonesia ke depan. Sesungguhnya masalah pangan adalah masalah hidup matinya sebuah bangsa. Hanya bangsa yang berpikir besar yang mampu bertahan. Sesungguhnya, kita bangsa yang besar, Indonesia Raya...

HIDUP PETANI SEJAHTERA...
HIDUP RAKYAT INDONESIA !!!