Jumat, 16 Juli 2010

Menggugat Foodestate !!! Oleh : Achmad Syaifuddin *)

Food Estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Sederhananya, foodestate adalah perkampungan pertanian berskala luas. Secara praktis budidaya bertani foodestate hanya akan cocok bagi para pemilik modal kuat, yakni perusahaan besar. Terdapat orientasi yang sangat berbeda antara pertanian skala luas dengan model pertanian keluarga. Dalam pertanian keluarga, orientasi utama adalah pemenuhan kecukupan pangan keluarga tani. Ingat keluarga tani merupakan mayoritas dari mereka yang rawan pangan di Indonesia. Adapun tujuan utama bagi perusahaan pangan yang akan berinvestasi di Food estate ini hanya memperpendek payback periode untuk meraup untung besar. Bukan untuk mengatasi kelaparan, karena kalau pun stok pangan berlebih tetapi petani tetap tidak memiliki uang, toh tidak bisa membeli. Pada akhirnya, masalah pangan akan dikomersilkan dan diserahkan ke korporasi pertanian dan pangan. Sehingga masa depan petani kecil akan terancam oleh ekpansi perusahaan pertanian skala besar. Dalam konteks ini, maka pengembangan pangan skala luas atau foodestate sejatinya bukan diperuntukkan untuk petani kecil, tetapi lahan pertanian yang subur akan diserahkan penguasaan dan pengelolaannya ke koorporasi petanian dan pangan.
Peluncuran pengembangan pangan skala besar atau dikenal dengan foodestate perlu direspons secara kritis. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud land grabbing. Keterlibatan transnasional dalam foodestate nampak dengan tingginya minat korporasi dari Uni Emirat Arab, Kuwait, China, dan Korea. Hal yang dikhawatirkan adalah potensi hancurnya pertanian rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung pangan. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien. Komitmen pemerintahan baru sebagaimana juga amanat konstitusi untuk membangun ekonomi tangguh berbasis kerakyatan justru dipertanyakan dengan peluncuran food estate yang sangat jelas memfasilitasi sepenuhnya green capitalism. Kondisi itu justru dikhawatirkan akan melemahkan kedaulatan pangan nasional. Alasan pemerintah terkait adanya foodestate selalu mengenai minimnya modal dan begitu banyaknya alihfungsi lahan. Padahal dasar masalah pertanian di negeri ini bukanlah semata-mata modal. Tetapi, sistem politik ekonomi “setengah hati” yang dijalankan di bidang pertanian. Sangat besar kemungkinan masuknya raksasa pemodal untuk menguasai lahan dan menjadikan negeri miskin sebagai basis sarana produksi pangan pokok rakyatnya.
Dengan alasan pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, negeri ini makin terbelenggu kapital asing dan meliberalisasi semuanya yang justru akan mengancam kedaulatan pangan. Pemerintah melakukan beberapa upaya meningkatkan produksi pangan nasional, khususnya padi. Tapi, sayangnya, pemerintah justru mendorong program foodestate. Padahal, permasalahan utama pertanian kita adalah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Pemerintah hanya terfokus kepada kepentingan investor (pemodal) untuk datang ke Indonesia. Pemerintah seharusnya menjadikan negeri ini mandiri dengan berpihak kepada warga atau rakyatnya. Dapat diperkirakan program foodestate ini akan menarik minat pemodal asing karena akan diberi banyak kemudahan untuk “memiliki” dan mengelola lahan yang ada di Indonesia. Foodestate ini bisa mengarah kepada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di foodestate. Pemerintah akan diberi keuntungan dengan program foodestate yaitu membuka peluang kerja semakin tinggi, pemasukan pajak meningkat, dan ditambah adanya pendapatan non pajak. Namun, kurang berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia.
Foodestate merupakan kejahatan pangan. Adapun alasannya adalah Pertama, foodestate telah melanggar konstitusi. Dengan adanya Food estate ini maka kebijakan ini akan melanggar pasal 33 UUD 1945. Dalam Penjelasan Pasal 33 jelas tersurat “ Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota–anggota masyarakat. Kemakmuran masyrakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata kebijakan ini telah mengangkangi tafsir mulia UUD Negara ini. Kedua, foodestate akan menggagalkan Reforma Agraria. Tujuan utama reforma agraria adalah agar tanah-tanah pertanian diredistribusikan kepada para penggarap dan buruh tani tidak bertanah. Bukan kepada perusahaan yang memiliki modal besar, karena justru memperburuk ketimpangan pemilikan tanah di Indonesia. Food estate diperkirakan akan melanggengkan kondisi buruh tani bekerja banting tulang tanpa ada kesempatan mendapatkan lahan sebagai modal utama bertani. Ketiga, foodesate akan menimbulkan dampak akibat kejahatan Biologi. Jika Food Estate ini dilaksanakan, maka akan terjadi pertanian monokultur skala luas. Keempat, foodestate berakibat pada munculnya kejahatan Sosial. Jika laju konversi lahan untuk kebutuhan perusahaan agribisnis semakin tinggi, maka kepemilikan dan akses lahan masyarakat lokal akan semakin terbatas sehingga akan menimbulkan konflik horizontal.
Menggenjot produktivitas lewat mekanisme food estate sama saja mengabaikan kesejahteraan patani yang tiap tahun semakin menurun. Padahal masalah pokok yang terkait dengan produktivitas pangan dan kesejahteraan petani sangat berkait dengan kepemilikan lahan yang sangat sempit. Menurut BPS sampai saat ini jumlah petani dengan penguasaan lahan di bawah 0,5 ha mecapai mencapai 9,55 juta rumah tangga petani, sedang yang penguasaannya 0,5-1 ha mencapai 4,01 juta rumah tangga petani. Memacu produktivitas pangan tetapi mengabaikan masalah struktur agraria yang timpang mengingatkan kita pada program revolusi hijau orde baru. Di masa itu, produktivitas beras digenjot tanpa didahului perombakan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan yang timpang. Akibantya, swasembada beras yang dicapai diikuti dengan proses diferensiasi agraria. Salah satu persoalan yang ada di sektor pertanian Indonesia adalah status dan luas lahan yang sangat sempit hanya 0,3 hektar. Jika dilihat dari skala ekonomi, maka tidak mungkin petani Indonesia akan kaya. food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani kecil menjadi korporasi berbasis pangan dan produksi pertanian Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.
Penerapan PP No 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sebagai landasan hukum foodestate akan menimbulkan masalah baru dalam kebijakan pertanian dan keagrariaan. Di antaranya, pertama, mengenai jenis usaha dalam produksi yang diawali penyiapan lahan hingga pascapanen dan diakhiri dengan pemasaran yang berpotensi menimbulkan monopoli swasta atas produksi dan distribusi pertanian pangan (Pasal 3). Kedua, pelaku usaha bisa melakukan budi daya tanaman pangan berpotensi menimbulkan sengketa dengan petani, petambak, dan masyarakat adat (Pasal 4). Ketiga, tak ditentukan persentase modal asing dan modal dalam negeri berpotensi menimbulkan dominasi modal asing, meski memakai badan hukum Indonesia. Keempat, menggunakan tenaga kerja lebih dari sepuluh orang. Ini berpotensi menjadikan petani sebagai buruh tani di tanahnya sendiri. Dalam hal permodalan food estate, pasal 15 menegaskan penanaman modal asing yang akan me¬lakukan usaha budi daya tanaman wajib bekerja sama de¬ngan pelaku usaha dalam ne¬geri dengan membentuk ba¬dan hukum dan berkedudukan di Indonesia. Batas modal asing maksimun 49 persen. Inilah pintu gerbang dominasi asing di lapangan food estate. Padahal, statusnya sebagai subjek pembaruan agraria seharusnya, petani mendapatkan hak atas landreform dan kemitraannya dengan pelaku usaha adalah bagi hasil (Pasal 6 dan 7). Kelima, penggunaan batasan kurang dari 25 hektare, luas maksimum 10.000 hektare, dan di Papua bisa dua kali lipat, berpotensi bertentangan dengan UU Pokok Agraria 1960, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kawasan Ekonomi Khusus, dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, serta UU Otonomi Khusus yang berlaku di Aceh, Papua, dan DIY (Pasal 6, 7, 9). Keenam, kemitraan justru akan menciptakan corporate farming di mana petani menjadi buruh dan menyebabkan masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya (Pasal 11, 12, 18). Ketujuh, seharusnya masyarakat juga memiliki hak menolak dan hak mengguggat, bukan hanya dimintai masukannya (Pasal 37).
Secara konsepsi, pemba¬ngunan pertanian model foodestate bertumpu pada kekuatan modal besar dengan pe¬nguasaan tanah dan pengusahaan skala luas. Umumnya, pendukung foodestate meng¬anggap pertanian rakyat tak bisa diandalkan karena tanahnya terlampau sempit. Perta¬nyaannya, kenapa pemilikan dan penguasaan tanah kaum tani tak ditingkatkan terlebih dahulu? Dengan begitu, petani punya luasan tanah yang me¬madai dengan usaha tani yang ekonomis sebagai pe¬nyangga utama penyediaan pangan. Pemikiran yang menganggap food estate sebagai jalan cepat mewujudkan ketahanan pangan dengan mengabaikan ketimpangan struktur agraria menjadi pertanda masih kuatnya pragmatisme dan kapita¬lisme dalam pembangunan pertanian kita. Seharusnya, model pertanian yang dikembangkan mestilah tunduk pada kepentingan pokok kaum tani sebagai aktor utama pertanian. Segala arah dan bentuk kebijakan mestilah diukur oleh sejauh mana kaum tani kita diuntungkan atau sebaliknya. Beberapa kerugian-kerugian yang ditimbulkan dengan adanya foodestate yaitu, pertama, potensi lahan yang dimiliki rakyat Indonesia tak bisa maksimal dimiliki dan dikelola penuh oleh petani Indonesia. Kedua, jika peraturan yang dihasilkan pemerintah tentang food estate lebih berpihak pada pemodal daripada petani, kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar akan terjadi juga dalam food estate. Ketiga, jika peraturan memberikan kemudahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based and family based agriculture menjadi corporate based food and agriculture production, yang melemahkan kedaulatan pangan Indonesia. Keempat, jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate, maka para pemodal akan jadi penentu harga pasar karena penentu dijual di dalam negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan bagi pemodal.
Dalam PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman ditetapkan bahwa izin lahan yang diberikan kepada satu investor maksimal adalah 10 ribu Ha. Namun, untuk wilayah tertentu, seperti Papua, izin bisa diberikan dua kali lipat atau sampai 20 ribu hektar. Sedangkan untuk investasi asing dibatasi maksimal 49 persen. Selain itu, pemberian hak guna usaha (HGU) kepada investor berjangka waktu 35 tahun dan boleh diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 35 tahun dan 20 tahun. Mencermati program food estate itu, terlihat bahwa program foodestate hanya akan semakin meminggirkan petani, disamping akan membahayakan kedaulatan pangan negara. Alasannya, karena pangan akan dikelola oleh pihak swasta, dan pemerintah nantinya akan semakin sulit untuk mengendalikan harga pangan. Pengembangan food estate justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Program food estate sama halnya dengan pola yang digunakan pemerintahan kolonial, yakni sebagai alat ekstratif mempermudah penghisapan alam Indonesia untuk diperdagangkan di negara asal mereka. Bahkan agar tetap rakyat menanamnya, penjajahan kala itu mengharuskan rakyat membayar pajak berupa beberapa komoditas penting yang laku dipasaran dunia sehingga rakyat harus menanamkannya, yang dikenal dengan istilah culture stelsel. Sistem culture stelsel baru dengan skema food estate ini bisa menegaskan bahwa feodalisme tidak pernah berakhir di negeri ini. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud perampasan tanah atau land grabbing. Food estate ini sejatinya juga menunjukkan cengkeraman gurita pangan global di negeri ini. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien.
Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk semakin menguasai sumber-sumber agraria. Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate). Inpres ini dalam kacamata pemerintah bertujuan untuk menjawab permasalahan pangan nasional dengan memberikan kesempatan kepada pengusaha dan investor untuk mengembangkan “perkebunan” tanaman pangan. Lebih lanjut Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Peraturan ini jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi produsen pangan utama, apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada tersebut masih merupakan petani gurem.
Perubahan cara produksi yang diakibatkan food estate, secara sosiologis mendorong terjadinya petaka di sektor pertanian. Pertama, "matinya" petani kecil. Ini dimulai dari proses teralienasinya petani kecil dari kultur bertaninya. Setelah teralienasi, maka petani kecil mengalami kesengsaraan hidup. Jika kesengsaraan melekat dengan hidup petani, maka kemiskinan akan terus bertambah dan kematian adalah jalan yang tak dapat dihindari petani kecil. Ancaman ini akan dialami 28 juta rumah tangga petani. Kedua, hilangnya hutan dan nilai-nilai masyarakat. Kebutuhan lahan yang sangat luas adalah keniscayaan bagi food estate. Dengan demikian, mutlak terjadi konversi hutan ke lahan pertanian dalam jumlah yang besar. Ketiga, kerusakan lingkungan. Keserakahan akan lahan yang luas untuk food estate, berkontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim dan akhirnya mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan.
Solusi
Berdasarkan fakta empiris di atas maka sistem pertanian yang kita butuhkan adalah sistem pertanian yang dilakukan skala rumah tangga petani bukan skala usaha agribisnis. Dengan model pertanian alternatif yang ramah lingkungan dan harmoni dengan ekologi, tak menggerus kultur masyarakat lokal, dan mampu menciptakan kemandirian hingga kedaulatan pangan. Model pertanian agroekologi lebih cocok dengan situasi geografis, agroklimat dan juga kondisi sosial-ekonomi dari petani Indonesia. Agroekologi merupakan pertanian berwajah kemanusiaan, yang memusatkan produksi pada azas kebutuhan pangan keluarga bukan permintaan pasar. Agroekologi akan mampu mempercepat tercapainya kedaulatan pangan di Republik yang memiliki penduduk 210 juta jiwa ini. Bukan hanya Agroekologi juga mampu memberikan solusi persoalan perubahan iklim.
Salam Cinta Atas Nama Pertanian...
HIDUP Petani Tertindas Indonesia !!!


(*Biro IPB Social Politic Center)
Saran dan kritik
ispc.center@gmail.com
085781760969

Tidak ada komentar:

Posting Komentar