Rabu, 23 Juni 2010

ACFTA & Zona Pasar Liberalisasi

ACFTA & Zona Pasar Liberalisasi
Sebagai konsekuensi logis dari ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), Indonesia mau tak mau telah masuk ke dalam ranah perekonomian dunia global. Gagasan tersebut telah tercetus pada 1992 di Singapura pada pertemuan puncak ke empat negara-negara yang bergabung dalam ASEAN, yang menginginkan segera melaksanakan AFTA yang semula dijadwalkan 2008, dipercepat menjadi 2003. Inilah satu bukti bahwa globalisasi perekonomian dunia telah dimulai.
ASEAN – China Free Trade Agreement (ACFTA), yang ditandatangani pada 4 November 2004, sejak tanggal 1 Januari 2010 yang lalu telah masuk pada tahap pelaksanaan. Dengan tujuan yang antara lain:
1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak
2. Meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan dan penghapusan tarif.
3. Mencari area baru dan mengembangkan kerjasama yang saling menguntungkan kedua pihak.
Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan Negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada dikedua belah pihak. Dengan demikian, integrasi perekonomian nasional dengan perekonomian regional/global, seperti AFTA, APEC, WTO/GATT, tidak mungkin lagi dapat dihindari. Inilah konsekuensi logis bagi perekonomian negara yang menganut paham pasar bebas. Artinya, paham yang menempatkan perekonomian suatu negara dalam ranah arus perdagangan bebas dunia.
Diakui atau tidak, munculnya ACFTA sedikit banyak mendatangkan kerugian dibandingkan dengan manfaatnya, khususnya terhadap industri manufaktur dan tenaga kerja jika tak segera diantisipasi pemerintah. Artinya, ACFTA lebih mengarah pada implementasi zona baru prinsip liberalisme perdagangan yang akan menganggu pasar domestik dan mengancam konsumsi barang-barang produksi dalam negeri.
Selama ini, produk dari Cina merupakan pesaing utama produk-produk lokal/domestik karena harganya jauh lebih murah. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya melakukan pengawasan pelabuhan impor untuk barang-barang dari Cina dan memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI), baik untuk produk impor maupun lokal, karena sebagian produk lokal kita dari segi kualitas tidak kalah dengan produk Cina. Hanya dari segi harga, kita tak mampu bersaing.
Dari data yang ada, saat ini peredaran barang impor di tanah air telah mencapai 50 persen, 40 persennya merupakan produk impor dari Cina. Dampak terburuk ACFTA, bila bea masuk sudah efektif berlaku nol persen, maka komposisi barang-barang impor diprediksi bisa melonjak mencapai 75 persen dan produk-produk Cina menguasai 70 persennya. Jika hal ini dibiarkan dan tidak ada upaya penghambatan dari pemerintah, dikhawatirkan secara tidak langsung akan berdampak pada lapangan kerja karena akan terjadi alih profesi dari kalangan industriawan ke pedagang atau menjadi distributor.
Tercatat hingga Desember 2009, pekerja formal di Indonesia hanya 32,14 juta orang (30,65 persen) dari total angkatan kerja. Sementara jumlah pekerja informal mencapai 67,86 juta orang (69,35 persen) dari total angkatan kerja di Indonesia sebanyak 113,83 juta orang.
Jadi dalam konteks ini, pemberlakuan ACFTA ibarat dua sisi mata uang, yakni menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap Indonesia. Dampak negatifnya antara lain berkaitan dengan tersisihnya peluang produk-produk lokal menguasai pasar domestik. Oleh karena itu, pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO). Meski diakui secara jujur, dalam realitasnya, Indonesia belum siap menerapkan ACFTA secara penuh.
Dukungan pemerintah bagi para pengusaha atau dunia industri (khususnya industri kecil) sangat dibutuhkan, agar terhindar dari kemungkinan dampak buruk dari ACFTA. Seperti diketahui pemberlakuan ACFTA nantinya akan diikuti dengan pemberlakuan seluruh tarif impor menjadi 0%, dan hal yang paling mungkin terjadi adalah serbuan besar-besaran produk-produk barang China, kemudian bila industri dalam negeri tidak mampu bersaing, maka ACFTA hanya akan membuat para pelaku industri gulung tikar dan angka pengangguran akan meningkat. Bila pasar domestik tak mampu direbut, kecil kemungkinan untuk menembus pasar internasional, faktor harga yang lebih tinggi menjadi masalah bagi industri dalam negeri. Jadi keseriusan pemerintah dalam hal ini tidak bisa ditawar lagi.
Sejatinya penyerahan perdagangan dan ekonomi pada mekanisme pasar sekilas memang memunculkan nuansa untuk berkompetisi, tapi pada faktanya kompetisi selalu dipegang atau dikuasai oleh Negara besar dan kuat serta memiliki ketahanan ekonomi. Kemandirian ekonomi menjadi tuntutan utama untuk memiliki ketahanan ekonomi, dan kemandirian inilah yang tidak pernah dimiliki oleh Negara Indonesia Hingga saat ini.
ISU ISPC SEKTOR H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar