Rabu, 23 Juni 2010

I. MENGAPA MENULIS ARTIKEL ?
Artikel adalah tulisan lepas berisi opini seseorangyang mengupas tuntas suatu masalah tertentu yang sifatnya actual dan atau kontrovesial dengan tujuan untuk memberitahu (informative), mempengaruhi, dan meyakinkan (persuasive argumentative), atau menghibur khalayaj pembaca (rekreatif).
Secara teknis jurnalistik, artikel adalah salah satu bentuk opini yang terdapat dalam surat kabar atau majalah. Disebut salah sat, karena masih ada bentuk opini yang lain.
Analoginya sederhana. Kalau kita membuka halaman demi halaman surat kabar atau majalah, maka secara umum isinya dapat digo-longkan ke dalam tiga kelompok besar.
1. Kelompok pertama adalah berita {news).

2. Kelompok kedua disebut opini [views).

3. Kelompok ketiga dinamakan iklan [advertising).

Kelompok berita, meliputi antara lain berita langsung [straight news), berita foto
[photo news), berita suasana-ber-warna [colour news), berita menyeluruh [comprehensive news), berita mendalam [depth news), berita penafsiran [interpretative news), dan berita penyelidikan [investigative news).

Kelompok opini, meliputi tajuk rencana atau editorial, karikatur, pojok, artikel, kolom, dan surat pembaca. Untuk memisahkan secara tegas antara berita [news) dan opini [views], maka tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel, dan surat pembaca ditempatkan dalam satu halaman khusus. Inilah yang disebut halaman opini [opinion page). Pemisahan secara tegas berita dan opini tersebut merupakan konsekuensi dari norma dan etika luhur jurnalistik yang tidak menghendaki berita sebagai fakta objektif, diwarnai atau dibaurkan dengan opini sebagai pandangan yang sifatnya subjektif.














Ertentu yang si




























Oke, sebagai ilustrasi materi IPS IV kali ini. Mari kita analisis “Perang Opini” antara Pers-Para Aktivis MAHASISWA berikut ini (silahkan dibaca )


Aksi Mahasiswa dan Disorientasi Gerakan
Kompas. Jumat, 19 Maret 2010 | 11:14 WIB
Unjuk rasa mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Rabu lalu, diwarnai saling dorong dan baku pukul antara mahasiswa dan petugas keamanan. Pintu kaca gedung rektorat pecah akibat dorongan mahasiswa yang mendesak masuk. Kamis, aksi dilanjutkan tapi tidak sericuh Rabu.
Agenda utama unjuk rasa sekitar 100 mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa UIN (KBMU) itu mendesak pelibatan mahasiswa dalam pemilihan rektor. Bukan kandidat yang mereka permasalahkan, melainkan proses.
Mahasiswa tak punya hak suara dalam pemilihan rektor (pilrek). Apa boleh buat, aturan Menteri Agama bagi perguruan tinggi Islam sejak 2007 memang begitu adanya. Sebelumnya, elemen mahasiswa dilibatkan dalam pilrek. Itulah amunisi protes.
Aksi tersebut memang tak bisa dibandingkan dengan aksi mahasiswa di Makassar, beberapa waktu lalu. Karena terjadi di Yogyakarta, aksi itu menjadi menarik. Apalagi, Yogyakarta selama ini dikenal adem ayem, kota pelajar dan kota budaya.
Apakah aksi mahasiswa harus seperti itu? "Tidak," kata Lalu Lutfi, Koordinator KBMU. Perusakan pintu kaca dipandang tak lebih sebagai euforia massa aksi. Ia meminta agar aksi jangan dilihat sepenggal. Jika mahasiswa sampai "berteriak" seperti itu, tentu ada sebabnya: hak suara mahasiswa dibungkam.
"Kami unjuk rasa dan sampai seperti ini karena kami tahu ada yang tidak beres di kampus. Mahasiswa tak boleh pragmatis. Mahasiswa harus tahu apa yang terjadi di sekitarnya dan kritis. Sekarang, banyak mahasiswa pragmatis," kata Lalu.
Aksi seperti itu tak hanya sekali terjadi di UIN. Kepala Sub-bagian Humas UIN RTM Maharani mengakui, sepatutnya mahasiswa di kampus Islam jangan sampai melakukan demo yang bernuansa anarkis. "Ada salah paham yang mesti dicari solusinya," katanya.




Gambaran umum
Secara umum, di Yogyakarta, ada kecenderungan menarik dari aksi-aksi mahasiswa. Pengamat politik UGM yang juga mantan aktivis mahasiswa, Arie Sudjito, berpendapat, gerakan mahasiswa mengalami disorientasi; tidak memiliki tujuan dan target jelas. Mereka kehilangan peran sejak pemerintahan bergeser dari pemerintahan yang cenderung otoriter menjadi lebih demokratis.
"Peran mahasiswa dulu mengkritisi pemerintah karena masyarakat maupun media tak mampu mengkritik. Sekarang, peran itu diambil alih media massa, lembaga swadaya masyarakat, maupun elemen masyarakat lainnya," ujar dia.
Ibarat pejuang, mahasiswa kini kehilangan musuh, tetapi pola perjuangannya tak juga berubah. Akibatnya, gerakan mahasiswa mudah terpancing isu jangka pendek. Tanpa memiliki pedoman jelas, emosi pun mudah terpancing. "Maka timbullah aksi yang menjadi anarkis, merusak kampus sendiri, atau saling serang," ujar dia.
Pada masa lalu, gerakan mahasiswa tak mudah terpancing karena mempunyai setting agenda yang jelas. Mahasiswa Yogyakarta dikenal dengan kemampuan intelektual dan diplomasinya yang mumpuni sehingga sangat jarang terlibat aksi rusak-merusak dalam berbagai aksi.
Untuk mengatasi kecenderungan keras dalam aksi mahasiswa secara umum, gerakan mahasiswa harus menemukan pola perjuangan yang berbeda dari masa lalu. Gerakan mahasiswa tidak bisa lagi sekadar mengkritisi, tetapi harus disertai aksi nyata.
Unjuk rasa mahasiswa bukan sekadar mengekspos gerakan, melainkan harus memuat jawaban atas permasalahan di masyarakat. Dengan kata lain, menjadi bagian dari solusi nyata problema yang dihadapi publik.
Misalnya, menjadi agen penghubung antarelemen masyarakat maupun negara, seperti menghubungkan buruh dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau menghubungkan LSM dengan pemerintah. Peran itu saat ini masih lowong dan layak diisi gerakan mahasiswa.
Salah satu contoh kekisruhan gerakan mahasiswa tecermin pula pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa UGM, yang terlibat permasalahan dengan rektorat. Hingga kini, Presiden BEM KM UGM Aza El Munadiyan terpilih belum diakui Rektorat UGM. Rektorat UGM mengaku tengah berupaya menata BEM.
Jawaban dari semua aksi mahasiswa di kampus mana pun yang bernuansa ricuh memang berpulang pada keharmonisan pengelola kampus dengan mahasiswa. Komunikasi dan transparansi merupakan kunci penting. Barangkali memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. (LUKAS ADI PRASETYA/ IRENE SARWINDANINGRUM)








BALASAN OPINI DARI AKTIVIS UNTUK PERS


Disorientasi Gerakan Mahasiswa?
Kompas, Senin, 22 Maret 2010 | 13:58 WIB
Oleh Mohamad Fathollah
Rubrik Gelanggang Kompas, Jumat (19/3), mengulas tentang disorientasi gerakan mahasiswa. Berdasarkan analisis "tindakan anarkis" demonstrasi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, secara mendasar, tulisan itu seakan mendistorsi gerakan mahasiswa secara umum. Apalagi adanya komentar sinis Ari Sujito, sebagai narasumber primer, yang mengatakan gerakan mahasiswa sekarang tidak mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Menurut hemat saya, Ari terlalu dini menilai hakikat gerakan mahasiswa dan seakan-akan mengeliminasi ideologi gerakan mahasiswa.
Ari mengatakan, gerakan mahasiswa mengalami disorientasi dan tak memiliki tujuan yang jelas. "Mereka kehilangan peran sejak pemerintahan bergeser dari pemerintahan yang cenderung otoriter menjadi lebih demokratis. Peran mahasiswa dulu mengkritisi pemerintah karena masyarakat tidak mampu mengkritik, sekarang peran itu diambil alih media massa, lembaga swadaya masyarakat, maupun elemen masyarakat lainnya." (Kompas, 19/3)
Meski di beberapa hal pernyataan itu realistis, kita dapat berpikir lebih jauh tentang hakikat sebuah gerakan bahwa ada bagian- bagian yang kadang kita abai terhadapnya. Misalnya, mengenai tujuan, di mana pun dan hingga kapan pun tujuan gerakan sosial, demonstrasi, dan aksi yang melibatkan massa yang masif adalah satu, yakni menentang segala bentuk ketidakadilan dalam segenap aspeknya. Terlepas dari akibat negatif (anarkisme, misalnya) yang muncul di sela-sela aksi tidak dapat digeneralisasi dan dikreasikan pada ranah ideologi massa aksi.
Dewasa ini, banyak kalangan menyangsikan arah gerakan mahasiswa. Pascareformasi 1998, gerakan sosial di Indonesia yang dipelopori (mayoritas) mahasiswa saat ini dipandang tak lebih sekadar kerumunan massa. Tujuan dan idealisasi ideologi dipandang jadi barang dagangan. Apalagi maraknya unjuk rasa kalangan mahasiswa yang berujung anarkis semakin mengerucutkan anggapan negatif masyarakat.


Hal demikian terekam dari sejumlah aksi yang menggejala di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa mantan aktivis mahasiswa zaman Soeharto, misalnya, (Ari Sujito juga mengklaim dirinya aktivis 1998), sangsi pada gerakan mahasiswa yang akhir-akhir ini diberitakan negatif. Tindakan anarkisme yang terjadi di Makassar antara mahasiswa dan polisi, demonstrasi yang berujung perusakan infrastruktur di Jakarta perihal kasus Century, atau lainnya dipandang sebagai aksi membabi buta.
Kalau kita hanya melihat dengan mata telanjang sejumlah demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini dan buru-buru menilai gerakan anarkisme massa aksi di sejumlah daerah sebagai gerakan yang tidak mempunyai nilai dan arah yang pasti, saya pikir harus kita lihat konteksnya terlebih dahulu. Kalau kita bandingkan, aksi mahasiswa 1965-1966, 1972-1974, atau yang lebih masif demonstrasi 1997-1998 juga melahirkan anarkisme massa. Jadi, realitas anarkis tidaklah menjadi ukuran formal buntunya gerakan mahasiswa. Saya yakin, gerakan yang dilandasi niat dan mapping yang jelas tak akan melahirkan tindakan anarkis. Kalaupun ada hanya bagian kecil massa aksi serta out of control.
Sikap konfrontatif gerakan mahasiswa dapat dikategorikan gerakan revolusioner. Hal ini karena gerakan itu dilakukan secara masif dan terstruktur dengan tujuan dan arah yang jelas. M Fadjroel Rahman (2006) menyebut gerakan 1998 sebagai tindakan peran oposisi ad hoc gerakan mahasiswa. Misalnya, perlawanan mahasiswa terhadap keotoriteran Orde Baru yang memicu sejumlah aksi mahasiswa di seantero negeri.
Gerakan revolusioner itu dapat juga kita identifikasi pada gerakan mahasiswa 1956 dan 1966 dengan tujuan penumbangan Orde Lama yang otoriter. Atau mosi tidak percaya pada pemerintah yang dikobarkan 1974. Gerakan ini menampilkan Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, dan Asmara Nababan sebagai garda depan gerakan antipemerintah.
Hingga era pemberlakukan NKK/BKK pada 1978 sebagai pengerdilan gerakan mahasiswa yang masif mencapai puncak pada 1990. Upaya pemerintah mengebiri gerakan mahasiswa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk memasukkan pasal-pasal dan ketentuan khusus pada normalisasi kehidupan kampus. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan aksi mahasiswa dengan menumbangkan era Orba pada 1998.
Melihat gerakan mahasiswa yang masif sejak kemerdekaan hingga masa reformasi yang penulis kemukakan di atas dapat dikatakan sebagai gerakan murni kontrol sosial-politik. Hal itu berjalan efektif karena massa aksi (mahasiswa) mempunyai musuh bersama (common enemy) yang harus segera tumbang, yakni pemerintah dan segala kebijakan otoritatif Orba.






Musuh bersama
Yogyakarta adalah lumbung gerakan mahasiswa. Tidak hanya demonstrasi yang dapat dilakukan mahasiswa dalam melawan ketidakadilan dan diskriminasi. Cara lain, misalnya gerakan literasi, entrepreneurship, dan gerakan yang lagi marak, adalah gerakan sosial berbasis cyberspace.
Kalau kita bandingkan gerakan mahasiswa sebelum reformasi dengan realitas gerakan mahasiswa pascareformasi, jelas-jelas penggambarannya sedikit berbeda. Tiap aksi massa mempunyai sejarah sendiri. Tidak dapat dibanding-bandingkan gerakan mahasiswa saat ini dengan satu dasawarsa yang lalu. Mengatakan yang sekarang salah dan yang terdahulu benar adalah sikap apatis. Sebab hingga kapan pun gerakan mahasiswa murni sebagai media perubahan. Terlepas dari motifnya politis atau ideologis. Yang pasti, gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bersama menumbangkan ketidakadilan dan segala macam bentuk diskriminasi.
Demonstrasi adalah salah satu kehidupan mahasiswa di luar kampus. Hakikat demonstrasi yang kerap kali dilakukan baik oleh kalangan buruh dan mahasiswa merupakan aksi dari reaksi yang diterima atas sejumlah ketidakadilan, diskriminasi, alienasi, dan pengerdilan yang dilakukan pemerintah, penguasa (korporasi) atau siapa pun. Ini karena mahasiswa mempunyai peran ganda; sebagai insan akademik serta sebagai agent of social control.
Pemicu dan motif gerakan mahasiswa mungkin dapat berbeda. Tapi, musuh bersama gerakan mahasiswa yang dikatakan hilang dengan dibukanya gerbang demokratisasi politik hingga saat ini masih bertahan versus gerakan sosial mahasiswa. Musuh bersama gerakan bukan pemerintah saja, tapi segala bentuk keotoriteran yang dipraktikkan orang atau oknum yang melacuri kekuasaan demi kepentingan parsial. MOHAMAD FATHOLLAH Aktivis PMII Rayon Humaniora Park UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta








TANGGAPAN DARI AKTIVIS LAINNYA…………..


Reorientasi Gerakan Mahasiswa
Kompas, Sabtu, 27 Maret 2010 | 13:17 WIB
Oleh Wisnu Prasetya Utomo
Sidang paripurna DPR yang membahas Bank Century menyisakan banyak persoalan. Tidak hanya persoalan di wilayah elite, tetapi juga gerakan mahasiswa yang disayangkan berakhir antiklimaks. Seiring selesainya kerja Pansus, aksi mahasiswa justru terjebak pada kerusuhan, paling tidak di Jakarta dan Makassar.
Dalam kasus berbeda, beberapa waktu yang lalu mahasiswa UIN Sunan Kalijaga bentrok dengan aparat kampus. Selasa (24/3), aksi beberapa elemen mahasiswa yang tergabung dalam Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia juga diwarnai bentrokan.
Melihat serpihan peristiwa tersebut, kita seperti dipaksa kembali mendiskusikan posisi dan peran gerakan mahasiswa dalam dinamika perubahan sosial politik negeri ini.
Tulisan Mohamad Fathollah berjudul "Disorientasi Gerakan Mahasiswa" (22/3) di halaman ini mencoba ikut urun rembuk mengenai orientasi gerakan mahasiswa. Tulisannya menunjukkan kegusaran yang berawal dari artikel berjudul "Aksi Mahasiswa dan Disorientasi Gerakan" di harian ini (19/3) yang menurutnya mendistorsi gerakan mahasiswa secara umum.
Aksi anarkis yang dilakukan gerakan mahasiswa, seperti disebutkan Fathollah, tidak dapat digeneralisasi dan dikreasikan pada ranah ideologi massa aksi. Ia juga menjelaskan, kita terburu-buru menghakimi jika hanya melihat gerakan mahasiswa hanya dari aksi-aksi anarkis karena kenyataannya, aksi-aksi mahasiswa tahun 1965, 1974, dan 1998 juga melahirkan anarkisme. Namun, karena hanya fokus pada ranah mekanistis-teknis aksi-aksi mahasiswa, Fathollah justru tampak hantam krama dan justru mengesankan gerakan mahasiswa memiliki jarak dengan rakyat. Sebagai pembaca, saya cukup gusar atas kegusarannya.




Ketika membincangkan gerakan mahasiswa, mau tidak mau kita memang harus membicarakan konteks historis yang cukup panjang. Dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), Soewarsono mengajukan sebuah pernyataan krusial. Baginya, gerakan mahasiswa adalah sebuah keluarga. Ikatan ini terjalin dari serangkaian tonggak-tonggak yang disebut sebagai angkatan. Tak heran jika kita cukup familier dengan angkatan 1908, 1928, 1966, 1974, 1990, dan 1998. Karena menjadi sebuah keluarga, tentu saja angkatan-angkatan tersebut tidak berdiri sendiri. Sebagai contoh, membaca hasil yang diperoleh angkatan 1998 menumbangkan rezim Orde Baru tidak lepas dari serangkaian proses angkatan sebelumnya.
Dari semua angkatan yang ditonggakkan tersebut, ada satu hal krusial yang patut menjadi perhatian bersama. Gerakan mahasiswa mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat.
Sebagai contoh di Yogyakarta pada tahun 1998 ketika pecah peristiwa reformasi. Ibu-ibu sukarela menyediakan makanan dan minuman bagi para peserta aksi demonstrasi baik itu di Bunderan UGM maupun di tempat-tempat lain. Dari mulai aksi yang halus sampai yang paling anarkis pun masyarakat mendukung. Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa mahasiswa mampu merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Inilah masa bulan madu antara rakyat dan mahasiswa.
Namun, bulan madu itu barangkali harus segera diakhiri. Pasca Reformasi 1998, gerakan mahasiswa kebebasan pers, demokratisasi, hak asasi manusia, sampai kebebasan berpendapat justru membuat posisi mahasiswa terdesak. Gerakan mahasiswa kini tidak lagi menjadi satu-satunya saluran aspirasi kepentingan masyarakat, cenderung menjadi menara gading kampus. Aksi-aksi yang dilakukan bahkan membuat mahasiswa berhadapan dengan rakyat.
Disorientasi ini membuat mahasiswa mudah terjebak dalam wilayah politik praktis. Indikasinya, organisasi gerakan mahasiswa ekstrakampus yang sering kali mendominasi lembaga intrakampus disangkal ketika mahasiswa hanya menyibukkan diri untuk merespons isu-isu elite.
Reorientasi
Dulu, mahasiswa memiliki musuh bersama untuk ditumbangkan, rezim Orde Baru. Ini memudahkan berbagai elemen untuk bersatu. Tak heran ketika musuh bersama tumbang, gerakan kocar-kacir tanpa arah. Jika mengamini Fathollah, musuh bersama tidak lagi diperlukan. Sebab, kini musuh tersebut mewujud dalam pemerintah serta segala bentuk keotoriteran yang dipraktikkan orang atau oknum yang melacuri kekuasaan demi kepentingan parsial. Hal terpenting adalah gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bersama menumbangkan ketidakadilan dan segala macam bentuk diskriminasi.
Sekalipun demikian, logika tersebut saya kira perlu dipertanyakan. Jika gerakan mahasiswa yang penting antipemerintah, ini melupakan masyarakat sebagai entitas yang diperjuangkan. Bahkan bisa cenderung terjebak pada isu elitis. Padahal, aksi-aksi mahasiswa pada dasarnya ditujukan untuk membela rakyat, bukan dirinya sendiri. Sebuah tonggak diperlukan untuk membuat mahasiswa kembali memahami peran



dan posisinya. Zaman sudah berubah sehingga mahasiswa tidak lagi bisa memakai cara yang sama untuk mendekati permasalahan yang berbeda. Reorientasi harus dilakukan.
Reorientasi tersebut saya kira lebih tepat diarahkan pada usaha pemberdayaan masyarakat. Mahasiswa harus turun ke bawah sebagai upaya melakukan pendidikan serta pengabdian kepada rakyat. Belajar langsung di tengah-tengah rakyat akan membuat mahasiswa mampu menguji teori-teori yang selama ini dipelajari di kelas. Pembuktian ini akan memperlihatkan, apakah teori-teori itu bermanfaat bagi masyarakat. Turun ke bawah membuat mahasiswa mempelajari kemandirian rakyat. Mahasiswa akan menemukan potensi serta kekuatan rakyat yang sesungguhnya. Potensi inilah yang sangat penting.
Ketika masyarakat sudah paham kekuatan yang dimilikinya, ia tidak akan mudah ditindas penguasa yang diskriminatif. Ia akan mampu berdiri sendiri, mandiri, kreatif, dan tidak selalu menjadi sosok yang pasif menunggu pertolongan. Selain itu, mahasiswa sendiri juga tidak akan mudah goyah karena sudah memperoleh dukungan yang berakar dari masyarakat.
Membicarakan gerakan mahasiswa seharusnya tidak dilepaskan dari masyarakat yang menjadi basis awalnya. Aksi-aksi mahasiswa harus dibarengi upaya pemberdayaan masyarakat dan ditujukan untuk menyasar kepentingan rakyat banyak, bukan elite. Ketika muncul slogan-slogan kerakyatan dalam aksi mahasiswa, ia tidak sekadar romantisme kelas menengah yang ingin menjadi dewa penolong rakyat miskin. WISNU PRASETYA UTOMO Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM Yogyakarta





Sumber : Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (Drs. AS Haris Sumadiria M. Si. ).

Sumber : Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (Drs. AS Haris Sumadiria M. Si. ).
II. SYARAT ARTIKEL LAYAK KIRIM

1. Topik yang dibahas actual dan controversial
2. Hipotesis yang diajukan orisinal serta mengandung gagasan baru dan segar.
3. Materi yang dibahas menyangkut kepentingan masyarakat luas.
4. Topik atau pokok bahasan yang dikupas diyakini tidak bertentangan dengan aspek etis, sosiologis, yuridis dan ideologis.
5. Mencerminkan visi dan sikap penulis sebagai seorang intelektual dan cendekiawan.
6. Referensial
7. Singkat, utuh dan Tuntas
8. Memenuhi kebutuhan sekaligus bisa mengikuti selera dan kebijakan redaksional media massa.
9. Ditulis dalam bahasa baku yang benar dan baik, lincah dan segar, mudah dicerna dan ringan dibaca (komunikatif).
10. Memenuhi kualifikasi teknis-administrasi media massa bersangkutan.



Mari, kita persiapkan diri kita, jiwa kita, intelektualitas kita serta idealisme kita semua untuk menjadi manusia yang idealis dan membangun masa depan negara dan bangsa kita!!!

Contoh Artikel Terkini


Dana Aspirasi: Anomali Politik
Kompas, Kamis, 17 Juni 2010 | 05:40 WIB
Azyumardi Azra
Dana aspirasi, istilah baru yang tiba-tiba saja populer; meski mendatangkan banyak pertanyaan dari kalangan publik. Apalagi secara substantif di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Filipina, ”dana aspirasi” itu dikenal dengan istilah pork barrel (gentong babi).
Terlepas dari setuju atau tidak dengan substansinya, dalam konteks Indonesia, istilah itu agaknya bisa diganti dengan cow-barrel (gentong sapi), atau bahkan chicken barrel (gentong ayam), yang mungkin bagi banyak kalangan masyarakat Indonesia lebih nyaman didengar.
Di luar soal istilah itu, jelas sebagian besar anggota DPR menolak usulan Partai Golkar tersebut. Juga muncul penolakan dari Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Kita tidak tahu apakah penolakan itu genuine atau tidak karena pada dasarnya jika usulan itu diterima DPR dan pemerintah—apakah secara terpaksa atau tidak—jelas sangat menguntungkan bagi setiap dan semua anggota DPR. Karena dana aspirasi itu membuka peluang lebih besar memperkuat posisi mereka vis-a-vis konstituen masing-masing yang bakal menimbulkan berbagai implikasi dan dampak positif ataupun negatif.
Jelas ada segi-segi positif tertentu terkandung dalam usulan dana aspirasi itu—tentu saja jika akhirnya disetujui dan direalisasikan. Khususnya bagi masyarakat konstituen, bisa diduga mereka senang-senang saja menerima berbagai bentuk program yang pendanaannya berasal dari ”dana aspirasi” sejumlah 15 miliar rupiah yang cukup besar bagi setiap anggota DPR.
Anomali baru
Terlepas dari berbagai manfaat yang bakal diperoleh masyarakat konstituen, usulan dana aspirasi yang bisa saja terealisasi dalam bentuk-bentuk lain jelas ia telah menciptakan anomali tambahan dalam kehidupan politik dan kenegaraan kita, yang bukan tidak bisa berlanjut di hari-hari depan. Anomali baru itu terjadi bukan hanya dalam segi hukum, khususnya yang mengatur dana dan anggaran negara, melainkan juga dalam kaitannya dengan fungsi dan kewenangan DPR itu sendiri.
Anomali itu bisa terlihat, dalam kenyataan bahwa usulan itu pertama kali muncul dari Fraksi Partai Golkar, yang agaknya merupakan hasil dari kesepakatan di dalam partai ini. Akan tetapi, jelas pula, usulan itu tidak melalui pembicaraan di antara partai-partai yang terlibat dalam koalisi yang belakangan ini dikenal sebagai Sekretariat Bersama Koalisi dengan Ketua Hariannya Aburizal Bakrie yang notabene Ketua Umum Partai Golkar. Di sini, muncul pertanyaan tentang fungsi Sekretariat Bersama tersebut; apakah dan kenapa masalah sepenting ini tidak dibahas lebih dahulu di dalam koalisi?
Karena kelihatannya tidak dibicarakan lebih dahulu dalam koalisi, tidak mengherankan kalau ketika usulan ini dibuka ke depan publik, partai-partai pendukung koalisi hampir sepenuhnya menentang sehingga ia tidak dibicarakan dalam sidang DPR. Selain itu, kalangan pemerintahan sendiri, masyarakat LSM, pengamat, dan aktivis juga menentang usulan tersebut. Hasilnya, pihak Partai Golkar merasa ditinggal sendirian dan bahkan terpojok sehingga salah seorang Ketua DPP Golkar M Yamin Tawari mengancam, Partai Golkar bakal keluar dari koalisi karena tidak ada dukungan para mitra koalisi terhadap usulan tersebut.
Ancam mengancam dalam dunia politik dalam batas tertentu merupakan hal umum dan biasa saja di Indonesia atau negara mana pun. Namun, ancam mengancam di antara pihak-pihak pendukung koalisi secara terbuka di depan publik merupakan gejala ganjil yang dapat dikatakan merupakan anomali politik.
Terlepas dari itu, ancaman atau boleh jadi lebih merupakan ”gertak sambal” ternyata cukup efektif. Fenomena ini dapat menjadi preseden dalam dinamika politik koalisi dan bahkan politik Indonesia secara keseluruhan. Apalagi tidak lama setelah adanya ancaman Partai Golkar yang kemudian dibuat lebih lunak oleh kalangan Partai Golkar sendiri sebagai ”pendapat pribadi” bukan sebagai pendapat resmi partai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, dana aspirasi bisa direalisasikan. ”Sangat bisa karena anggota DPR, mereka juga dipilih pada tingkat dapil itu mengajukan usulan khusus. Nah, usulan itu masukkan dalam sistem, dalam tatanan, ada musrenbang, ada musyawarah tingkat daerah, ada ini, ada itu. Kita jalankan sesuai undang-undang,” kata Presiden Yudhoyono (10/6/10).
Dengan pernyataan Presiden ini, Partai Golkar kini memenangi pertarungan, tidak hanya dengan mitra-mitra koalisinya, bahkan sekaligus juga dengan para penentang yang masih tersisa, khususnya PDI-P. Hampir bisa dipastikan kekuatan politik terbesar di DPR, khususnya Partai Demokrat, harus melaksanakan persetujuan Ketua Dewan Pembinanya, yang sekaligus juga merupakan Presiden RI.
Dominasi partai besar
Jika dana aspirasi (atau apa pun namanya kemudian) dapat disepakati DPR dan pemerintah, jelas masyarakat konstituen bakal mendapat manfaat tertentu. Meski, masyarakat penerima terbesar adalah di pulau Jawa yang memiliki dapil terbanyak; sementara pulau dan daerah lain yang memiliki dapil lebih sedikit— tetapi dengan wilayah lebih luas—mendapatkan bagian jauh lebih kecil.
Akan tetapi, tidak ragu lagi penerima manfaat terbesar adalah parpol-parpol besar, yang memiliki jumlah anggota terbanyak di DPR. Karena dengan dana aspirasi itu, para anggota DPR dapat menyatakan kepada konstituen masing-masing, mereka telah berhasil memperjuangkan kepentingan masyarakat dapil dan memenuhi janji-janji mereka pada waktu kampanye pemilu legislatif 2009.
Tidak hanya itu, dana aspirasi membuat lebih mungkin bagi mereka untuk kembali terpilih dalam pemilu legislatif berikutnya. Karena toh sudah ada ”bukti” bahwa mereka telah berhasil memperjuangkan kepentingan dapil masing-masing. Dengan demikian, realisasi dana aspirasi nanti dapat menjadi ”jualan” yang efektif bagi para anggota DPR agar konstituen kembali memilih mereka. Jika dana aspirasi itu terealisasi mulai 2011, berarti selama empat tahun ke depan menjelang pemilu legislatif 2014, para anggota DPR dapat mengikat konstituen masing-masing secara lebih kuat.
Dalam konteks ini, penerima manfaat maksimal dana aspirasi nanti adalah parpol-parpol besar, sementara parpol-parpol kecil hanya mendapat manfaat terbatas. Apalagi parpol-parpol yang tidak memiliki wakil di DPR, yang bisa dipastikan tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengimbangi dana aspirasi yang dihasilkan para anggota DPR untuk konstituen masing-masing.
Dalam kondisi seperti itu, semakin kecil pula peluang bagi wajah-wajah baru untuk mampu bersaing dan memenangkan diri dalam pemilu legislatif nanti. Dengan demikian, sirkulasi elite politik di lingkungan DPR menjadi lebih terbatas. Akhirnya, kita harus terus hidup bersama para anggota DPR wajah-wajah lama dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Advisory Board, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar