Jumat, 09 Juli 2010

Data Kementan vs Data BPS

Persoalan impor menjadi mimpi buruk buat Kementerian Pertanian. Setelah kasus impor bakalan sapi potong tanpa izin, kini mencuat perbedaan angka realisasi impor daging dan jeroan sapi dengan catatan BPS. Pejabat Kementan pun saling lempar tanggung jawab.

Berapa sesungguhnya realisasi impor daging dan jeroan sapi Indonesia tiap tahunnya? Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian punya jawaban. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR awal Juni 2010, keluar lah data berikut. Dari target 155.941 ton daging dan jeroan, impor daging yang terealisasi 57.089 ton dan jeroan 18.082 ton.

Dari realisasi tersebut, tahun ini Ditjen Peternakan pun mematok impor daging dan jeroan tak lebih dari 73.760 ton. Yang hebat, dari jumlah itu sudah teralisasi separuh lebih atau 56.715 ton. Padahal, dari sisi izin yang dikeluarkan, realisasi itu hanya 31,84%. Maklum, Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) — dokumen izin untuk memasukkan daging dan jeroan impor — yang diteken Dirjen Peternakan Tjeppy D. Sudjana sampai Mei 2010 mencapai 155.206 ton.

Bahkan, jumlah itu kembali bertambah dalam tempo sebulan. Menurut Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Turni Rusli Sjamsudin, sampai Juni 2010 sudah dikeluarkan 177 SPP dengan total volume impor daging dan jeroan sebanyak 178.683 ton.

Pertanyaannya, benarkah data resmi yang dikeluarkan Kementan tersebut? Apalagi, sebelumnya banyak peternak rakyat mengeluh jatuhnya harga jual sapi mereka. Keluhan itu sempat mendapat “jawaban” pemerintah ketika menghentikan sementara pengeluaran SPP baru untuk bakalan sapi potong.

Bahkan, jawaban lebih tegas muncul pada 22 Mei 2010 lalu, ketika Menteri Pertanian Suswono melakukan inspeksi mendadak ke pelabuhan Tanjung Priok dan didapati PT Sasongko Prima mengimpor 2.156 ekor tanpa izin (SPP). SPP yang dipakai sudah kadaluarsa (Agro Indonesia, edisi 303). Sebelumnya, dalam waktu yang berdekatan, tiga perusahaan juga kedapatan memasukkan 11.567 ekor bakalan sapi potong, di mana 1.027 ekornya masuk kategori haram: bobot lebih dari 350 kg.

Besarnya SPP yang dikeluarkan serta “tertangkap basahnya” Sasongko Prima seolah menjawab keluhan peternak mengenai anjloknya harga jual sapi mereka. Namun, menurut kalangan pengusaha pembesaran sapi (feedlot) tidaklah demikian. Apalagi, sapi bakalan tidak bisa langsung merusak pasar karena ada waktu serta proses yang harus ditempuh untuk bisa menjadi daging. Dengan kata lain, untuk bisa “merusak” pasar sapi, lihatlah produk akhir sapi tersebut, yakni daging dan jeroan.

Perbedaan data

Dari sinilah kemudian Agro Indonesia coba menelusuri benarkah data resmi yang dilansir Kementan dibandingkan realisasi impor dari Badan Pusat Statistik (BPS). Hasilnya sangat mengejutkan. Berdasarkan data BPS tahun 2009, impor daging dan jeroan sapi lebih besar hampir separuh dari angka realisasi impor resmi Kementan.

Berdasarkan data yang dimuat di situs BPS, impor daging dan jeroan sapi masuk dalam sembilan nomor HS. Dari Sembilan kode HS tersebut, total impor daging dan jeroan mencapai 110.245.579 kg atau 110.245 ton. Padahal, data resmi Ditjen Peternakan yang disampaikan ke Komisi IV DPR hanya 75.171 ton, yang berarti terdapat selisih 35.000 ton lebih.

Ketika dikonfirmasi terjadinya selisih volume impor antara Kementan dengan BPS yang besar, Turni menyatakan semua itu berdasarkan laporan importir. “Importir harus memberikan laporan tentang realiasi impornya kepada kami,” katanya.

Menurut dia, data yang masuk ke Ditjen merupakan rekap sesuai dengan sistem yang ada. “Kontrol dari SPP dari lembaran kontrol yang kita lampirkan bersama SPP,” katanya.

Setiap SPP yang dikeluarkan Ditjen Peternakan selalu disertai dengan lembaran kontrol. Lembaran ini harus dikembalikan setelah diisi atau dicatat setiap shipment dan harus ada cap serta paraf petugas yang berwewenang di pelabuhan pemasukan. Dengan demikian, data yang diterima Ditjen Peternakan cukup akurat.

Sedangkan SPP yang habis masa berlakunya atau tidak terealisasi sama sekali harus dikembalikan untuk direkap. Namun, biasanya, importir yang tidak merealisasikan impor jarang memberikan laporan, tetapi hal ini akan diketahui kalau kelak dikemudian hari importir itu akan mengajukan permohonan izin lagi.

Namun didesak mengapa data impor dari BPS bisa berbeda dengan data Ditjen Peternakan, Turni berkilah itu bisa saja terjadi karena sistem pencatatan yang berlaku di instansi tidak sama. “Mungkin cara pencatatan yang berbeda. Misalnya, menurut kita itu bukan kategori daging, instansi lain memasukan dalam kategori daging,” tegasnya.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah Ditjen Peternakan tidak menerima laporan dari importir, sementara instansi lain seperti Bea dan Cukai menerima laporan, karena setiap daging yang masuk ke Indonesia harus membayar pajak.

Pernyataan ini secara tak langsung dikritik Badan Karantina Pertanian (Barantan). Menurut Kepala Barantan Hari Priyono, sebaiknya ditjen teknis tidak hanya menerima laporan dari importir karena bisa saja importir tersebut tidak melapor atau laporannya tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan. “Semestinya ada petugas dari ditjen teknis untuk mengawasi atau mengawal perjalan SPP yang sudah dikeluarkan,” katanya.

Ditanya mengapa bukan aparat Barantan yang melakukannya, Hari balik bertanya. ”Dasar hukum kami untuk mengawasi atau memantau perjalanan SPP apa? Idealnya mesti ada petugas yang mengawal SPP sampai realiasi impor masuk ke Indonesia,” tegasnya. Petugas tersebut yang akan memberikan laporan baik kepada ditjen teknis yang mengeluarkan SPP maupun kepada instansi yang terkait.

Namun, Turni punya jawaban. Berdasarkan Permentan No.20 tahun 2009 tentang pengamanan daging, jeroan dan karkas impor dengan tegas disebutkan peran karantina dalam pengawasan impor daging, jeroan dan karkas. “Kalau kita baca Permentan itu, disebutkan peran karantina dalam lalu lintas impor daging, jeroan dan karkas,” kata Turni. Jamalzen

Klasifikasi Daging Jadi Kambing Hitam

Jika sesama aparat sudah lempar tanggung jawab, bagaimana dengan pengusaha atau importir daging? Kondisi ini pun “dimanfaatkan” pengusaha dengan menuding bahwa di negeri ini masalah data memang sulit dipercaya keakuratannya. Simak saja apa yang dikemukakan Ketua Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring.

“Data BPS lebih tinggi mungkin karena tidak ada klasifikasi daging. Artinya, produk peternakan seperti jeroan dan sebagainya bisa saja tercatat sebagai data daging impor sehingga angkanya lebih besar,” ungkapnya.

Dia menyebutkan, importir yang tergabung dalam asosiasi selalu melaporkan realisasi impor kepada instansi pemerintah. ”Setiap ada realiasi pemasukan daging, anggota selalu melaporkan kepada Ditjen Peternakan,” katanya.

Namun, lanjutnya, data yang paling akurat adalah dari Karantina Pertanian, karena setiap kali ada impor daging yang masuk ke Indonesia, petugas karantina selalu melakukan pencatatan, sehingga datanya lebih akurat. “Kalau dari importir bisa saja yang bersangkutan tidak jujur, misalnya sudah merealiasikan 6.000 ton, yang dilaporkan hanya 5.000 ton. Saya kalau ditanya soal data impor, data karantina lah yang mendekati akurasinya,” kata Thomas.

Mana yang benar? Silakan Anda nilai sendiri.
Tuesday, July 6th, 2010 18:01 by agroindonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar